Di antara cinta yang tak terucap dan janji yang tak sengaja diucapkan harus menjadi sesuatu yang ditanggung jawabi oleh Rafael. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang hampir terbilang sempurna, Rafael harus kehilangan wanita yang dicintainya sekaligus menerima kehadiran seorang gadis yang sangat ia sayangi—Adeline.
Dua tahun setelah pernikahannya dan bangun dari segala keterpurukannya, Rafael harus terjebak dalam sebuah dilema. Apakah ia akan memilih cinta yang sebelumnya hilang atau tetap bersama dengan seseorang yang selama ini menemani masa-masa sulitnya? Setiap pilihan datang dengan konsekuensi dan setiap keputusan menuntunnya pada jalan yang tak terduga.
Ketika cinta dan masa lalu bertabrakan, apakah Rafael akan mengikuti hati atau logika? Bagaimana jika pilihan yang benar ternyata sesuatu hal yang paling sulit ia jalani? Temukan kisahnya dengan meng-klik ‘Mulai Membaca’.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyushine / Widi Az Zahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HC 17
Saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, terdengar seseorang tengah menekan password rumah yang ditempati oleh Adeline. Dia pun segera berjalan menuju pintu dan melihat monitor didinding dekat pintu sehingga sebuah senyum pun terukir.
Dengan cepat dia beralih ke dapur untuk menghangatkan makanan yang sudah ia masak sejak tiga jam yang lalu. Baru melangkah masuk, aroma sedap sudah menguar dan membuat perut Rafael keroncongan. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Rafael segera duduk diruang makan dan lagi-lagi senyum terukir dibibir Adeline.
“Aku buatkan sup daging kesukaanmu, kak.” Adeline menghidangkan semangkuk sup tepat dihadapan Rafael. “Musim dingin sebentar lagi, jadi sup ini sebagai pembuka untuk musim dingin yang akan datang,” ulasnya lagi.
“Terima kasih,” jawab Rafael dengan singkat.
Tidak merespon banyak, Rafael memilih untuk menikmati makanan yang berada dihadapannya saat ini. Sup buatan Adeline selalu mengingatkan dirinya dengan mendiang ibunya, menurutnya sup daging buatan Adeline sama persis rasanya dengan yang sering dimasak oleh mendiang ibunya tersebut.
“Kau tidak makan?” tanya Rafael saat menyadari wanita dihadapannya hanya duduk seraya menatapinya yang tengah makan.
“Aku tidak lapar.”
“Aku sudah selesai,”
“Pergilah mandi, aku akan buatkan coklat hangat untukmu.”
Tanpa membalas ucapan Adeline, Rafael memilih untuk segera meninggalkan ruang makan. Seperti biasa, Adeline akan memperhatikan punggung Rafael yang berjalan menjauh darinya. Lagi-lagi pria itu masuk ke dalam ruang kerjanya dan hanya membuat Adeline menghela napasnya. Namun, seperti yang sudah ia katakan sebelumnya, dia akan membuatkan coklat hangat untuk Rafael dan akan ia antarkan langsung kesana.
Seusai membersihkan piring dan membuat coklat hangat, tiba-tiba saja ponsel Adeline berdering, dan melihat siapa nama yang tertera diponsel membuat Adeline bingung. “Kenapa kakek menelpon ditengah malam seperti ini?” gumam Adeline yang langsung menerima panggilan tersebut.
“Nak, kau apa kabar? Rafa tidak membuatmu terluka, kan?”
“Kabarku baik, kek. Kak Rafa juga baik-baik saja. Ada apa kakek menghubungi tengah malam seperti ini? Apa kakek sakit?”
“Kakek hanya merindukan kalian, apa akhir pekan ini kalian bisa datang ke rumah?”
“Aku akan tanyakan pada kak Rafa nanti ya, kek.”
Panggilan telah berakhir, Adeline bergegas untuk mengantarkan coklat hangat seperti niat sebelumnya. Perlahan ia menaiki anak tangga hingga lantai 2 dan dilanjut untuk ke ruang kerja Rafael yang letaknya bersebelahan dengan kamar pria itu.
Mengetuk pintu sekali, Adeline langsung memasuki ruangan itu. Hening dan tidak ada suara apapun yang diciptakan oleh Rafael saat berada didalam sana, bahkan kehadiran Adeline saja seperti tidak disadari oleh pria tersebut.
Saat ini, Rafael sedang memandangi pemandangan kota dari ruang kerjanya melalui jendela. Adeline yang masih tidak mendapatkan respon apapun hanya menyimpan coklat hangat tersebut di meja, dan tak lupa untuk menutup bingkai foto Rachel yang berada di atas meja kerja Rafael.
"Kak, ini sudah malam, setelah menghabiskan coklatnya, sebaiknya kau beristirahat dan tutup jendelanya." Ucap Adeline yang berdiri dibelakang Rafael, namun tampaknya pria itu tak menggubrisnya sama sekali.
Desiran angin terasa sedikit kencang menyentuh kulit Adeline, dia menghela napasnya dan berjalan mendekat ke arah dimana Rafael berdiri. "Anginnya sangat kencang, kak. Tutup ya, nanti kamu masuk angin." Ucap Adeline yang langsung menutup jendela tersebut.
Tindakan Adeline itu justru mengundang tatapan tajam dari Rafael, Adeline sendiri tidak mengerti dengan tatapan yang diberikan oleh Rafael saat ini, namun tatapan itu sangat mengerikan baginya dan tatapan itu pertama kali dilihat oleh Adeline.
"Kak ayo minum dulu coklatnya. Besok kau mau sarapan apa? Makan siangnya bagaimana? Kau mau dibuatkan bekal apa? Aku juga boleh titip untuk kak Al dan kak Daren tidak? Lalu..."
"... cukup." Sambar Rafael dengan nada yang terdengar tinggi dan spontan membuat Adeline terkejut sekaligus bungkam dalam sekejap. "Bisakah kau diam untuk saat ini? Kepalaku sakit setiap kali mendengar ocehanmu yang tidak ada hentinya. Sarapan apa? Makan siang apa? Makan malam apa? Dirumah sakit seperti ini, seperti itu. Aku lelah mendengar semua itu." Tambahnya lagi yang langsung membuat hati Adeline bak ditusuk ratusan pedang.
Sekali seumur hidup Adeline dibentak oleh seseorang, dan orang yang membentaknya justru orang yang sangat ia cintai, orang yang ia percaya tidak akan melakukan itu, namun ternyata pemikiran dan harapannya itu salah.
"Sebaiknya sekarang keluar dari ruangan ini dan jangan ganggu aku. Selain itu jangan pernah masuk ke ruangan ini lagi tanpa izinku, bahkan untuk membersihkannya sekalipun."
"Maaf." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Adeline dan ia pun segera berjalan melewati Rafael untuk keluar dari ruangan tersebut. "Oh iya aku hanya ingin memberitahumu jika tadi kakek menelpon, dia ingin kita datang kesana akhir pekan ini untuk makan malam." Tambahnya yang sebelum akhirnya keluar dari sana.
Rasanya begitu sesak mendapati bentakkan dari Rafael. Entah apa yang terjadi sampai Rafael berani melakukan hal tersebut, mau bertanya pun tidak pernah berani, karena sekarang Rafael menjadi pribadi yang sangat penutup.
Berbaring diranjangnya dan memejamkan kedua matanya, air mata Adeline lolos mengalir membasahi bantal yang sedang ia gunakan. Ia menangis tanpa suara dalam tidurnya dan terasa begitu menyesakkan.
**
**
Pagi yang cerah, namun tidak secerah hati Adeline saat ini. Ingatannya masih sangat jelas akan kejadian yang menimpanya, namun ia masih menyiapkan sarapan serta bekal makan siang untuk Rafael, baginya itu hanya sebagai bentuk baktinya untuk suaminya.
Rafael sudah turun dan berada diruang makan. Seolah tidak terjadi apa-apa, Rafael masih bisa sarapan dengan tenang, dia bahkan tidak meminta maaf atau berbasa-basi pada Adeline saat ini.
"Jika sudah selesai ditinggalkan saja, sore nanti aku yang akan mencucinya dan ini bekal untukmu. Aku akan berangkat ke rumah sakit sekarang."
Tanpa berani menatap Rafael, Adeline hanya menyimpan kotak bekal itu dekat dengan tas kerja Rafael berharap agar pria itu tidak lupa akan bekal makan siangnya.
Setelah menyimpan kotak bekal itu, Adeline segera meninggalkan rumah untuk berangkat, dan Rafael hanya menatapi punggung Adeline secara sekilas, lalu kembali menikmati sarapannya.
Setibanya di rumah sakit, Efran menatap Adeline dengan wajah yang dipenuhi oleh perasaan khawatir. "Apa yang terjadi? Kenapa matamu sembab? Kau menangis?" Rentetan pertanyaan dilontarkan oleh Efran sebagai bentuk kekhawatirannya, namun Adeline hanya menggelengkan kepala dan berjalan melewati Efran.
Merasa sangat janggal, Efran menarik Adeline untuk membawanya ke rooftop rumah sakit yang tanpa sadar ada seseorang yang memperhatikan mereka dan orang itu mengernyitkan dahinya melihat gerak Adeline yang tidak seperti biasa.
"Apa yang terjadi, Del? Apa yang dilakukan oleh Rafa?"