“Gun ... namamu memang berarti senjata, tapi kau adalah seni.”
Jonas Lee, anggota pasukan khusus di negara J. Dia adalah prajurit emas yang memiliki segudang prestasi dan apresiasi di kesatuan---dulunya.
Kariernya hancur setelah dijebak dan dituduh membunuh rekan satu profesi.
Melarikan diri ke negara K dan memulai kehidupan baru sebagai Lee Gun. Dia menjadi seorang pelukis karena bakat alami yang dimiliki, namun sisi lainnya, dia juga seorang kurir malam yang menerima pekerjaan gelap.
Dia memiliki kekasih, Hyena. Namun wanita itu terbunuh saat bekerja sebagai wartawan berita. Perjalanan balas dendam Lee Gun untuk kematian Hyena mempertemukannya dengan Kim Suzi, putri penguasa negara sekaligus pendiri Phantom Security.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fragmen 17
Dalam mobil itu terasa hening. Suzi diam dengan pandangan mengarah ke jalanan di balik kaca, sementara Gun fokus pada kemudi.
Sesaat sebelum keluar motel, gadis itu sempat meminta maaf untuk kesalahan konyolnya pada sang pengawal, tapi tanggapan pria itu terlalu sederhana baginya yang berucap sungguh-sungguh. Alhasil sekarang perasaannya malah bertambah kacau makin tak tenang.
“Tak perlu berlebihan, aku tak akan terpengaruh dengan hal kecil.”
Terus terngiang di telinga Suzi, sesombong itu perangai seorang pengawal. Dia tak memiliki kata lain untuk menimpal. Pria itu ... entah kenapa lebih mengintimidasi dari pada ayahnya sendiri.
"Kita sudah sampai."
Suara seksi Gun menyentak dalam hening. Suzi menoleh dan mendapati pria itu tengah melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu dan keluar. Dia mengikuti hal serupa, tapi saat hendak membuka pintu, sudah terbuka lebih dulu karena Gun yang melakukannya.
“Terima kasih.” Suzi nampak canggung setengah mati. Tas diselempangkan lalu keluar dengan pijakan ragu.
Udara lembab dari sisa hujan di desa itu masih terasa.
“Silakan.” Gun mengarahkan tangannya ke depan, meminta Suzi berjalan lebih dulu, dan gadis bergerak tanpa berkata.
Sepanjang jalan menuju tenda pengungsian yang berada di sebuah lapangan berdekatan dengan hutan, Gun dan Suzi sibuk mengamati sekitar.
Keadaan telah kacau. Rumah-rumah terendam lumpur dan beberapa dari pemilik nampak mengais sisa yang bisa diselamatkan dari apa yang mereka miliki.
Ini adalah banjir bandang terbesar sepanjang sejarah di desa itu. Hujan deras berhari-hari memaksa air sungai meluap, menyapu pemukiman seolah meluapkan amarah yang terpendam lama.
Rekan-rekan Suzi sudah berada di lokasi dari kemarin. Suzi beralasan sedikit perihal keterlambatannya.
Setelah sampai, mereka terpaku pada sosok pria tampan yang mengekor di belakang Suzi.
"Suzi, dia ....?"
Suzi mengikuti pandangan rekan-rekannya, lalu tersadar cepat. "Ah, kenalkan, dia temanku. Lee Gun, namanya Lee Gun. Atau kalian bisa memanggilnya Gun.”
“Oh, hai, Gun.” Dia Yu-hwa--seorang gadis, menyapa pertama kali.
Gun hanya mengangguk singkat dengan senyum tak kalah singkat.
Sudah terencana. Suzi berharap semoga Gun tak sampai salah memanggilnya dengan sebutan 'nona'.
Mereka mengenal siapa Suzi, putri presiden yang terlalu baik dan penyayang. Suzi tak pernah membedakan kasta, hidupnya berbaur tak pandang bulu. Dia lebih senang seperti ini dibanding duduk manis di depan piano atau menggesek biola. Kelebihan itulah yang membuat mereka tak lagi canggung terhadap seorang Suzi yang notabene merupakan seorang putri negara.
"Oh, kenapa kau tak bilang punya teman setampan ini!" Satu perempuan dengan wajah paling cantik, sebut saja Seo-yun, mengatakan itu.
Suzi hanya tersenyum dan Gun sama sekali tidak tertarik, tapi memaksakan senyum karena kode Suzi dari matanya.
Selanjutnya hanya percakapan tak penting. Sapa menyapa berlangsung alakadar saja, karena Gun tak cukup welcome untuk diajak bercanda oleh orang yang baru dikenal.
Kegiatan mereka hari ini adalah menurunkan pasokan makanan dan obat-obatan juga pakaian untuk penduduk yang terkena dampak, kemudian membagikannya secara rata.
Selama beberapa hari ke depan akan sangat disibukkan dengan pembenahan desa. Urusan pembuangan air bah dan lain-lain menyangkut itu, akan ada dari pemerintahan yang menangani.
Hari berlalu, dan hari ini adalah hari ketiga tugas Suzi dan rekan-rekannya di desa itu.
Suasana masih temaram karena jam masih berada di angka 5.30 pagi, tapi Suzi sudah terbangun dan keluar dari tendanya. Dia ingin mandi, tempatnya berada sekitar seratus meter dari tenda.
Terhubung tugas, Gun juga tak bisa berleha-leha. Dia sudah terbangun sejak jam lima tadi. Gelas kosong sisa kopinya tercampak di atas tanah. Suzi yang berjalan menuju pemandian tak luput dari perhatiannya.
"Ah, lagi-lagi aku harus menjaga orang mandi," gerutu Gun seraya berdiri lalu berjalan mengikuti Suzi. Terdengar dengusan rendah dari mulutnya. "Aku benci mengakui ini, tapi ya ... dia memang sangat manis saat selesai mandi dengan rambut basahnya yang seperti sapu. Terkadang aku lupa kalau aku ini hanya pengawal."
Hanya seorang Gun yang berpikiran sependek itu mengenai wanita, terkecuali pada mendiang Hyena.
Seperti hari-hari sebelumnya, Gun akan menunggu sedikit berjarak, duduk di atas pohon tumbang yang melengkung. Pintu kamar mandi tak mengarah lurus padanya, itu sengaja dia lakukan untuk menghindari tuduhan konyol Suzi nantinya, yang mungkin menganggap dia seorang pria me5um 24 karat.
Suara gemericik air di dalam petak kamar mandi darurat mulai terdengar. Sekian menit termakan dan suara di dalam bilik sudah tak ada, Suzi mungkin sedang berganti baju, pikir Gun.
"Kenapa dia tidak keluar juga?" Ini susah lumayan lama. Gun mengangkat diri seraya mengerut kening, pandangannya mengarah ke bilik mandi. "Tidak mungkin 'kan dia salah menggunakan celana?" Lagi-lagi sekonyol itu.
"Lebih baik kulihat saja," dia memutuskan akhirnya, dari pada hanya main asumsi yang tidak memetik hasil.
"Suzi!" panggilnya saat tiba tepat di depan bilik air itu. "Suzi! Kau masih di dalam?!"
Sampai di panggilan ketiga kali, tetap tak ada sahutan. Telinga dipasangnya menempel di pintu bilik, hening. "Apa dia sedang bercanda?"
Namun asumsi itu seketika terpatahkan, saat tak sengaja merunduk menatap kakinya, Gun mendapati sesuatu yang tak biasa. Beberapa jejak telapak sepatu yang ukurannya bukan milik Suzi, nampak masih baru. Dia kemudian membelalakkan mata.
“Ada yang tidak beres di sini!”
Tanpa berpikir lagi, sekali tendangan keras, pintu terbuka. "DAMN!!" Mengumpat kasar, Suzi sudah tak ada. Sekarang dia menyesal karena tak menunggu lebih dekat, menyesal karena takut dengan tuduhan konyol yang tak berdasar.
Saat ini yang dilakukan Gun adalah berlari mengikuti jejak kaki itu. Semakin diikuti, semakin jelas mengarah ke dalam hutan, dan jejak yang terlihat nampak begitu banyak, tapi tak satu pun seukuran dengan kaki mungil milik gadis yang dia jaga.
Sekuat tenaga tanpa peduli dingin menusuk kulit, jalanan licin berkali-kali membuatnya tergelincir dan hampir jatuh, Gun tetap tak boleh santai. Suzi Kim adalah tanggung jawab besar, dan gadis itu tak boleh sampai kenapa-napa.
"Badjingan!" Dia menggeram. Pasang matanya berhasil menangkap apa yang dikejarnya. Suzi dipanggul di atas pundak seseorang dalam keadaan terkulai lemas, jelas tak sadarkan diri.
Benar sesuai yang dia duga, tidak hanya satu orang, dua orang lain mengikuti dari belakang. Mereka para pria dengan penampilan seperti tukang tebang pohon, kumal dan sedikit berangasan.
Atas dasar apa mereka menculik Suzi? Uang tebusan, atau hanya tergoda akan moleknya tubuh gadis itu?
Jawaban akan ditemukan sesaat lagi.
Jalanan licin sudah berlalu, kini rerumputan basah yang dipijak Gun. Semakin dekat semakin mengikis jarak dan....
HAP! JDAG!
Terdengar aduhan dari mulut salah satunya. Gun menendang bagian punggung orang itu hingga tersungkur ke atas tanah.
"Keparat!" Satu lainnya memaki keras, sementara yang memanggul Suzi tetap meneruskan langkah setelah sempat terkejut sekian detik.
Tidak ada alasan untuk balas memaki, Gun melayangkan satu pukulan keras pada salah satunya. Sebatang kayu dijadikannya senjata untuk melayangkan beberapa pukulan membabi buta.
Satu tumbang satu lainnya melawan, begitu hingga berulang dua kali banyaknya. Sampai akhirnya mereka kalah dan kewalahan hanya dengan satu batang kayu berukuran kecil. Gun berlari cepat untuk menyusul si pemanggul Suzi. Belum begitu jauh.
"Turunkan wanita itu! Atau punggungmu kubuat berlubang sampai menembus dada!"
semoga amal ibadah beliau semasa hidup menjadi penghapus segala kesalahan dimasa lalu.. 🙏
ayo gun skrg saatnya beraksi
tunjukan dirimu yang selalu luar biasa itu
calon daddy tidak boleh lemah
✌️✌️