Istri Kecil Tuan Nero

Istri Kecil Tuan Nero

Perubahan Sikap

Wanita muda dengan usia yang baru menginjak 21 tahun, sedang duduk di sofa kamar mewah sembari memilin ujung dress yang dia kenakan. Sedih, itulah yang tergambar dalam gestur wajahnya.

Dia adalah Raina Almeera, wanita cantik dan polos yang baru hitungan jam menyandang gelar istri.

Suaminya bukan orang sembarangan, Nero Morvion, lelaki 35 tahun yang kaya raya. Selain menjadi pemilik N&M—perusahaan industri pangan terbesar di Kota Surabaya, Nero juga seorang investor. Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir bisnisnya mulai merambah di luar negeri.

Namun, hal itu tak lantas membuat Raina bahagia pada malam pertama pernikahannya—meskipun Nero adalah sosok pujaan yang berhasil mencuri hatinya secara utuh. Pasalnya, malam ini Nero seolah tak peduli dengannya. Dari pertama kali menginjakkan kaki di rumah tersebut, Nero langsung menuju ruang kerja. Entah sudah berapa jam menunggu, Nero tak jua menghampiri Raina.

"Ada apa dengan Om Nero? Kenapa kesannya menghindar dan tak acuh padaku? Sikapnya yang kayak gini, sangat bertolak belakang dengan sikap dia sebelumnya," gumam Raina seorang diri.

Memang benar, sebelumnya Nero sangat lembut dan perhatian. Meski belum ada kata cinta, tetapi sikapnya mencerminkan seorang lelaki yang amat menyayangi wanitanya.

Pernikahan mereka memang tak diawali dengan pacaran, melainkan bermula karena one night stand. Ada kesalahpahaman yang membuat mereka berakhir dalam satu kamar, hingga berakibat pada kehamilan.

'Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu, menyayangimu, dan memperlakukan kamu layaknya istri. Aku sungguh minta maaf, telah merusak masa depanmu.'

Ucapan Nero kala itu, sesaat setelah keduanya tersadar dalam keadaan telan-jang.

'Sudah, jangan menangis. Semua akan baik-baik saja.' Nero kembali bicara selagi Raina masih sesenggukan.

Sampai sekarang pun masih jelas terasa hangat pelukan itu. Sebuah hal yang mampu meredam kesedihan Raina setelah kehilangan keperawanan.

'Nanti kubantu ngomong pada keluargamu. Aku bantu jelasin kalau kehamilan ini bukan kesengajaan kita, sekalian kuberi tahu mereka kalau aku tidak lari dari tanggung jawab. Sudah ya, kamu yang tenang. Kasihan anak kita kalau kamu terlalu banyak beban.'

Tanggapan Nero ketika Raina mengadu perihal kehamilannya.

Siapa yang tidak luluh dengan sikap tersebut? Apalagi dia berwajah tampan dan kaya raya, pantas menjadi dambaan kaum wanita. Sangat beruntung jika bisa menikah dengannya.

Maka dari itu, Raina juga tak berpikir dua kali ketika Nero mengajaknya menikah. Meskipun kakaknya—Raksa, melarang, tetapi Raina tetap pada keputusannya.

'Aku mencintai Om Nero, Kak. Dan lagi aku udah mengandung anaknya. Kalau nggak nikah sama dia, siapa nanti yang bisa nerima aku?'

Terngiang kembali dalam ingatan Raina, bagaimana dirinya melayangkan protes ketika Raksa bersikeras mengatakan bahwa Nero tidak benar-benar serius dengan ucapannya. Menurut Raksa, Nero hanya menjadikan dirinya sebagai mainan dan alat untuk membalas dendam.

Sebuah pendapat yang dulu dianggap angin lalu oleh Raina, kini justru menghantui pikirannya, hingga menimbulkan keraguan akan janji-janji manis yang kerap digaungkan oleh Nero.

"Om Nero, nggak bisakah sebentar aja menemuiku sekarang? Aku benci dengan pikiranku yang kacau ini, Om," batin Raina sambil menatap nanar pada daun pintu yang masih menutup rapat. Entah sampai kapan ia harus menunggu, jarum jam terus berjalan hingga menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Namun, tak jua ada tanda-tanda kedatangan Nero.

______

Raina menggeliat dan mengucek matanya ketika sinar surya sudah menerobos masuk lewat jendela, yang kebetulan tirainya tidak ditutup sempurna.

Kemudian, Raina menatap sekeliling dan menyadari bahwa dirinya masih meringkuk di sofa—tanpa selimut.

"Om Nero," gumam Raina seraya bangkit dan memindai setiap jengkal ruangan. Tidak ada yang berubah, bahkan letak bantal dan guling di ranjang pun tetap seperti semalam.

"Jadi, dia belum ke sini?" sambung Raina sambil menggigit bibir. Sakit hatinya dengan itu semua. Malam pertama yang konon katanya adalah malam terindah, malam paling hangat dan penuh kasih, nyatanya ... hanya menjadi malam dingin dan sunyi.

Selagi Raina masih hanyut dalam pikiran kalutnya, tiba-tiba pintu kamar dibuka dari luar. Raina mengerjap sesaat, lantas menatap lekat pada sosok lelaki rupawan yang tak pernah luntur kharisma dan wibawanya.

Dalam hati, ingin sekali Raina menghambur ke sana. Bermanja dan mengadu tentang kesepian yang ia lalui semalam. Namun, tatapan Nero yang sangat tajam menciutkan nyali Raina untuk melakukan itu semua. Alhasil, wanita itu hanya mampu berdiri mematung tanpa mengucap sepatah kata pun. Ahh, bahkan senyum saja terasa berat sekarang.

"Aku akan ke London." Nero berucap singkat, dengan nada dingin dan datar. Itu pun sambil melangkah dan melewati Raina begitu saja.

"Kapan?" tanya Raina dengan pelan, juga membalikkan badan dan menatap punggung Nero.

"Sekarang."

"Apakah lama?"

"Tergantung."

"Tapi—"

Ucapan Raina terhenti karena sosok Nero sudah menghilang di balik pintu kamar mandi. Percuma saja dia meneruskan ucapan, lelaki itu tak akan mendengar.

Beberapa menit sudah berlalu, tetapi Raina tak juga mengubah posisi. Ia tetap berdiri dan menatap pintu kamar mandi. Sampai kemudian, harapan di matanya kembali tergambar setelah melihat Nero keluar dari sana.

"Om, kenapa?" Raina memberanikan diri bertanya meski sikap Nero masih dingin dan tak acuh.

"Urusan kerja."

"Bukan itu maksudku, tapi—"

"Aku sibuk."

Raina terdiam. Walau banyak kata yang ingin dia ucap, tetapi jawaban Nero memupus semua niatnya. Kini, yang bisa Raina lakukan hanya diam dan menunduk.

Sampai kemudian, Nero-lah yang mendekat dan bicara padanya.

"Ini tentang pekerjaan, kuharap kamu tidak banyak menuntut."

Mendengar ucapan Nero, Raina hanya mengangguk dan bergumam singkat. Belum ada nyali untuk mendongak dan beradu pandang dengan Nero.

"Ini kartu kreditku, boleh kamu pakai sepuasnya. Tapi, ingat, kamu adalah istriku, jadi jangan bertingkah. Tidak perlu juga mengadu yang macam-macam pada kakakmu. Pernikahan kita adalah urusan kita. Paham?"

Meski tidak dengan nada tinggi, tetapi setiap kata yang Nero ucapkan penuh dengan penekanan, hingga Raina merasa ada ancaman yang tersirat di balik itu semua.

"Paham, Om," jawab Raina sesaat kemudian, sembari melirik kartu kredit yang kini diletakkan dalam genggamannya.

Lantas, tanpa ada kata yang terucap lagi, Nero melangkah pergi. Meninggalkan Raina yang masih terkurung dalam perasaannya sendiri.

"Apa aku ada salah?"

Pertanyaan dari Raina menghentikan langkah Nero yang hampir mencapai pintu.

"Iya." Nero menjawab singkat, tanpa menoleh.

"Apa?"

Cukup lama tak ada jawaban, sampai akhirnya Raina nekat melangkah dan hendak mendekati Nero.

Namun, Nero justru membuka pintu dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Raina pun kembali mematung, sembari memikirkan kesalahan apa yang membuat Nero berubah drastis.

Sayangnya, sampai beberapa saat berlalu, Raina tak jua menemukan kesalahan fatal dalam dirinya.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Pacar Renjun

Pacar Renjun

ceritanya bagus suka

2024-03-17

2

Enisensi Klara

Enisensi Klara

Hadir

2024-03-13

1

Luzi

Luzi

hadir lagi Thor,,penasaran dgn Nero ,,sukses dgn jebakannya or korban jebakan sendiri 😁😁

2024-03-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!