NovelToon NovelToon
Malapetaka Batu Luar Angkasa

Malapetaka Batu Luar Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Hari Kiamat
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.

Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.

Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fase Tahun Pertama Kemarau

17.1. Fase Tahun Pertama Kemarau

Kini seluruh dunia berada di fase tahun pertama setelah Dukhan. Suasana bumi berubah drastis; suhu meningkat, dan udara menjadi kering dan penuh debu. Kemarau panjang melanda, dan cuaca ekstrem menimbulkan kepanikan di mana-mana. Di tengah ketidakpastian ini, manusia berjuang untuk bertahan hidup.

Di setiap penjuru bumi, orang-orang merasakan dampak kemarau yang berat. Di pasar-pasar, wajah-wajah lesu terlihat. Pedagang sayur tak bisa menjual hasil panen karena tanaman layu sebelum sempat dipetik.

“Ke mana airnya?” tanya seorang pedagang tua sambil melihat ladang kosongnya. “Tanah ini dulu subur, sekarang hanya debu!”

Di sebuah desa kecil, sebuah keluarga berkumpul di bawah atap yang sudah mulai retak. Ibu rumah tangga, Rina, mencoba menenangkan anak-anaknya yang merengek karena lapar. “Sabarlah, sayang. Kita harus berdoa agar hujan segera turun,” ujarnya dengan suara gemetar.

Sementara itu, di suatu tempat di perkotaan, sekelompok orang berkumpul di depan toko yang tutup. Mereka berbicara dengan nada panik tentang bagaimana mereka akan bertahan hidup. “Air minum semakin langka,” keluh Ahmad. “Kita harus mencari cara untuk mendapatkan makanan.”

Ulama yang berada di tengah kerumunan mengangkat tangan, “Kita harus bersatu dan saling membantu. Ini adalah ujian dari Allah. Ingatlah, zikir dan doa adalah kunci kita menghadapi semua ini.”

Di sebuah masjid yang sudah berdebu, sekelompok orang berdoa dengan khusyuk. Mereka berharap agar Allah mendengarkan doa mereka dan segera menurunkan hujan. “Ya Allah, kami memohon ampun dan bantuan-Mu. Kami tidak bisa bertahan tanpa-Mu,” ucap salah satu jamaah.

Seluruh dunia merasakan dampak dari fase tahun pertama ini. Kemarau panjang membuat manusia bertindak semakin putus asa. Di beberapa tempat, penjarahan mulai terjadi karena kelangkaan pangan.

Di tengah kekacauan ini, sekelompok petani yang selamat mencoba untuk menanam kembali. Mereka berusaha menggali tanah yang kering, berharap dapat menemukan kelembapan di bawah permukaan. “Kita harus berjuang,” seru seorang pemimpin kelompok, “jika tidak, kita akan kehilangan segalanya.”

Namun, semua usaha itu tampak sia-sia. Tanah retak dan keruh, tanaman yang ditanam layu sebelum tumbuh. Rasa putus asa menyelimuti hati setiap orang, tetapi harapan untuk hujan masih ada.

Malam hari tiba dengan keheningan yang menakutkan. Di bawah langit yang gelap, mereka berdoa, berharap bisa melihat sinar pagi yang membawa kehidupan baru. “Semoga esok hari membawa harapan,” bisik Rina sambil memeluk anak-anaknya.

Mereka semua merasakan betapa beratnya ujian ini, tetapi satu hal yang pasti. semangat untuk bertahan hidup akan terus ada. Dalam keadaan sulit ini, mereka belajar arti kebersamaan dan harapan, meskipun di tengah kemarau yang berkepanjangan.

17.2. Ketika Teknologi Hilang

Di tengah kebangkitan harapan setelah fase tahun pertama, Ulama merasa perlu untuk mengajak jamaah berkumpul kembali dan berdoa bersama. Ia menginginkan suasana yang lebih khusyuk di masjid. Dengan tekad, ia memutuskan untuk mengumandangkan adzan.

“Baiklah, saatnya kita kembali ke masjid,” ucap Ulama dengan semangat, “aku akan memanggil kalian semua!”

Ia bergegas menuju masjid, membawa amplifier kecil yang masih tersisa dari masa lalu. Namun, Ulama lupa satu hal penting: semua teknologi berbahan besi telah hilang fungsinya akibat hantaman meteor. Ketika ia menyalakan power ampli, suara yang keluar justru... “Bzzzt!” dan diikuti dengan bunyi aneh yang membuatnya terkejut.

“Eh? Kenapa ini tidak ada suara?” tanyanya kebingungan, mengutak-atik tombol yang tidak ada artinya lagi.

Seorang jamaah yang berdiri di belakangnya, Ahmad, tak kuasa menahan tawa. “Mungkin amplinya berdoa juga, Ulama. Siapa tahu dia butuh doa agar bisa bekerja!” ucapnya sambil tertawa.

Ulama menoleh, mencoba terlihat serius. “Ahmad, ini bukan saatnya bercanda. Kita butuh suara adzan untuk mengumpulkan orang-orang,” jawabnya, tetapi senyumnya tak bisa disembunyikan.

“Kalau begitu, mari kita teriak saja!” usul Rina, seorang wanita di antara jamaah. “Kita bisa teriakkan ‘Allahu Akbar’ sambil berlari keliling desa!”

Ulama berpikir sejenak. “Hmm... itu ide yang menarik. Tapi mari kita lakukan dengan cara yang lebih teratur, ya? Kita semua berbaris, dan satu per satu akan memanggil adzan.”

Semua orang setuju dan bersiap-siap. Mereka membentuk barisan, dan Ulama berdiri di depan dengan penuh percaya diri. “Baiklah, kita mulai dari yang pertama! Siapa yang mau mulai?”

Jamaah saling berpandangan. Lalu, seorang pemuda bernama Joko maju dengan penuh semangat. Ia mengangkat suara tinggi, “Allahu Akbar!”

Namun, Joko terlalu bersemangat dan suara teriaknya menjadi sangat lucu. “ALLAHU AKBAR! ... AKBAR! ... AKBAR!”

Semua orang tertawa terbahak-bahak, termasuk Ulama. “Sabar, Joko! Kita belum perlu sampai tiga kali!”

Setelah Joko, Rina mengambil alih. Ia berteriak dengan suara nyaring. “Allahu Akbar!” Suaranya bergema, tetapi di tengah teriakan, anaknya yang kecil ikut berteriak, “Ibu! Ibu! Aku lapar!”

Tawa kembali pecah, dan Ulama menepuk dahi. “Baiklah, mari kita kembali fokus. Kita harus mengajak semua orang berkumpul.”

Akhirnya, setelah beberapa percobaan, mereka berhasil memanggil jamaah lain dengan suara yang bervariasi. “Semua orang, mari ke masjid!” teriak seorang jamaah dengan gaya yang konyol.

Orang-orang mulai berdatangan, terheran-heran melihat kerumunan di masjid. “Ada apa ini?” tanya salah satu tetangga.

“Kami mengadakan adzan tanpa amplifier!” jawab Ahmad, tidak sabar untuk mengungkapkan leluconnya.

Berkumpulnya orang-orang di masjid membuat suasana menjadi lebih hidup. Meskipun tanpa teknologi, mereka merasakan kebersamaan yang lebih kuat. Ulama mulai mengarahkan mereka dalam doa, dan suara lirih mereka bergabung dalam satu irama.

Ketika doa selesai, Ulama tersenyum puas. “Meskipun kita tidak bisa menggunakan teknologi, kita tetap bisa menyampaikan pesan Allah dengan cara kita sendiri. Yang penting adalah kebersamaan dan iman kita.”

Dengan suasana ceria dan penuh harapan, jamaah bersepakat untuk terus saling mendukung, tidak peduli seberapa sulit keadaan yang akan mereka hadapi di masa depan. Mereka menyadari bahwa meskipun teknologi telah hilang, semangat kebersamaan dan iman tidak akan pernah sirna.

17.3 Petualangan Memanjat Kelapa

Setelah pulang dari masjid, suasana ceria menyelimuti mereka. Di tengah perjalanan, Rahmat melihat sebuah pohon kelapa yang tampak segar dan menjulang tinggi. Tanpa berpikir panjang, ia merasa terdorong untuk memanjatnya.

“Eh, lihat! Ada pohon kelapa!” teriak Rahmat kepada teman-temannya. “Aku mau ambil kelapanya!”

“Jangan! Nanti jatuh!” seru Yanti, seorang wanita yang selalu cemas. Namun, Rahmat sudah terlanjur bersemangat dan mulai memanjat pohon itu.

Dengan lincah, Rahmat menaiki batang kelapa yang kasar. Begitu sampai di cabang yang cukup tinggi, ia melihat beberapa buah kelapa muda menggantung. “Wah, ini dia! Sumber air dan makanan!” serunya gembira.

“Rahmat, hati-hati!” teriak Yanti lagi, wajahnya terlihat cemas. “Jangan sampai kamu terjatuh!”

Sementara itu, di bawah, teman-teman Rahmat berkumpul, menantikan hasil panen yang menggugah selera. “Kalau dia berhasil, kita bisa minum air kelapa,” kata Ahmad sambil mengelap keringat di dahi.

Setelah berjuang, Rahmat berhasil memetik satu kelapa muda. Namun, saat ia berusaha menariknya turun, tangannya tergelincir, dan ia hampir terjatuh. “Akh, tidak!” teriaknya panik, tetapi ia berhasil memegang batang pohon kembali.

Melihat kejadian itu, semua orang bersorak. “Hati-hati, superhero kelapa!” teriak Rina sambil tertawa. “Jangan sampai jadi kelapa jatuh!”

Dengan tenang, Rahmat mengambil napas dalam-dalam. “Baiklah, satu lagi,” katanya. Ia mengambil kelapa kedua dan meraih cabang yang lebih kuat untuk turun.

Saat ia akhirnya meluncur ke bawah, semua orang bersorak gembira. Rahmat mendarat dengan sempurna, kelapa muda di tangan. “Tada! Kelapa untuk kita semua!” teriaknya, seolah baru saja memenangkan perlombaan.

“Luar biasa, Rahmat!” puji Ahmad. “Sekarang kita bisa minum airnya!”

Mereka segera berkumpul di bawah pohon, dan Rahmat mulai memecahkan kelapa dengan batu. “Ini dia! Air kelapa segar!” serunya sambil menuangkan air ke dalam tangan.

Semua orang mengelilingi Rahmat, dengan antusias menunggu giliran. “Rasanya pasti enak, ya?” tanya Yanti sambil mengelap bibirnya yang kering.

“Coba saja! Kita butuh ini untuk menghilangkan haus,” jawab Rahmat sambil tersenyum lebar.

Saat mereka menikmati air kelapa, suasana menjadi lebih hangat dan penuh tawa. “Rasa kelapa ini seperti mengingatkan kita pada masa-masa sebelum bencana, ya?” ujar Rina sambil tertawa.

“Benar! Kita bisa bertahan meskipun tanpa teknologi, asal kita bersama-sama,” tambah Ahmad.

Momen kecil ini membuat mereka merasa bahwa meskipun dunia sedang mengalami kesulitan, mereka masih memiliki satu sama lain, dan itu adalah harta yang paling berharga.

17.4. Kegerahan di Rumah

Setelah puas menikmati air kelapa yang menyegarkan, Rahmat pulang dengan semangat baru. Namun, begitu sampai di rumah, ia merasakan kegerahan yang luar biasa. Suasana panas menyengat membuatnya merasa tidak nyaman.

“Ah, panas sekali di sini,” keluhnya sambil mengelap keringat di dahi. “Harus ada cara untuk mendinginkan diri.”

Dengan niat untuk mencari kenyamanan, ia berjalan menuju kipas angin di sudut ruangan. “Kalau bisa dinyalakan, pasti ini akan membuatku lebih nyaman,” pikirnya. Ia meraih tombol di kipas angin dan menekannya dengan penuh harapan.

Namun, seketika, wajahnya berubah ketika ia menyadari kebenaran yang pahit. “Oh tidak, apa aku lupa? Ini kan zaman batu!” teriaknya, seolah baru tersadar dari mimpi buruk.

Kipas angin itu, yang dulunya menjadi penyelamat dari panasnya musim panas, kini hanya menjadi benda mati. Rahmat meraba-raba di sekitar dan mendapati bahwa tidak ada listrik yang mengalir ke rumahnya. “Aduh, bagaimana bisa aku melupakan ini?” keluhnya sambil tertawa getir.

Ia pun teringat percakapan di masjid tentang bagaimana teknologi telah lenyap. “Kalau begini, mau tidak mau aku harus mencari cara lain,” gumamnya.

Dengan sedikit frustrasi, Rahmat memutuskan untuk keluar rumah lagi. “Siapa tahu ada angin segar di luar,” pikirnya. Sesampainya di luar, ia melihat teman-teman sedang berkumpul, menikmati udara di bawah pohon rindang.

“Rahmat! Kenapa kamu keluar?” tanya Yanti, tampak bingung. “Baru saja kita berbincang tentang cara mengatasi panas!”

“Eh, aku kegerahan di rumah. Ternyata kipas angin tidak bisa dipakai,” jawab Rahmat sambil mengusap dahi yang penuh keringat.

“Ha! Ini zaman batu, kawan! Kita harus mencari cara lain untuk bertahan,” canda Ahmad, yang selalu punya humor di tengah kesulitan. “Apa kamu tidak berpikir untuk membuat kipas dari daun?”

“Daun? Hahaha, itu ide yang kreatif!” sahut Rina, tertawa. “Mari kita buat kipas alami!”

Dengan semangat baru, mereka semua mulai mengumpulkan daun-daun lebar dari sekitar. Rahmat berinisiatif membuat kipas sederhana. “Kalau kita bisa memfokuskan angin, pasti akan lebih nyaman!” ucapnya.

Sementara mereka bekerja sama, suasana keceriaan kembali terbangun. “Siapa tahu, kita bisa menjadi ahli kipas daun,” canda Ahmad lagi. “Nanti kita bisa jual di pasar!”

“Jadi, bukan hanya menjadi petani, kita juga jadi pedagang kipas! Luar biasa!” balas Rahmat, sambil tersenyum lebar.

Dalam proses pembuatan kipas daun, mereka berbagi cerita, tawa, dan saling mendukung satu sama lain.

17.5. Perkembangan Ladang

Setelah berjuang menghadapi kegerahan, Rahmat dan teman-temannya kini berfokus pada ladang yang mereka bangun. Dengan tekad dan semangat, mereka mulai bercocok tanam meski dalam kondisi yang serba sulit.

Matahari bersinar terik, namun mereka tetap bersemangat. Ladang yang sebelumnya kosong kini mulai dipenuhi dengan tanaman yang mereka tanam. “Lihat, ini sudah tumbuh sedikit!” seru Rahmat, menunjuk ke arah tanaman yang baru saja muncul. “Kita tidak sia-sia!”

“Ya, tapi ingat, kita harus terus menyiram dan merawatnya,” sahut Yanti, yang selalu memperhatikan perawatan tanaman. “Kalau tidak, semua usaha ini bisa jadi sia-sia.”

Sementara mereka bekerja, Ahmad berdiri di sisi ladang, memandangi hasil kerja keras mereka. “Kita seharusnya merayakan momen ini. Setelah semua yang kita lalui, ini adalah tanda harapan!” ucapnya sambil tersenyum lebar.

Mereka berkumpul di tengah ladang dan mulai berbagi cerita. “Aku ingat waktu kita semua hampir putus asa,” kata Rina. “Tapi sekarang, lihatlah! Kita berhasil membuat ladang ini.”

“Benar, kita telah menciptakan sesuatu dari ketidakpastian,” Rahmat menambahkan. “Ini adalah usaha kita bersama. Kita tidak sendirian!”

Setelah beberapa minggu, mereka melihat tanaman mulai tumbuh subur. Sayuran hijau, biji-bijian, dan beberapa buah mulai muncul di antara tanah yang gersang. Rasa syukur memenuhi hati mereka.

Namun, meskipun ada perkembangan positif, tantangan tetap mengintai. “Kita harus berpikir bagaimana cara menjaga tanaman ini dari hama,” Yanti mengingatkan. “Kita tidak bisa kehilangan hasil kerja keras kita.”

“Kalau begitu, kita bisa buat jebakan sederhana,” saran Ahmad. “Kita bisa menggunakan bahan-bahan alami yang ada di sekitar sini.”

Dalam semangat kebersamaan, mereka pun bekerja keras membuat jebakan untuk melindungi tanaman mereka. Di antara tawa dan canda, mereka mulai merasakan kebersamaan yang semakin erat.

Hari demi hari, mereka terus bekerja di ladang. Rahmat merasa bangga melihat semua teman-temannya berkontribusi, bersemangat, dan saling membantu. “Kita harus menjaga semangat ini,” ujarnya. “Kita tidak hanya bertani, tetapi kita membangun kembali harapan.”

Saat senja tiba, mereka duduk bersama di pinggir ladang, menikmati pemandangan matahari terbenam. “Ini indah sekali, ya?” Rina berkomentar. “Setelah semua yang terjadi, kita bisa menemukan keindahan di sini.”

“Ya, kita telah belajar banyak,” Rahmat menjawab. “Kita bisa bertahan dan beradaptasi. Kita adalah petani yang tangguh!”

1
arfan
semangat up terus bos
Sandy
mantap, sangat menginspirasi
Bunga Lestary
semangatt kakk🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!