Sebelum lanjut membaca, boleh mampir di season 1 nya "Membawa Lari Benih Sang Mafia"
***
Malika, gadis polos berusia 19 tahun, tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya dalam satu malam. Dijual oleh pamannya demi sejumlah uang, ia terpaksa memasuki kamar hotel milik mafia paling menakutkan di kota itu.
“Temukan gadis gila yang sudah berani menendang asetku!” perintah Alexander pada tangan kanannya.
Sejak malam itu, Alexander yang sudah memiliki tunangan justru terobsesi. Ia bersumpah akan mendapatkan Malika, meski harus menentang keluarganya dan bahkan seluruh dunia.
Akankah Alexander berhasil menemukan gadis itu ataukah justru gadis itu adalah kelemahan yang akan menghancurkan dirinya sendiri?
Dan sanggupkah Malika bertahan ketika ia menjadi incaran pria paling berbahaya di Milan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Hujan semakin menggila, membasahi setiap sudut jalan di Milan, ketika Albert, pria paruh baya berjas gelap, menurunkan kaca mobil dan melihat siluet seorang gadis kecil sendirian, meringkuk di bawah atap halte bus.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu, Nak?” gumam Albert seraya menghampirinya.
Tanpa pikir panjang, Albert mengangkat tubuh Malika yang menggigil dan membuka pintu mobil dengan cepat. Ia merasakan demam panas yang tinggi dari kulit gadis itu.
Setelah memastikan Malika aman di kursi penumpang, ia mengarahkan kemudi ke sebuah bangunan terpisah yang terletak di area belakang Mansion Frederick, tempat tinggal para pelayan senior.
Begitu membuka pintu rumah, Albert berteriak lantang, “Sofia! Cepat kemari!”
Sofia, pelayan senior yang bertugas mengawasi dapur dan rumah tangga, langsung muncul. Matanya membelalak kaget begitu melihat Malika yang basah kuyup dalam gendongan Albert.
“Astaga! Siapa gadis ini, Albert?!” serunya panik.
Albert menidurkan Malika di sofa panjang ruang tamu. Ia menuju kamar, mengambil selimut tebal, lalu kembali lagi dan menutup tubuh gadis itu, seolah sedang melindungi sesuatu yang sangat rapuh.
“Dia keponakanku,” jawab Albert cepat. Kalimat yang terdengar mulus, tapi jelas sebuah kebohongan penuh risiko yang baru saja ia ciptakan.
Albert tidak punya pilihan. Jika dia mengatakan yang sebenarnya, bahwa gadis ini hanyalah orang asing yang ia temukan pingsan di halte, para pelayan pasti langsung melaporkan ke Nyonya Besar Frederick. Dan Malika akan diusir tanpa belas kasihan. Ia tak akan membiarkan itu terjadi.
“Keponakan?” Sofia menatap Albert sengit.“Bagaimana mungkin kau membiarkan keponakanmu kehujanan sampai pingsan begini? Kau meninggalkannya? Dasar paman yang tak punya perasaan!”
Albert hanya mengangkat tangan, tak mampu membalas makian itu. Ia menerima saja rasa marah Sofia.
Dengan langkah cepat, Sofia menuju dapur.
“Aku masakkan bubur dulu! Sudah pukul dua pagi, tapi tidak apa. Gadis ini harus makan. Agar perutnya tetap hangat,” ucap Sofia.
“Baiklah, aku titip keponakanku sebentar. Tolong ganti juga pakaiannya. Aku harus kembali ke pos jaga sebentar, memastikan tidak ada yang melihat mobilku basah,” balas Albert.
“Baik! Tapi setelah ini kau harus jelaskan semuanya!”
Albert tersenyum tipis, senyum yang menyimpan rahasia besar, lalu pergi untuk mengurus keperluan lainnya.
Tak lama kemudian, Malika membuka matanya. Kepalanya masih terasa berat dan pandangannya berputar. Ia mengerjap, menatap ruangan asing tempat ia berbaring.
Gadis itu berada di sofa yang nyaman, diselimuti oleh selimut yang hangat. Pakaiannya sudah diganti dengan piyama bersih dan kering.
“Ini di mana?” gumamnya pelan.
Sofia yang baru saja datang membawa semangkuk bubur panas langsung terburu-buru menghampiri.
“Kau sudah sadar?! Syukurlah. Ya Tuhan, demammu tadi tinggi sekali. Dan pamanmu itu, malah meninggalkanmu untuk bekerja lagi!”
“Paman?” Malika mengernyit bingung.
Apa paman yang dimaksud wanita ini adalah Paman Jhon? Tidak mungkin. Paman Jhon tak akan pernah membiarkannya selamat, apalagi membawanya ke tempat yang nyaman.
“Iya pamanmu. Albert.” Sofia duduk di sampingnya. “Siapa namamu, gadis manis?” tanyanya sambil mengangkat dagu Malika dengan lembut.
“Malika,” jawabnya.
Sofia tersenyum cerah. “Nama yang sangat indah.”
“Bibi siapa?”
“Kepala pelayan mansion. Panggil aku Bibi Sofia. Aku rekan kerja pamanmu. Nah, makan dulu buburnya, lalu tidurlah lagi. Agar besok kau bisa bangun dengan tubuh segar,” ucap Sofia.
Sofia meninggalkan Malika sendirian di ruang tamu.
Setelah Sofia pergi, Malika mulai menyantap bubur itu dengan lahap. Rasa hangat pun menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Enak...” gumamnya.
Selesai makan, Malika menatap sekeliling. Dinding putih bersih, lantai mengkilap, aroma kayu manis samar. Semua terasa asing, namun anehnya, terasa aman.
Gadis itu beranjak dari duduknya, melihat-lihat tempat itu. Tatapan Malika seketika tertuju pada sebuah bingkai foto di atas meja.
Foto seorang pria berjas rapi dengan janggut putih tersenyum hangat.
“Jadi dia paman Albert?” gumam Malika lagi.
“Syukurlah kau baik-baik saja.”
Malika terlonjak kecil. Ia tak sadar sejak tadi Albert sudah berdiri di belakangnya.
“T-terima kasih sudah menyelamatkan Lika, Paman,” ucap Malika berbalik dan menunduk sopan.
Albert tersenyum ramah. Ia mengeluarkan sebuah kalung kecil dari saku jasnya, kalung perak dengan liontin kecil bundar.
“Ini milikmu, bukan? Paman menemukannya di dekat halte.”
“Kalung Lika.” Gadis itu menerimanya, memegangnya erat seolah itu satu-satunya benda yang tersisa dari hidup lamanya.
Tanpa sadar, air mata jatuh pelan. Jhon bilang kalung itu adalah pemberian kedua orangtuanya Malika, yang dengan tega membuang Malika ke tempat sampah.
Albert tidak bertanya apa pun tentang air mata itu. Ia hanya menepuk bahu Malika dan mengusapnya dengan lembut.
“Paman tidak akan memaksamu bercerita sekarang. Tapi setelah melihat keadaanmu, paman sudah mengambil keputusan.”
Malika mendongak. “Keputusan apa, Paman?”
“Mulai malam ini, jika kau mau, jadilah keponakan paman, Malika,” ucap Albert menatapnya dengan tatapan seorang ayah.
Malika tertegun. “Paman tahu nama Lika?”
“Bibi Sofia yang memberitahu paman.”
Hening sesaat. Lalu Malika mengangguk perlahan. Sebuah keputusan kecil yang akan mengubah hidupnya selamanya. Ia telah mendapatkan tempat berlindung, meskipun ia tidak tahu, tempat itu adalah area belakang dari Mansion Alexander Frederick.
Dalam hatinya, Malika hanya berdoa pada Tuhan satu hal, semoga Paman Albert tidak seperti Paman Jhon.
“Dan semoga kali ini, Lika tidak akan dibuang lagi...” batinnya.
malika dan Leon cm korban😄🤣