Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.
Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.
Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.
Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Hari di Kedai
Menjelang malam bulan purnama, ada begitu banyak gangguan gaib yang ia terima. Namun Baron berasumsi jika pelakunya hanya satu. Harus ia akui jika dirinya cukup kagum dengan sosok yang bisa mengelabuinya itu dengan berbagai tipuan.
Hari ini Baron memutuskan untuk pergi ke kuil dan berdoa di sana. Mungkin ia akan melakukan meditasi dan berdiam diri di sana semalaman. Bagaimana pun juga, kamarnya tak lagi aman. Jadi Baron berinisiatif untuk membakar dupa dan menempelkan kertas jimat di pintunya sebagai segel. Ia juga menaburkan garam suci di setiap area yang memungkinkan untuk dijadikan akses masuk.
Baron sudah membuat pertahanan yang berlapis-lapis di kamarnya. Setidaknya itu cukup untuk mencegah roh jahat menguasai tempat itu dan membuat keributan di sana. Sehingga Baron bisa bermeditasi dengan tenang di kuil.
Ia sudah mengatakan pada Ibu Nara sebelumnya kalau akan pergi dan tak perlu menunggunya. Sebab Baron tak akan pulang malam ini. Ia akan menetap di kuil dan memperbanyak ibadah untuk memperkuat benteng pertahanannya.
Sementara itu Nara dan ibunya masih bekerja di kedai hingga malam. Gadis itu menolak beberapa orderan klien dan memutuskan untuk tetap di rumah bersama ibunya. Ia juga tahu kalau malam ini adalah malam bulan purnama.
"Sepertinya sudah tidak akan ada pelanggan lagi," ucap Ibu Nara setelah hampir setengah jam tak ada pelanggan. Padahal ini masih jam delapan.
"Kalau begitu kita tutup saja bu," usul Nara.
Wania itu setuju dengannya. Mereka akan tutup lebih cepat malam ini.
Nara lantas bergegas menuju pintu dan menguncinya. Kemudian menunjukkan plang tutup agar tak ada pengunjung yang datang lagi. Namun, ia merasakan sesuatu yang aneh. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa merinding. Seperti ada angin yang bertiup melewatinya. Namun ruangan ini tertutup. Seharusnya tak ada angin yang berhembus.
Tak ingin ambil pusing soal itu, Nara lantas kembali menyelesaikan pekerjaannya. Sementara ibunya membereskan piring kotor di dapur, Nara bertugas untuk merapihkan kursi dan meja yang ada di sini.
'TOK! TOK! TOK!'
Seseorang tampaknya barusaja mengetok pintu dengan cukup kuat. Hingga suaranya berhasil memenuhi seisi ruangan ini. Nara lantas mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara.
Tampak seseorang dengan tubuh yang agak jangkung berdiri di depan pintu kedai mereka. Sambil berkali-kali mengetok. Pengelihatan Nara cukup buruk. Ia tak terlalu bisa melihat dengan jelas pada saat malam hari seperti ini.
"Apa dia tidak tahu kalau kedainya sudah tutup?!" oceh Nara sambil berjalan mendekat.
Kini terlihat jelas jika itu adalah Baron, gadis itu langsung menghela napas dan memutar bola matanya dengan malas.
"Ada apa?" tanya Ibu Nara.
"Baron," ungkap Nara.
"Kenapa tidak dibuka pintunya?" tanya wanita itu lagi.
"Kalau begitu biar ibu saja yang buka. Kasihan dia menunggu terlalu lama," sambungnya.
Wanita itu semula berniat untuk membukakan pintu untuk Baron yang tengah menunggu. Namun, tepat beberapa langkah setelah ia beranjak, Nara mendadak teringat akan sesuatu.
"Tunggu, bu!" cegah Nara.
Ia memberikan kode kepada ibunya untuk tidak bergerak. Sementara itu, Ibu Nara tampak kebingungan. Namun tetap mengikuti saran anaknya.
"Bukankah Baron bilang jika ia akan bermeditasi di kuil hari ini? Dan tak akan pulang?" tanya Nara untuk memastikan.
"Ya, benar," jawab gadis itu.
"Lantas kenapa sekarang ia berada di sini?" tanya Nara lagi.
"Bisa saja Baron membatalkan rencananya karena suatu alasan," jawab Ibu Nara secara gamblang.
Tiba-tiba Baron mengetok pintu itu lagi. Kali ini lebih keras dari yang sebelumnya. Hingga dinding di sekitarnya ikut bergetar pelan. Tampaknya ia marah karena tak kunjung dibukakan pintu.
"Dia bukan Baron," ucap Nara.
Gadis itu kemudian berinisiatif untuk menelepon Baron, namun sama sekali tidak diangkat. Tentu saja begitu, ia pasti menyingkirkan benda yang satu itu agar tak mengganggu konsentrasinya selama bermeditasi.
Kalau benar pria itu adalah Baron, pasti setidaknya ia mengecek ponselnya. Paling tidak ia pasti merasakan benda tersebut begetar di sakunya. Nara melihat ponselnya, dan itu sedang berdering. Baron pasti tak menonaktifkan ponselnya.
Kalau bukan karena situasinya yang seperti ini, Nara juga enggan menelepon pria itu. Ia sudah memutuskan untuk tidak berurusan lagi dengannya. Tapi sepertinya situasi yang satu ini adalah pengecualian.
Nara semakin yakin jika sosok yang ia lihat barusan bukan Baron. Ibunya juga mulai merasakan hal serupa. Baron terlihat aneh, ia jadi sangat pemarah dan juga sedikit agresif. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jika merasa marah atau kesal, ia akan pergi menyendiri untuk menenangkan dirinya. Lalu kembali setelah merasa jauh lebih baik.
"Cepat pergi ke dapur dan ambil dirigen yang ada di bawah kompor!" perintah wanita itu.
Nara tak sempat lagi berpikir. Ia langsung menuruti kata ibunya. Lalu pergi ke dapur. Ada dua kompor yang terpisah. Ia tak tahu kompor yang mana satu yang wanita itu maksud. Tetapi Nara berinisiatif untuk mengecek semua tempat. Beruntung ia langsung menemukannya dalam percobaan pertama dan mengambil barang yang dimaksud.
Gadis itu lalu bergegas keluar dan memberikan dirigen tersebut pada ibunya. Ia tak tahu apa itu dan akan dijadikan apa.
"Apa itu?" tanya Nara penasaran. Namun wanita itu tak kunjung menjawab.
Ia belum pernah melihat benda itu sebelumnya dan tak pernah menyadari keberadaannya di dapur. Padahal selama ini ia selalu berada di sana membantu ibunya.
Begitu penutupnya dibuka, aroma anyir tak sedap menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Membuat Nara secara reflek menutup indra penciumannya, sambil tetap mengamati ibunya.
Wanita itu buru-buru pergi ke arah pintu. Entah apa yang akan ia lakukan. Tapi Nara berharap agar wanita itu tak membukanya. Ia juga sudah bersiap untuk mencegahnya jika sewaktu-waktu wanita itu melakukan hal yang tak seharusnya dilakukan. Kedua netra Nara tak pernah terlepas dari ibunya.
Ibu Nara menuangkan cairan berwarna merah pekat tersebut tepat di depan pintu. Sehingga sisa cairannya merembes ke luar. Tak sengaja mengenai kaki Baron. Secara tak terduga, pria itu berteriak histeris.
"Argh! Panas!" serunya.
"Panas?" gumam Nara.
Padahal tadi Nara sama sekali tidak merasakan ada suhu panas pada dirigen itu. Sudah semakin jelas, jika keyakinan Nara benar.
Tak lama setelah cairan tersebut mengenai ujung kakinya, ia langsung berubah menjadi sosok tak solid. Berupa gas berwarna hitam pekat, yang kemudian mengilang bersamaan dengan tertiupnya angin.
Nara merasa lega, tapi sekaligus merasa kebingungan di saat yang bersamaan. Ia merasa lega karena akhirnya bahaya sudah pergi. Namun, di satu sisi ia punya begitu banyak pertanyaan untuk ibunya.