Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sempat Curiga
Ava mengerjap pelan, lantas kembali memejam karena matanya terasa sepat. Kemudian, ia menggeliat dan menikmati hangat selimut yang membungkus tubuhnya. Sangat nyaman. Rasanya ia ingin tidur lagi dan kembali terbuai dalam mimpi. Sebuah mimpi yang indah—digendong Nero dan direbahkan dengan pelan.
"Rasanya itu sangat nyata," batin Ava di antara kesadaran yang masih mengambang.
Namun, tunggu. Empuk ranjang dan hangat selimut, memang sekarang dirinya di mana?
Ingatan terakhir ketika dirinya sedang minum bersama Nero di acara pesta rekannya. Lantas, mengapa tiba-tiba sekarang ada di ranjang?
Karena terkejut dengan keadaan kini, Ava berusaha keras membuka matanya. Lalu, menatap sekeliling dan mendapati sebuah ruangan yang sangat familier.
"Ah, kepalaku sakit." Ava memegangi pelipis dan memijatnya pelan-pelan. Kepalanya terasa sakit dan berat, hingga dia kesulitan untuk bangkit dari tidurnya.
Setelah berusaha keras—sampai meringis menahan sakit, akhirnya Ava berhasil duduk. Ia pandangi sekali lagi ruangan tempatnya berada saat ini. Tidak salah lagi, itu memang kamarnya.
"Kenapa tiba-tiba di sini?" batin Ava sembari menunduk, menatap pakaian yang ia kenakan. Masih sama dengan semalam. Gaun merah terbuka itu yang melekat di tubuhnya saat ini. Bedanya, tak lagi beraroma wangi memikat. Justru sekarang aromanya membuat mual. Parfum, keringat, alkohol, bercampur menjadi satu.
Belum sempat Ava mengingat tentang semalam—bagaimana dirinya tiba di sana, tiba-tiba pintu kamar dibuka dari luar. Pelayannya yang datang.
"Syukurlah Anda sudah bangun, Nona."
"Aku ... kenapa bisa ada di sini? Seingatku semalam masih ada di pesta," ucap Ava.
"Anda mabuk berat, Nona. Teman Anda yang mengantar ke sini. Anda digendong sampai ke kamar ini. Lalu dibuatkan teh hangat dan disuapi dengan telaten. Bahkan, sekarang teman Anda masih ada di depan, Nona. Katanya, dia akan pergi setelah Anda bangun dan dipastikan baik-baik saja."
Ava mengernyitkan kening. "Temanku?"
"Iya, Nona. Teman Anda, Tuan Nero."
Mendengar jawaban pelayan, Ava tertegun sesaat. Meski senang karena Nero mengantarnya dan merawatnya dengan baik, tetapi Ava juga bingung. Semalam, minuman yang bermasalah itu milik Nero. Orang yang mabuk tak berdaya seharusnya juga Nero. Lantas, mengapa justru dirinya? Apakah dia terlalu banyak minum?
"Apakah Anda akan mandi, Nona? Biar saya bantu menyiapkan air hangat," ujar pelayan.
"Iya, tapi ... tunggu sebentar." Ava diam sesaat. "Apakah Nero juga mabuk?" lanjutnya.
"Maaf, Nona, saya kurang paham. Semalam beliau memang sering memegangi kepala, tapi ... saya tidak melihatnya muntah atau bicara sembarangan seperti kebanyakan orang mabuk."
Ava kembali diam. Ini aneh. Sangat aneh.
"Nona," tegur pelayan karena Ava justru melamun dalam beberapa saat.
"Mmm ... tolong ambilkan ponselku," pinta Ava. Dia harus memastikan sesuatu. Apakah ada kesalahan dengan rencananya semalam.
Setelah ponsel ada di tangan, Ava langsung menghubungi orang suruhannya. Menanyakan perihal trik licik yang mereka gunakan untuk menjebak Nero.
"Saya sudah melakukan sesuai yang Anda perintahkan, Nona. Minuman itu benar untuk Tuan Nero, tidak tertukar dengan minuman Anda. Saya berani jamin tidak ada kesalahan dalam hal itu, Nona," terang seseorang di seberang.
"Tapi, kenapa malah aku yang mabuk, sedangkan Nero tidak? Kau jangan coba-coba mempermainkan aku ya!"
"Saya tidak mempermainkan Anda, Nona. Saya sudah melakukan perintah, sungguh. Tapi, semalam Tuan Nero memang meminumnya sedikit. Mungkin ... tidak sampai dua gelas."
Ava mencoba mengingat-ingat lagi, benarkah semalam Nero hanya meminum sedikit? Namun, gagal total. Ava tak ingat apa pun. Bayangan yang terekam terputus saat ia meneguk minumannya sendiri sambil menatap Nero yang mulai mengangkat gelas kedua. Setelah itu, benar-benar hilang. Tak ada sedikit pun adegan yang tergambar dalam otaknya.
"Semalam Anda mabuk lebih dulu, Nona. Makanya Tuan Nero tidak menghabiskan minumannya, karena beliau sibuk menjaga Anda," sambung orang suruhan Ava, menjelaskan apa yang ia lihat semalam.
"Tapi ...."
Ava menggantungkan kalimatnya. Antara percaya dan tidak dengan penjelasan yang barusan ia dengar. Satu botol wine seharusnya belum membuat dirinya mabuk. Namun, agak mustahil orang suruhan itu berbohong padanya. Dia bukan orang asing. Sebelumnya, Ava sudah sering membayar jasanya untuk melakukan ini itu, dan tidak ada kesalahan. Ah, atau jangan-jangan ... ini ada campur tangan Nero? Mungkin saja lelaki itu mengetahui niat buruknya dan kemudian melakukan sesuatu.
"Apa benar begitu? Tapi, dari mana dia tahu tentang niat burukku? Aku sudah menyusunnya dengan rapi. Sedangkan identitasku sebagai anak Papa, dia tak mungkin tahu. Identitas ini sangat rahasia, hanya orang-orang tertentu yang paham," ucap Ava dalam hatinya.
"Ah, ya sudahlah, aku pikirkan nanti saja. Sekarang yang penting membersihkan diri dulu. Aku sangat kacau, bahkan mencium aromaku sendiri rasanya ingin muntah," batin Ava sambil melangkah turun dari ranjang.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian yang lebih baik, Ava keluar dari kamar dan menemui Nero yang masih menunggu di ruang tamu. Lelaki itu tampak bugar, seolah tak ada tanda-tanda bekas mabuk di wajahnya.
"Kau sudah bangun, Ava? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Nero sembari menyimpan ponselnya.
"Sudah lebih baik. Maaf ya, semalam aku merepotkan kamu." Ava menjawab sembari duduk di depan Nero.
Perasaannya masih campur aduk saat ini, antara bingung dan malu. Bingung karena kejadian semalam seolah tak masuk akal—kecuali Nero terlibat, malu karena semalam Nero melihatnya dalam keadaan kacau.
"Tidak merepotkan, Ava. Semalam kan aku memang datang untuk menemani kamu. Jadi, wajar kalau aku bertanggung jawab sampai kau pulang dengan selamat."
Ava tertawa kecil. "Ya, kalau begitu selamat datang di penthouse pribadiku. Mmm, bagaimana menurutmu?"
"Aku hanya tahu kamarmu dan ruang tamu ini. Mungkin aku bisa memberikan tanggapan kalau kau mengajakku jalan-jalan dan melihat keseluruhan penthouse ini. Itu jika kau tidak keberatan," jawab Nero.
"Memangnya kau mau?" tanya Ava sambil tersenyum manis. Bebannya terkait kejadian semalam sedikit berkurang setelah berbincang dengan Nero. Entahlah, ia merasa nyaman saja dan dengan mudah menepis jauh rasa curiga yang sejak tadi bersarang dalam benaknya.
"Tentu saja."
"Baiklah. Kalau begitu tunggu sebentar. Bibi sedang menyiapkan sarapan untuk kita. Selesai makan, aku akan membawamu jalan-jalan melihat penthouse ini." Ava menjeda kalimatnya sesaat. "Tapi ... kalau aku meminta hal yang sama, kau bisa menurutinya tidak?" sambungnya.
"Hal yang sama? Apa?" Nero mengernyit heran.
"Bawa aku jalan-jalan di rumahmu." Ava sedikit tertawa, seolah pernyataannya itu sekadar candaan.
Namun, tak disangka, Nero justru memberikan jawaban yang amat sangat memuaskan.
"Boleh saja, asal kau tidak keberatan bertemu dengan istriku."
"Kau sendiri? Apa tidak keberatan jika istrimu cemburu?"
"Bukannya aku sudah mengatakan padamu bagaimana jalan pernikahanku dengannya," sahut Nero, terkesan acuh tak acuh.
"Baiklah, kalau begitu aku akan ikut kamu nanti." Ava tertawa renyah. Kemudian, menyambung ucapannya dalam hati, "Mungkin ... semalam memang aku yang ceroboh. Orang suruhanku tak mungkin salah, sedangkan Nero ... tak mungkin dia melakukan sesuatu. Buktinya, dia bersedia membawaku ke rumahnya. Jika dia mencium niat burukku, mustahil mau menjanjikan itu."
Ava bernapas lega. Setelah tadi sempat curiga, kini bebas lagi pikirannya. Ava kembali yakin bahwa Nero sebenarnya memang tertarik padanya. Hanya saja, dia memegang prinsip kolot—tidak sembarang melakukan hal intim di luar pernikahan. Itu sebabnya selama ini tidak tergoda, atau mungkin tergoda tetapi berusaha ditahan.
Ah, tetapi konyol juga. Tidak mau melakukan hal intim, namun bebas saja membagi hati. Bukankah itu sama saja?
"Ck, prinsip orang terkadang memang aneh-aneh," batin Ava.
Bersambung...