Rio seorang master chef yang menyukai seorang wanita penyuka sesama jenis
bagaimana perjuangan Rio akankah berhasil mengejar wanita yang Rio cintai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayunda nadhifa akmal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Beberapa hari ini Luna selalu menemani aku,aku memutuskan untuk melakukan visum,aku ingin pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.
Aku berusaha tegar dalam menghadapi masalah ini,aku tak berani membuka gawaiku,aku takut membaca semua pesan dari rio.
Dua Minggu berlalu...
Aku merasakan tubuhku sangat lemah,nafsu makan berkurang dan juga aku merasakan pusing yang sangat hebat,entah apa yang terjadi pada tubuhku.
"ayo kita ke dokter,mungkin kamu kelelahan setelah melakukan visum di rumah sakit"
aku patuh pada Luna,
beberapa saat aku menunggu hasil pemeriksaan.
"ibu Renata"ujar seorang suster memanggilku
Seorang dokter memintaku duduk,dokter Rudi tersenyum melihatku.
"maaf ibu Renata, setelah melakukan seluruh pemeriksaan ibu hamil empat Minggu".
duniaku seakan runtuh seketika mendengar ucapan dokter Rudi,kehamilan yang selama ini aku tak pernah inginkan.
Kehamilan bukan dari pria yang aku cintai,pria yang tak pernah aku kenal sebelumnya.
Aku menangis sejadi jadinya,Luna berusaha untuk menenangkan diriku,
Di dalam taksi aku memukul perutku sendiri,aku ingin bayi ini tiada,Luna berusaha menghentikanku.
Luna membawaku ke rumahnya,rumah sederhana yang tampak hangat.
aku di bawanya ke kamar yang sederhana namun sangat bersih.
Aku mendengar Luna berbicara dengan ibunya, sementara aku di sini duduk memeluk lututku sambil menangis.
tampak seorang wanita menghampiriku..
"nak,ayo makan dulu,bayimu butuh nutrisi"
Deg....
Seketika itu wajahku memucat,bayi yang tak pernah aku inginkan,bayi yang akan jadi penghalang hubunganku dan Rio..
"nak"ujar wanita itu dengan lembut mengusap rambutku penuh kasih sayang.
ia menatapku dengan tatapan yang menyejukkan,ia mengusap air mataku.
Dengan sabarnya wanita itu mencoba menyuapiku.
Dan untuk pertama kalinya aku merasa tidak sendirian.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Tubuhku lelah, tapi pikiranku terus berputar tanpa henti. Setiap kali menutup mata, aku mendengar kembali suara dokter Rudi, “Ibu hamil empat minggu.”
Aku menarik selimut sampai ke dada, berusaha mengatur napas. Di luar, terdengar suara sendok beradu dengan cangkir—ibunya Luna masih terjaga.
Pintu kamar terbuka perlahan.
Luna masuk dengan langkah hati-hati. “Kamu belum tidur?” tanyanya pelan.
Aku menggeleng. Mataku kembali hangat.
Luna duduk di ujung ranjang, tidak bertanya apa-apa. Ia hanya menggenggam tanganku. Sederhana, tapi terasa seperti pelampung bagi orang yang hampir tenggelam.
“Aku takut, Na…” bisikku akhirnya.
“Aku tahu,” ujar Luna lembut. “Tapi kamu nggak sendiri.”
Air mataku jatuh begitu saja. “Rio… dia pasti membenciku kalau dia tahu.”
Luna menelan ludah, memilih kata-katanya. “Rio mencintaimu. Tapi ini… ini bukan salah kamu. Apa pun yang terjadi nanti, kamu layak bahagia, Rey.”
Aku terisak, suara pecah. “Aku nggak kuat, Lun.”
Ia memelukku erat. “Kita jalani pelan-pelan, ya? Besok ada konselor yang bisa bantu kamu. Ibu juga bilang dia siap menemani kapan pun.”
Pelukannya hangat, berbeda dari pelukan siapa pun sebelumnya. Tidak menuntut, tidak menghakimi—hanya ingin memberi ruang bagiku untuk bernapas.
Pagi menjelang.
Saat aku turun ke ruang makan, ibunya Luna sudah menyiapkan bubur hangat dan teh. Aroma jahe mengisi ruangan.
“Duduk, Nak,” katanya lembut. “Sarapan dulu.”
Aku duduk pelan. Ia menyendokkan bubur ke mangkukku, lalu berkata dengan suara tenang, “Kamu boleh menangis, boleh marah, boleh bingung… tapi jangan benci dirimu sendiri.”
Aku menatap mangkuk itu, suaraku lirih, “Aku bingung… harus apa.”
Ibu Luna tersenyum kecil. “Belum perlu ambil keputusan hari ini. Yang penting kamu sehat dulu. Setelah itu… semua bisa dibicarakan.”
Aku mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, aku merasa seperti ada tempat yang aman—meski hanya sementara.
Tiba-tiba gawaimu berbunyi.
Nama “Rio” muncul di layar.
Jantungku berhenti sesaat. Tanganku gemetar.
Luna yang melihatnya langsung menatapku. “Kamu mau aku bukain? Atau kamu sendiri yang baca?”
Aku memeluk ponsel itu erat-erat, tidak tahu apa jawaban yang benar.
Dalam hati aku tahu… apa pun isi pesan itu, hidupku tidak akan sama lagi.
Layar ponsel Rey bergetar sekali lagi.
Satu pesan dari Rio masuk.
Rio:
“Rey… kamu di mana? Sudah dua minggu kamu nggak kabarin aku sama sekali. Aku khawatir banget.”
Pesan kedua menyusul, lebih panjang.
Rio:
“Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi tolong… jawab aku meski satu kata saja. Aku takut kamu sakit. Aku takut kamu kenapa-kenapa.”
Rey menelan ludah, dadanya sesak.
Riwayat pesan berikutnya muncul.
Rio:
“Rey, aku minta maaf kalau aku pernah bikin kamu kecewa. Aku cuma mau kamu tahu… aku sayang sama kamu. Apa pun yang terjadi, aku di sini.”
Rey memicingkan mata, air mata mulai mengalir deras.
Lalu pesan terakhir muncul, seolah menjadi pukulan paling keras di dadanya.
Rio:
“Aku pulang minggu depan. Tolong jangan menghilang… aku butuh kamu.”
Rey menjatuhkan ponselnya di pangkuan. Tangannya menutup mulut, menahan isak. Ia ingin membalas. Ia ingin menjelaskan. Ia ingin memeluk Rio dan mengatakan semuanya.
Tapi suaranya tercekat.
Luna duduk di sampingnya. “Kamu boleh jawab kapan kamu siap,” ujarnya lembut.
Air mata Rey jatuh semakin deras.
Karena Rio…
Rio sama sekali tidak tahu bahwa dirinya akan pulang menemui Rey yang sudah mengandung anak dari pria tak dikenal.
"luna,jangan beritahu Rio tentang keberadaan aku di sini"ujar Rey memohon pada ku.
"ya,tapi kamu janji ya untuk menjaga rahim dan kesehatanmu"
"tapi aku tak pernah inginkan kehamilan ini Luna"ujarku terisak.
"nak, seorang bayi tak pernah meminta hadir di rahim ibu mana pun,ia memilih mu sebagai ibu terbaiknya walaupun dengan cara yang menurutmu sangat salah dan menyakiti hatimu"
"tapi Rio tak akan menerima aku yang kotor ini Bu"
Jika Rio memang benar mencintaimu,” ucapnya pelan, “apa pun yang terjadi pada dirimu, ia akan menerimanya.”
Aku menunduk. “Tapi… kebanyakan pria selalu ingin wanita yang sempurna.”
Dia menggeleng, senyumnya pahit. “Memang. Banyak pria menginginkan yang sempurna, tapi tidak sedikit yang justru merusak wanita yang mereka bilang ingin mereka jaga.”
Aku terdiam, dada terasa sesak.
“Kau harus ingat satu hal,” lanjutnya lembut, “jika Rio memilihmu, itu bukan karena tubuhmu atau masa lalumu. Ia melihat sesuatu dalam dirimu—sesuatu yang bahkan mungkin tidak kau sadari.”
“Dan kalau cintanya sungguh nyata,” ia menatapku lurus, “ia akan tetap di sampingmu. Bukan hanya saat kau kuat, tapi terutama ketika kau sedang rapuh.”
aku memeluk ibu Luna dengan erat,Luna hanya mengusap punggungku dengan lembut.
"Bu, izinkan aku berada di sini hingga aku kuat"
"ya,nak tetaplah di sini hingga bayi mu lahir"
Air mataku mengalir deras,aku seperti mendapatkan seorang malaikat di sampingku.