Kisah tentang tiga anak indigo yang berjuang demi hidup mereka di dalam kiamat zombie yang tiba tiba melanda dunia. Mereka mengandalkan kemampuan indigo mereka dan para hantu yang melindungi mereka selama mereka bertahan di tempat mereka, sebuah rumah angker di tengah kota.
Tapi pada akhirnya mereka harus meninggalkan rumah angker mereka bersama para hantu yang ikut bersama mereka. Mereka berpetualang di dunia baru yang sudah berubah total dan menghadapi berbagai musuh, mulai dari arwah arwah penasaran gentayangan, zombie zombie yang siap menyantap mereka dan terakhir para penyintas jahat yang mereka temui.
Genre : horror, komedi, drama, survival, fiksi, misteri, petualangan.
Mohon tinggalkan jejak jika berkenan dan kalau suka mohon beri like, terima kasih sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mobs Jinsei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Setelah sampai, Reno duduk bersila bersender ke dinding dan Felis duduk di pangkuannya sambil memegang mangkuk berisi bubur ayam. Reno menoleh melihat Dewi dan menyodorkan mangkuknya, tapi ketika dia melihat Indah dan Vina,
“Loh...aduh sori gue cuman ambil tiga,” ujar Reno.
“Oh tenang aja, gue dan dia udah makan tadi,” balas Indah.
“Nih Wi, bubur ayam,” ujar Reno memberikan mangkuknya pada Dewi.
“I..iya Ren, makasih,” balas Dewi mengambil mangkuknya.
Ketika tangan Reno dan Dewi bertemu serah terima mangkuk, mata tajam Indah dan Vina menatap cincin berlian yang di pakai keduanya. Langsung saja keduanya memegang pundak Dewi,
“Wi....geser,” ujar Indah.
Dewi bergeser memegang mangkuknya, Indah dan Vina langsung duduk mengapit Dewi di kanan dan kirinya,
“Siapa ?” tanya keduanya bersamaan dan berbisik.
“Reno,” jawab Dewi.
“Lo pinter ya, rambutnya emang kayak model jadul, tapi mukanya ganteng,” balas Indah berbisik.
“Iya bener, yang tau dia ganteng lo doang ya ?” tanya Vina.
“Apaan sih lo pada, dia temen sekelas gue di sma...trus ya gitu deh,” jawab Dewi.
“Apanya gitu deh, jelas jelas cincin lo berdua sama, lo udah tunangan kan, ade lo aja bilang gitu tadi,” ujar Indah mendesak.
“Udeh sih ga usah di bahas,” ujar Dewi.
“Lo kalo ga ngaku buat gue aja ya, muka nya tipe gue banget,” ujar Vina melirik ke arah Reno yang sedang makan sambil memangku Felis yang juga sedang makan.
“Enak aja lo, gue hajar lo,” balas Dewi langsung.
“Nah kan, berarti bener,” balas keduanya bersamaan.
“Udah dong, gue mau makan nih,” ujar Dewi.
“Sip sip, makanan yang di bawa calon suami emang nikmat,” ledek Indah.
“Eh denger ya, barusan gue liat lo sedih, sekarang kenapa malah ngeledek gue sih,” ujar Dewi.
“Ya biar ga sedih oon,” balas Vina.
“Ya udah, gue kenalin lo berdua ke dia,” ujar Dewi.
Dewi menoleh melihat Reno yang sedang membersihkan mulut Felis yang belepotan makan buburnya,
“Ren, kenalin nih, temen temen gue waktu smp,” ujar Dewi.
Reno menoleh melihat Indah dan Vina yang sedang menatap dirinya sambil tersenyum, tapi Reno langsung kembali memalingkan wajahnya,
“Lah kenapa ?” tanya Indah.
“Auk nih, kenapa Wi ?” tanya Vina.
“Dia emang gitu, dia ga bisa bergaul tau, makanya jangan ganggu dia,” jawab Dewi.
“Oh...gitu, berarti sama kayak lo ya, lo sendiri juga cuman maen ama kita berdua kan, itu juga karena waktu itu lo tinggal deket rumah kita,” ujar Indah.
“Ya gitu deh,” jawab Dewi.
“Kalau gitu ya udah deh, sampein aja, salam kenal dari kita berdua,” ujar Vina.
“Iya bener Wi, gue ama Vina keliling dulu ya bagiin ini,” tambah Indah sambil menunjuk kantung plastiknya dan mengambil dua buah lilin kemudian memberikannya kepada Dewi.
“Iya, sori ya,” balas Dewi sambil mengambil lilin nya.
“Santai aja Wi, kita berdua ga marah kok,” balas Indah.
“Iya, santai aja, kita tetep bertemen,” tambah Vina.
Indah dan Vina berdiri kemudian meninggalkan Dewi sendirian, Dewi langsung bergeser merapat kembali dengan pundak Reno,
“Sori ya Ren, sebenarnya mereka juga ga terlalu akrab ama gue, mereka cuman seneng liat gue selamet dan gue juga seneng liat mereka selamet,” ujar Dewi.
“Kok lo minta maaf sih, gue yang ga enak ama mereka,” balas Reno.
“Lah kenapa ga enak ?” tanya Dewi.
“Ya gue pikir gue ganggu, ngerasa ga enak aja (gue karakter pinggiran kale, tapi ga mungkin gue ngomong gitu),” jawab Reno.
“Dasar aneh lo, tapi ya gue kira kira ngerti sih,” ujar Dewi.
“Iya sori (apanya yang ngerti, lo heroine kali, buktinya lo masih ada temen),” balas Reno.
“Udeh sih, ngapain ngomong sori sori mulu, gue makan ya,” ujar Dewi.
“Iya, cuman ada bubur ayam, tapi ya lumayan banyak sih porsinya,” balas Reno.
“Yah sejak awal ga ngarep ada makanan enak disini,” balas Dewi.
“Hehe bener, dah makan dulu, liat si Felis udah ampir abis,” balas Reno.
“Enak kak,” balas Felis.
Ketiganya meneruskan makan mereka sambil tetap berdempetan satu sama lain, tak lama kemudian, seorang tentara membuat pengumuman kalau lampu di dalam bangsal akan di matikan untuk menghemat energi. Setelah itu, beberapa tentara datang memberikan selimut untuk mereka. “Blam,” lampu di bangsal di matikan, mulai banyak lilin dan lampu portabel menyala, Reno membentangkan selimutnya dan merangkul Dewi di sebelahnya supaya masuk ke dalam selimut. Dewi merangkul lengan Reno dan masuk ke dalam selimut sementara Felis masih duduk di pangkuan Reno. Suasana mendadak menjadi hening, yang terdengar hanyalah beberapa isak tangis, suara orang mengobrol di kejauhan dan suara langkah kaki yang sayup sayup.
Reno menoleh melihat Dewi yang termenung sambil memeluk lengannya dan melihat Felis yang berbalik memeluknya dan diam tidak bergerak. Reno melihat sekelilingnya, di depannya yang terlihat hanyalah cahaya cahaya lilin dan lampu portabel. Reno menunduk,
“Semoga kita tidak salah ambil keputusan dengan datang kesini,” gumam Reno di dalam hati.
Dia kembali menoleh melihat ke pintu bangsal, banyak sekali arwah arwah yang melewati pintu walau tidak masuk ke dalam. Reno membenamkan kepalanya di tubuh Felis yang di pangku dan memeluknya. Dewi menyenderkan kepalanya di lengan Reno, karena dia benar benar merasakan perasaan dan emosi seluruh orang yang ada di dalam bangsal. Bagi Reno dan Dewi, berada di dalam bangsal penjara dengan banyaknya arwah berkeliaran di luar dan di tengah tengah orang banyak dalam kondisi putus asa, sangat menyakitkan dan sangat menakutkan. Keduanya hanya bisa diam dan saling merangkul tanpa bisa bicara apa apa.
*****
Keesokan paginya, sinar matahari mulai masuk menyinari bagian dalam bangsal, Reno membuka matanya dengan perlahan, dia menoleh dan tidak melihat Dewi di sebelahnya, sedangkan Felis masih tertidur di pangkuannya. Reno mulai melihat sekeliling mencari Dewi, dia menoleh ke arah pintu, banyak orang keluar dari bangsal untuk melihat kondisi di luar, karena Felis belum bangun dan dia tidak mau membangunkannya, Reno diam tidak bergerak, tangannya menepuk nepuk punggung Felis yang memeluknya dengan tatapan kosong melihat ke pintu,
“Udah bangun,”
Reno menoleh, dia melihat Dewi baru kembali duduk di sebelahnya, Dewi memberikan sebuah roti dan kopi menggunakan gelas kertas, setelah menaruh roti dan kopi di lantai, Dewi mengambil Felis dari pangkuan Reno dan memangkunya,
“Gantian, lo makan dulu,” ujar Dewi.
“Thanks Wi,” balas Reno.
Dia langsung mengambil gelas kopinya dan menyeruputnya, kemudian dia mengambil rotinya dan mulai memakannya. Dia menoleh melihat Dewi yang memeluk Felis dan menepuk nepuk punggungnya,
“Lo ga makan ?” tanya Reno.
“Udah tadi, gue makan di sana sama temen gue yang kemaren,” jawab Dewi.
“Oh gitu,” balas Reno.
“Lo ga nanya siapa mereka ?” tanya Dewi.
“Kan kata lo temen smp,” jawab Reno.
“Iya, tapi bukan temen smp, mereka dulu tinggal di komplek yang gue bilang itu, waktu kecil kita maen bareng karena tetanggan, walau cuman beberapa bulan aja sih,” balas Dewi.
“Hmm tetanggaan ?” tanya Reno.
“Iya, tapi kalau di sekolah ya masing masing, boro boro negor haha,” jawab Dewi.
“Yah masih baguslah, gue dari sd ga punya temen, semua bilang gue aneh dan gue di jauhi, tapi ya udah biasa sih,” balas Reno.
“Udah tau kale, kelas 10 kan lo bengong doang di kelas, kelas 11 juga....paling temen lo komik hehe,” ujar Dewi.
“Hoo lo tau rupanya ya, kenapa bisa tau ? lo ngeliatin gue terus ya ?” tanya Reno.
“Ih geer, kaga lah, ya gimana ga tau, lo duduk di depan gue sih,” jawab Dewi.
“Kalo kelas 11 gue bisa ngerti, tapi kelas 10 lo kan ga sekelas gue ? kok lo tau gue sendirian ?” tanya Reno.
“Gue kan sering maen ke kelas lo, jadinya gue tau,” balas Dewi.
“Hah...kapan ? seinget gue lo ga pernah main ke kelas gue, orang lo di kelas mulu, ama kakek lo doang,” balas Reno.
“Huh biarin, udah ah, ga usah di bahas,” balas Dewi.
“Curang lo,” balas Reno.
“Biarin,” balas Dewi.
“Tap,” tiba tiba ada sepasang sepatu boots di depan mereka, keduanya melihat ke atas, ternyata Ajeng berdiri di depan mereka,
“Pagi Reno, Dewi, si kecil belum bangun ?” tanya Ajeng.
“Belum bu Ajeng,” jawab Dewi.
“Eh...jangan panggil bu dong, panggil mba aja, umur saya baru 26 tahun,” balas Ajeng.
“Ada apa ya mba Ajeng ?” tanya Reno.
“Ah enggak, mau nyapa aja, sebab sebentar lagi kita mau keluar,” jawab Ajeng sambil duduk di tepat depan mereka.