Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Kekuatan Lara
Keesokan harinya, Lara sudah siap dengan segala informasi yang berhasil mereka kumpulkan tentang Raka. Ternyata, Raka bukan anak sembarangan. Dia adalah anak dari seorang pebisnis sukses yang memiliki beberapa perusahaan besar di kota. Informasi ini memberikan mereka gambaran kenapa Raka begitu percaya diri dan penuh misteri. Namun, Dion, Nisa, Reza, Aldi, dan Fariz tetap waspada. Mereka tidak ingin Clara terjebak dengan orang yang punya niat tidak baik, tak peduli seberapa kaya atau suksesnya keluarga Raka.
Mereka memutuskan untuk berkumpul di kantin sebelum Lara beraksi. Seperti biasa, suasana santai dan penuh canda tawa.
"Jadi, Lara," ucap Reza sambil menatapnya dengan wajah serius yang dibuat-buat, "kamu udah siap kan? Ini bukan sekadar tugas biasa. Ini misi penting! Jangan sampai kamu kebawa baper!"
Aldi, yang duduk di sebelah Reza, langsung tertawa. "Baper? Jangan-jangan Lara malah jatuh cinta sama Raka! Gawat, dong."
Lara hanya memutar mata sambil tersenyum penuh percaya diri. "Oh please, kalian underestimate aku banget. Kalau aku mau, Raka bakal tunduk dalam sekejap. Aku ini, kan, paket komplit."
Fariz yang biasanya tenang pun ikut menambahkan, "Wah, sombong amat. Hati-hati, yang terlalu pede biasanya malah ketikung sendiri."
Nisa menatap Lara dengan sedikit khawatir, meski terselip juga rasa percaya. "Lara, yang penting kamu hati-hati, ya. Aku masih nggak nyaman dengan rencana ini, tapi kalau ini satu-satunya cara, kita harus jalanin."
Dion, yang sedari tadi diam, mengangguk. "Iya, Lara. Kita memang butuh bukti untuk memastikan siapa sebenarnya Raka. Tapi inget, Clara nggak boleh tahu."
Lara mengangkat bahunya dengan santai. "Tenang aja. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Raka nggak akan tahu apa yang menunggunya."
Aldi menepuk bahu Dion sambil tersenyum lebar, "Udah, biarin aja. Kalau Lara gagal, paling enggak kita masih bisa ngejek dia nanti."
Reza ikut mengangguk sambil terkikik, "Iya, bener tuh! Kita jadikan dia bahan becandaan sebulan penuh."
Lara menatap mereka dengan tatapan tajam tapi senyum tipis masih menghiasi wajahnya. "Kalau aku berhasil, kalian yang pertama kali aku suruh bayar traktiran buat aku."
Suasana jadi sedikit lebih ringan dengan candaan itu, meski mereka tahu tugas yang dihadapi tak mudah. Setelah selesai makan, Lara berdiri dengan penuh percaya diri. "Oke, waktunya aku mulai beraksi."
Fariz yang biasanya tenang berkata, "Good luck, Lara. Kami semua menunggu kabar baik."
Lara menatap mereka semua dan dengan senyum percaya diri, dia berjalan menuju tempat Raka biasa nongkrong. Dion, Nisa, Reza, Aldi, dan Fariz mengamati dari jauh, mencoba bersikap santai agar tidak terlihat mencurigakan.
Di pojokan kantin, Raka sedang duduk sendirian, memainkan ponselnya. Lara melangkah ringan mendekatinya, menampilkan ekspresi yang sudah direncanakan matang-matang—terkesan tidak terlalu tertarik, tapi cukup menarik perhatian. Dia berhenti di depan Raka dengan santai.
"Hey, Raka, lagi sendirian?" sapa Lara dengan senyum manisnya.
Raka menoleh, sedikit terkejut melihat Lara. “Oh, hey. Iya, cuma lagi nunggu temen. Kamu?”
Lara menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar di meja, seolah-olah tidak peduli dengan kehadiran Raka. "Aku juga lagi bosan. Temen-temenku udah pada sibuk sendiri, jadi aku pikir, kenapa nggak ngobrol sama kamu aja?"
Raka mengangkat alis, jelas terkesan dengan sikap santai Lara. "Hmm, aku nggak nyangka kamu bakal ngajak ngobrol. Biasanya kamu sama geng kamu kan?"
Lara tertawa kecil, suaranya manis tapi penuh kepercayaan diri. "Aku bisa kok ngobrol sama siapa aja, asal orangnya menarik. Kamu termasuk menarik, kan?"
Raka tertawa kecil, meski jelas ada rasa bangga di wajahnya. "Menarik? Mungkin aja. Jadi, apa yang bikin kamu tertarik buat ngobrol sama aku?"
Lara mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap Raka dengan tatapan penuh makna. "Mungkin aku pengen tahu lebih banyak tentang kamu. Kamu kan anak baru, banyak yang bilang kamu itu misterius."
Sementara itu, dari jauh, kelompok Dion menyaksikan interaksi itu dengan campuran rasa cemas dan penasaran.
"Nggak nyangka Lara bisa seluwes itu," komentar Reza sambil meminum jusnya. "Dia bener-bener tau cara bikin cowok tertarik."
Aldi menambahkan sambil terkikik, "Kalau gue jadi Raka, mungkin udah grogi duluan."
Fariz mengangguk setuju, "Tapi kita harus tetap hati-hati. Raka bisa lebih licik dari yang kita kira."
Nisa yang tampak paling tegang di antara mereka memandang dengan gelisah. "Aku tetap nggak suka. Lara kelihatan tenang, tapi kita nggak tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya."
Dion menatap ke arah Lara dan Raka yang masih berbincang-bincang, merasa sedikit lega tapi juga waspada. "Kita tunggu saja. Kalau Lara bisa bikin Raka lengah, mungkin kita akan dapat petunjuk lebih banyak."
Lara melanjutkan pembicaraan dengan Raka, memainkan perannya dengan sempurna. Dia mulai melempar beberapa pujian halus, sedikit menggoda tapi tidak berlebihan, sambil terus menjaga ekspresi yang netral. Dia tahu, jika dia terlalu agresif, Raka mungkin akan curiga.
Setelah beberapa menit, Lara merasa waktunya sudah tepat untuk sedikit lebih dekat. Dia meraih salah satu kursi dan duduk di depan Raka, membuat jarak antara mereka semakin kecil. “Jadi, kamu katanya anak seorang pebisnis sukses, ya? Aku dengar-dengar perusahaan ayahmu besar banget.”
Raka tersenyum bangga. “Iya, lumayan lah. Perusahaan keluarga, jadi aku udah terbiasa dengan dunia bisnis dari kecil.”
"Impresif," Lara berkomentar, menampilkan ketertarikan yang tulus, meskipun dalam hatinya dia hanya mengikuti rencana. "Pasti menyenangkan ya, punya kehidupan yang mapan dan nggak perlu khawatir soal masa depan."
Raka mengangguk. “Iya, tapi ada tanggung jawab besar juga. Aku harus belajar banyak supaya bisa nerusin usaha keluarga.”
Lara tersenyum tipis, merasa Raka mulai terbuka. “Terdengar berat, tapi aku yakin kamu bisa. Kamu kelihatan tipe orang yang ambisius.”
Raka mengangguk, sedikit tersenyum. “Mungkin begitu.”
Dari kejauhan, Dion dan kawan-kawan masih terus mengawasi.
"Nah, gimana menurut kalian?" tanya Aldi sambil mengunyah keripik. "Kira-kira Raka bakal kena jebakan Lara nggak?"
Reza mengangkat bahu. "Kalau Lara beneran sekeren yang dia bilang, mungkin bakal berhasil."
Fariz hanya tersenyum tipis. "Ini baru permulaan. Kita lihat aja nanti gimana reaksi Raka."
Nisa menatap Lara dan Raka dengan tajam, masih merasa ada sesuatu yang salah. "Aku nggak yakin. Ada sesuatu tentang Raka yang bikin aku gelisah."
Dion yang duduk diam sejak tadi akhirnya buka suara. “Yang penting kita tetap waspada. Kalau Lara bisa bikin Raka lengah, mungkin kita akan tahu apa rencana sebenarnya.”
Lara melirik Raka yang tampak semakin santai di depannya. Dia merasa rencananya mulai berjalan lancar, tapi tetap waspada. Meskipun Raka terlihat tertarik, dia harus hati-hati agar tidak terjebak dalam permainan sendiri.
Dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, Lara menyudahi percakapan dengan senyum misterius. “Aku rasa, aku harus pergi dulu. Tapi kita bisa ngobrol lagi nanti, kan?”
Raka mengangguk, senyum penuh arti terpancar di wajahnya. “Tentu. Aku tunggu.”
Lara melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan Raka sendirian. Saat kembali ke kelompok Dion, dia mendapati teman-temannya yang sudah menunggu dengan ekspresi penasaran.
“Gimana? Apa dia tertarik?” tanya Nisa, langsung menyambutnya dengan tatapan tegang.
Lara menyeringai. "Sangat tertarik. Sekarang kita tinggal lihat, seberapa jauh dia bisa lengah."
Reza berseru sambil terkekeh, “Wah, beneran berhasil! Gue kira cuma omong kosong.”
Aldi menepuk bahu Lara. “Keren! Lo beneran hebat, Lar. Gue nggak nyangka lo bisa ngegoda dia dengan sempurna.”
Lara hanya tersenyum penuh kemenangan. "Ini baru permulaan. Kita tunggu hasil akhirnya."
Dion yang sedari tadi diam hanya tersenyum tipis. "Baiklah, kalau gitu kita tinggal tunggu langkah selanjutnya. Kita lihat, apakah Raka benar-benar akan memperlihatkan sisi aslinya."
Nisa masih tampak sedikit khawatir, namun dia tahu bahwa mereka harus terus berjalan dengan rencana ini. "Aku harap kita bisa membuka kedoknya secepat mungkin. Aku nggak suka lihat Clara semakin dekat dengan dia."
Aldi mengangguk. "Tenang, Nisa. Dengan Lara di pihak kita, kayaknya semuanya bakal lancar."
Fariz menambahkan, "Tapi kita tetap harus hati-hati. Jangan terlalu terburu-buru. Kalau Raka beneran orang yang kita curigai, dia nggak akan gampang ketahuan."
Lara melirik teman-temannya satu per satu dan berkata dengan nada penuh percaya diri, "Tenang aja. Gue bakal mainin peran gue dengan sempurna. Raka nggak akan tahu apa yang menunggunya."
Dengan rencana di tangan dan semangat tinggi, mereka semua bersiap untuk langkah selanjutnya, berharap bahwa usaha mereka akan segera membuka kebenaran di balik sosok misterius Raka.
To be continued...