NovelToon NovelToon
Jodoh Untuk Kakak

Jodoh Untuk Kakak

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: veraya

Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15 : Pengakuan

     Ara tidak bisa menghentikan kakinya yang dari tadi terus bergoyang cemas. Dia sedang berada di dalam rumah Saka tapi pikirannya melayang ke mana-mana.

     Ara datang ke rumah Saka hanya untuk mengantarkan pesanan, tapi kenapa tangannya sudah dingin seperti mau dinikahkan ke KUA saja.

     Ara duduk di ruang tamu sambil menunggu Saka meracik minuman. Ruang tamu Saka beraromakan kopi yang terkesan tenang dan hangat.

     Ara kagum dengan kerapian ini. Segala furniture diposisikan dalam sudut simetris dan presisi. Ara jadi malu sendiri jika ingat kamarnya yang serupa pangkalan daur ulang.

     Saka kembali ke ruang tamu dengan dua cangkir creamy latte hangat. Aromanya begitu menggoda hidung Ara yang spontan mengambil cangkir sebelum dipersilahkan.

     "Kamu suka?"

     Ara mengangguk-angguk cepat, lupa kalau sudah berlaku tidak sopan.

     "Maaf, aku nggak tahan buat cicipin."

     "Nggak apa-apa."

     "Kamu nggak nyaman berada di sini?"

     "Tidak, eh, maksudku...biasa saja."

     Saka memandang Ara yang selalu membuang pandangan ke lain arah seperti menghindari tatap matanya.

     “Ara, kamu bisa menolongku?”

     “Apa?”

     “Kamu bisa bikin ilustrasi?”

     “Bisa.”

     Saka mengeluarkan buku sketsa dan pena emas dari dalam tasnya. Sekilas dia melihat mata Ara membesar dan tangannya mengepal erat namun dia tahu Ara sedang menahan diri.

     “Aku mau bikin maskot untuk salah satu cabangku. Aku lagi mentok ide. Tolong gambar di sini.”

     Saka menyerahkan pena dan buku sketsa itu di hadapan Ara. Ara tidak memberikan reaksi langsung ketika pena itu tepat di dekat tangannya.

     “Baiklah. Kamu mau binatang, manusia, tanaman, benda, atau apa?”

     “Tanaman.”

     Ara sigap menggoreskan garis-garis sketsa di atas kertas. Dia mulai bisa mengendalikan ekspresinya di depan Saka. Beberapa menit berlalu, Saka terlihat puas dengan sketsa yang dibuat Ara.

     “Oke. Lucu. Aku suka. Terima kasih.”

     Saka mengulurkan tangannya di depan tangan Ara.

     “Apa?” tanya Ara.

     “Penanya.” jawab Saka.

     “Oh!”

     Ara terlihat ragu melepaskan pena dari jarinya. Namun akhirnya pena itu berpindah tangan juga. Ara masih mengawasi pena itu ketika Saka meletakkannya di bawah meja bersama buku sketsa.

     “Penamu bagus, beli di mana?” tanya Ara.

     “Nggak beli. Aku dikasih.” jawab Saka.

     “Dikasih siapa?”

     “Adikku. Kenapa?”

     “Enggak."

     Ara menghabiskan sisa creamy latte-nya sambil berdecak cemas. Kakinya sudah berhenti bergoyang-goyang namun kini giliran tangannya yang sibuk meremas-remas pinggiran bajunya.

     Saka seolah tahu apa yang disembunyikan oleh Ara. Gestur dan mimik wajah Ara yang tidak pandai menyembunyikan sesuatu itu sudah cukup untuk menjadi bukti.

     Saka semakin mengagumi Ara yang karyanya selama ini dia baca bersama Devin. Cerita dalam novel itu seolah benar-benar nyata dan sulit dilupakan.

    "Mas, saya boleh ke toilet sebentar?" tanya Ara.

     "Oh, tentu saja boleh. Itu di dekat pantry, kamu belok kanan. Dekat tangga."

     "Makasih."

     Secepat kilat Ara menuju toilet lalu membuka dan menuangkan semua isi tasnya. Matanya bergerak cepat mengabsen semua barang-barangnya.

     Bahu Ara melorot ketika tahu pena emas miliknya tidak ada di antara sebaran barang-barang dari isi lambung tasnya.

     Ara menggigit bibir. Dia cemas jangan-jangan pena yang tadi adalah penanya yang hilang. Tapi Ara tidak bisa begitu saja mengaku dan mengambil pena itu.

     Ara gemas sendiri dengan kecerobohannya. Bagaimana bisa pena itu ada di tangan Saka? Apakah terjatuh lalu dipungut oleh Saka? Nggak mungkin pena itu terbang melayang sendiri ke rumah ini, kan? Pena itu bukan sapu terbang seperti milik Harry Potter.

     Ara menarik nafas panjang. Dia akan mengambil pena itu diam-diam begitu ada kesempatan. Ya, begitu saja.

     Ara kembali ke ruang tamu dengan mimik muka yang dibuat setenang mungkin. Jangan sampai ketahuan kalau dia sebenarnya sedang panik.

     "Tidak tersesat, kan?" tanya Saka sambil tertawa.

     "Hahaha...enggak. Aku lebih sering tersesat ketika melihat aplikasi map. Toiletmu tidak ada di map, jadi aku tidak tersesat. Hahaha..."

     Lelucon absurd.

     "Ara..." Saka kembali memasang mimik serius.

     "Ya?"

     "Alasan kenapa aku minta kita ketemu di rumahku adalah...karena ada yang harus aku ceritakan sama kamu."

     "Apa itu?"

     Hati Ara seperti berlomba di arena pacuan kuda. Mencoba menerka-nerka apa yang akan Saka ceritakan padanya.

     Apakah Saka akan mengakui kalau dia tahu siapa pemilik pena itu? Apakah Saka sebenarnya adalah seorang mata-mata yang sedang menyamar? Apakah dia ketua geng motor? Ataukah dia makhluk Saturnus yang ingin menguasai bumi? Yang pasti dia bukan artis Korea yang sedang melakukan reality show dengan kamera tersembunyi kan?

     Ara mulai celingukan melihat sekeliling, barangkali ada benda mencurigakan serupa kamera atau kru film.

     "Kamu lihat foto itu?"

     Saka menunjuk foto keluarga yang terpajang di dinding. Ara mengikuti arah telunjuk Saka.

     Foto dengan anggota keluarga empat orang. Seorang wanita berparas sendu sedang duduk di kursi bersama pria dengan rambut setengah beruban, serta dua orang anak laki-laki yang berdiri di belakangnya.

     "Foto keluargamu?"

     "Ya. Ayah, Ibu, dan adikku."

     "Ibumu cantik. Dan kita punya kesamaan. Adikku semuanya juga laki-laki. Kamu pasti sudah tahu ceritanya dari Om Agus dulu itu. Kalau kamu masih ingat."

     "Masih. Masih ingat. Aku nggak bisa lupa momen pertama kali kita ketemu."

     Ara menunduk sambil tersenyum samar.

     "Ibuku ingin aku cepat menikah karena beliau selalu merasa umurnya tidak akan panjang."

     "Ibumu sakit?"

     Saka mengangguk. Matanya masih sendu ketika menatap foto ibunya. Ibu yang selalu sabar menghadapi ujian hidup tapi terkesan tidak sabar kalau menyangkut pernikahan Saka dan menimang cucu.

     "Tadinya aku pikir aku nggak akan bisa jalan lagi sama kamu, Ra. Karena aku hampir tidak berharap apa-apa sama kamu. Tapi makin ke sini, aku makin mengerti perasaanku. Aku tahu aku banyak kekurangan, salah satunya ya yang kemarin kamu lihat. Aku punya trauma. Dan aku pikir kamu juga sama. Maaf kalau aku menyimpulkan begitu."

     Ara menahan nafas seolah-olah tubuhnya akan ditelanjangi dan terlihatlah semua noda yang menempel di kulitnya.

     Saka menatap Ara dengan mata penuh pemakluman dan harapan.

     “Mungkin karena ada kesamaan, tanpa kita sadari, jadinya aku tertarik terus ke kamu. Aku nggak bisa nahan lagi. Aku harus bilang ini ke kamu. Bisa nggak kita terusin hubungan ini ke arah yang lebih jauh lagi? Kalau anak ABG sih bilangnya pacar ya, tapi untukku yang sudah berumur ini rasanya kok lucu...”

     Mata Ara mengerjap. Dia tidak menduga ini akan terjadi. Dia tidak menyangka akan secepat ini mendapat pengakuan dari Saka.

     “Mas…aku berharap ibu kamu cepat sembuh, tapi, aku belum tahu…”

     “Nggak harus kamu jawab sekarang. Tapi aku pengen kamu tahu. Aku butuh dekat denganmu, aku pengen kita bahagia bareng, melupakan masa lalu bareng, melupakan ketakutan kita, trauma kita. Aku nggak akan nanyain traumamu, sampai kamu mau cerita sendiri. Atau kalaupun kamu nggak mau cerita juga...aku nggak akan maksa. Kita bisa saling menguatkan. Kita jalan ke depan bersama-sama."

     Ara tidak tahu harus bereaksi apa. Bukankah ini yang diinginkan orang tua dan adik-adiknya? Menikah lalu punya kehidupan sendiri?

     Saka kembali menatap foto ibunya sambil tersenyum tipis.

     "Aku ingin mewujudkan keinginan ibuku. Sama kamu. Kamu bersedia?"

     Ara menggigit bibirnya tanda dilema mulai melanda. Langkah-langkah alternatif mulai muncul dalam pikirannya. Melarikan diri atau jujur saja?

     "TRIMA! TRIMA! TRIMA!"

     Tiba-tiba Devin muncul menyembulkan kepalanya dari jendela samping rumah yang terbuka. Saka dan Ara? Tidak perlu ditanya lagi. Keduanya hampir dilarikan ke IGD karena jantung tiba-tiba melompat sampai atap.

     "Devin! Kamu ya..."

     Saka beranjak dari sofa lalu menutup jendela tanpa peduli lagi Devin sedang koar-koar sambil ketok-ketok jendela ditambah isyarat kedua tangan bersalaman pada Ara.

     Ara menengok lagi foto keluarga di dinding lalu beralih ke Devin.

     "Eh? Cowok permen angkat kardus di percetakan??"

1
Sumringah Jelita
paket komplit
veraya: terima kasih atas apresiasinya 🥰🥰 🥰
total 1 replies
ian gomes
Keren abis, thor! Jangan berhenti menulis, ya!
veraya: Terima kasih supportnya, smangat lanjut 🥰🥰
total 1 replies
Shion Fujino
Lanjutkan ceritanya, jangan sampai aku ketinggalan!
veraya: Terima kasih dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!