Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ¹⁷
Gio masih menggantungkan harapan dengan meminta pertolongan pada teman-temannya selagi hal-hal yang melahirkan kemalangan pergi dari rumahnya. Dan salah satu dari teman-temannya ialah Haikal, rekan kerja sekaligus bawahan Miranda yang kini memandangi wanita itu.
“Sampai segitunya kamu sama Gio, Mir?”
Miranda melipat kedua tangannya di depan dada dengan ekspresi acuh tak acuh. Tidak suka mendengar kritikan Haikal kalau dia itu lebay.
“Siapa saja yang dia hubungi?”
“Siapa lagi kalo bukan aku dan Riko!”
“Dan Riko mau ke rumahku sekarang?” sergah Miranda. “Jangan kasih izin, Kal! Suruh dia ke kantor cabang sekarang!” ucapnya tegas.
Haikal geleng-geleng kepala sambil menghidupkan rokoknya. Sebagai sahabat, dia paham akar keluarga Miranda. Tapi tentunya sebagai sahabat dia juga perlu menasihatinya.
“Pagar gaibmu itu nggak mempan nahan sinyal internet. Jaman udah beda, kamu masih pake ilmu nenek moyang!”
“Makanya itu, bloon juga aku, kenapa gak sekalian minta tolong orang blokir nomernya!” Miranda tertawa kecil dan mati-matian dia menahan diri untuk tidak rapuh di depan Haikal.
“Gio kalo mati Alita kehilangan Bapak, sementara kamu gak bisa jamin Alita bahagia!” Haikal pindah ke samping tempat duduk Miranda, “Cepat atau lambat, Gio tahu siapa kamu!”
“Faktanya memang dia harus tahu siapa aku!” Miranda menoleh, menatap tajam Haikal.
Haikal mengembuskan asap rokoknya, kesediaannya menghadapi Miranda sekarang agaknya bukan sesuatu yang mudah. Ada gejolak dan kebijakan yang tidak bisa dilanggarnya.
“Gak perlu segitunya lihat aku, aku emang ganteng kok.”
Miranda menarik sudut bibirnya seraya berkeluh kesah. “Iya emang ganteng, cuma nggak pernah bisa bales rasa sayangku!”
Haikal tergelak, tawanya begitu dahsyat sampai-sampai Miranda menutup telinganya.
“Berisik, Kal!” Miranda terpaksa menginjak sepatunya agar Haikal menyudahi tawanya yang kacau itu. “Aku serius... jangan sampai Riko ke sana!”
“Aku ngerti ketakutanmu, Mir. Tapi bukannya lumayan tuh tiga tumbal dalam seminggu?” Haikal pura-pura takjub, kendati demikian dia hanya bercanda. “Riko ada tuh di bawah, aku suruh lembur!”
Dengan wajah sendu Miranda mengangguk. “Siapa pun tumbalnya asal bukan temanku aku nggak masalah, dan jangan ada satupun yang bantu Gio!”
Haikal mengisap rokoknya dalam-dalam selagi Miranda mengambil ponselnya di tas. Dia pun mendengar wanita itu meminta seseorang memblokir nomer Gio dan Mona.
“Cewek itu sudah sekarat?” tanya Haikal.
“Paling-paling linglung dan stress, modelan anak manja kan dia?”
“Mana aku tau!” celetuk Haikal. “Yang tau kan suamimu.”
Miranda hendak memakinya, tapi melihat kesetiaan Haikal padanya, urung wanita itu melakukannya secara verbal. Dia hanya mendengus.
“Dia bukan lagi suamiku, aku yang akan menceraikannya.”
“Sungguh?”
Miranda mengangguk. Haikal terlihat tidak percaya mengingat bagaimana Miranda jatuh cinta pada Gio dan menjadikannya sebuah ambisi yang begitu besar dan begitu indah sampai-sampai dia muak menjawab progres-progres yang dilakukan Gio di kantor maupun kehidupan pribadinya agar Miranda tahu hal-hal yang mungkin dapat membantunya. Dulu.
“Ya baguslah daripada buang-buang waktu, habis itu tobat juga kamu!”
“Doain ya.” Miranda tersenyum lemah. “Keluargaku punya banyak tanggungan. Atau begini... menurutmu bisa nggak usaha keluargaku oper kontrak?”
“Oper tanggung jawab cari tumbal juga gitu maumu?”
Miranda tergelak, cukup terhibur dengan tuduhan benar itu. “Sambil menyelam minum air, Kal. Siapa tahu bisa pindah server.”
Haikal terdiam. Sejarah perdukunan sudah ada sejak zaman Nabi Sulaiman dan zaman Nabi Musa. Mereka dituduh sebagai dukun oleh sekelompok orang kafir, padahal orang kafir tersebut adalah sekelompok orang yang percaya akan kemampuan dukun. Pada masa Nabi Yusuf, dukun menjadi rujukan utama dalam menghadapi berbagai persoalan. Selanjutnya pada masa Nabi Muhammad SAW, orang-orang kafir menuduhnya sebagai peramal karena Nabi mampu meramal sesuatu. Hingga sekarang perdukunan masih eksis di berbagai negara, dan mendapat sebutkan yang berbeda.
Di masyakarat Indonesia, dalam terminologi modern, dukun atau biasa di sebut orang pintar terbagi atas dua jenis. Dukun putih dan dukun hitam. Mungkin Miranda perlu dipertemukan dengan dukun putih, pikir Haikal.
“Ada yang paling susah dari pindah server, Mir. Pak Condro!”
Tidak kaget, Miranda tahu hal itulah yang paling sulit. Sulit dirayu dan dibujuk oleh hal apa pun. Dan sejak itulah dia kurang berhasrat untuk membahas pindah server, rencananya masih terlalu jauh untuk menggulung ayahnya sendiri dari singgasananya.
“Sudah makan?” tanya Miranda, mengalihkan perhatian.
Haikal menggilas batang rokoknya di asbak. “Mau ngajak makan kamu?”
“Kayaknya mau kalo kamu nggak sibuk.” Miranda menyunggingkan senyum dengan terpaksa. Suasana pun jadi melankolis saat Haikal berlama-lama menatapnya dengan iba.
“Sering aku bilang, dia kalo di kasih jabatan sama uang tanpa progres yang bener jadinya kayak gini. Tapi ini bukan sepenuhnya salahmu, Mir. Nggak usah nangis!”
Miranda memejamkan mata. “Kalo ini bukan salahku, terus salah siapa? Bapakku? Eyangku? Eyang Buyutku?”
Haikal pun mendesis tajam sebelum rentetan garis keluarga Miranda dia sebutkan. “Mir... gak usah di bahas-bahas napa woy, merasa terpanggil mereka nanti. Serem!”
“Ya udah ayo jalan... Pakai mobilmu!”
“Mobilmu ke mana emangnya? Di sita Pak Condro?”
“Di bawa anak magang, namanya Arik. Kamu kenal dia?”
Sambil mengenakan jaket bomber hitam, Haikal mengingat-ingat karyawan magang yang jumlahnya puluhan yang ditempatkan di berbagai divisi kantor.
“Ntar aku cari tahu.” Haikal melirik Miranda yang sedang mengambil beberapa dokumen penting di laci kerja Gio sebelum esok akan di bersihkan semua barang-barang suaminya itu. Haikal menaruh curiga.
“Target baru?”
“Anaknya kelihatan baik, divisi apa dia?”
“Baru juga mau di cari tahu Miranda!” sembur Haikal sambil mengikutinya keluar dari sini ruangan yang akan menjadi kenangan pahit.
Miranda menekan tombol lift. “Sebelum ada perombakan besar-besaran, aku mau kamu dan kawan-kawanku yang baik mulai cari tempat kerja yang baru, Kal!”
Ungkapan itu bak ledakan yang membuat Haikal terpaku sesaat. Lagi-lagi manuver Miranda di luar kebiasaan.
“Ngusir ceritanya? Biar kita selamat dunia akhirat?”
Miranda mengangguk.
“Terus aku harus lihat kamu berjuang sendirian di sini?”
Keduanya keluar dari lift dan mengarah ke mobil sedan putih kebanggaan Haikal. Sejenak mereka bertatap-tatapan selagi masih ada waktu untuk berdua saja.
“Kita mungkin nggak bisa bersama bukan karena kamu siapa, Mir. Kamu itu istimewa sampai-sampai aku dukung apa pun keputusanmu dan ada buat kamu.” Suara Haikal terdengar sabar dan jelas.
Miranda tidak dapat menyembunyikan kejengkelannya hingga saat dia naik ke mobil dan Haikal membawanya ke sebuah kafe.
Malam itu dia mengenakan celana panjang biru tua dengan potongan blouse bohemian style dengan warna senada yang memiliki kerah v. Semua tampak cocok di tubuhnya yang tinggi dan berisi. Miranda menggoyahkan isi gelasnya pelan-pelan seraya memandangi Haikal.
“Menurutmu Gio lebih cinta aku apa Mona, Kal?”
“Menurutku Arik ganteng juga, sebanding lah sama Gio.” Haikal membalas tatapannya setelah mengamati ponselnya. “Cinta-cintaan nggak penting lagi, Mir. Urusanmu itu udah urusan alam gaib, gak usah kegenitan!”
-
next
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.