Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.
______________
Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Kesalahan Kecil
Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶
Happy reading 🌷🌷🌷
...****************...
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa.
Setidaknya, dari luar.
Ardan tetap berangkat pagi, pulang malam. Senyum di wajahnya tetap sama — tapi kini terasa seperti topeng yang dipasang rapi.
Nayara masih menyiapkan sarapan setiap pagi, masih memeluknya sebelum berangkat, meski pelukan itu sering berakhir di udara kosong karena Ardan selalu terburu-buru.
Dan setiap malam, saat ia menatap sisi tempat tidur yang semakin sering dingin, Nayara berusaha menghibur dirinya sendiri dengan kalimat yang sama:
Dia cuma lelah. Ini cuma fase.
Pagi itu, Ardan sedang mengenakan jasnya di depan cermin ketika ponselnya berbunyi.
Satu pesan baru muncul di layar:
Mira: “Aku akan ke kantor klien kita di Sudirman siang ini. Mau sekalian makan siang bareng? Biar sekalian bahas kerja sama antarperusahaan.”
Ardan menatap layar itu lama.
Ia tahu ini bukan sekadar ajakan profesional. Tapi alasan yang diberikan — “bahas kerja sama”— cukup kuat untuk ia jadikan tameng.
“Nayara nggak perlu tahu,” pikirnya singkat.
“Ini cuma makan siang bisnis.”
Ia mengetik balasan singkat:
“Baik. Sekitar jam satu?”
Balasan datang cepat.
Mira: “Seperti dulu, kamu masih tepat waktu.”
Hanya kalimat sederhana, tapi entah kenapa, dadanya terasa hangat dengan cara yang salah.
Siang hari, Nayara sedang menata ruang tamu ketika ponsel rumah berdering.
Ia mengangkat dengan nada lembut seperti biasa. “Dengan rumah Ardan Rayesa disini, selamat siang.”
Suara di seberang terdengar ramah. “Halo, ini dari perwakilan kantor pak ardan bu , Saya ingin memastikan apakah beliau jadi menghadiri rapat dengan tim legal jam satu nanti?”
Nayara menatap jam dinding. Jam baru menunjukkan pukul dua belas lebih sedikit.
“Oh, saya belum tahu soal itu,” jawabnya hati-hati. “Biasanya kalau rapat siang, dia kasih tahu.”
“Baik, Bu. Terima kasih. Kami tunggu konfirmasi dari beliau.”
Begitu telepon ditutup, jantung Nayara berdetak sedikit lebih cepat.
Rapat jam satu? Tapi Ardan bilang hari ini hanya ada presentasi pagi dan selebihnya di kantor.
Ia menatap layar ponselnya lama.
Keinginan untuk menelepon muncul sejenak, tapi ia menahannya.
Jangan curiga dulu. Jangan berlebihan.
Namun perasaan itu tetap menempel — seperti bayangan yang tak mau pergi.
Sementara itu, di sebuah restoran elegan di tengah kota, Ardan dan Mira duduk berhadapan. Pelayan baru saja menaruh dua gelas air di meja.
Mira mengenakan blouse biru muda dan blazer putih — sederhana, tapi menonjol dengan cara yang tenang.
“Aku kaget waktu kamu balas pesanku,” katanya sambil tersenyum.
Ardan menatap sekeliling, mencoba terlihat tenang. “Kita memang perlu bicara soal kerja sama itu.”
“Oh, jadi kamu mau bahas kerja?”
Ardan tersenyum samar. “Itu alasan resminya, kan?”
Mira menahan tawa kecil, matanya menatapnya lekat. “Dan alasan sebenarnya?”
“Entah. Mungkin… nostalgia.”
Mira mencondongkan tubuhnya sedikit. “Berarti masih ada ruang untuk masa lalu?”
Pertanyaan itu membuat Ardan diam. Ia tidak menjawab.
Pelayan datang membawa makanan, mengalihkan ketegangan itu sesaat. Tapi di antara sendok dan percakapan ringan, ada sesuatu yang tumbuh — halus tapi berbahaya.
Mira pandai bicara.
Ia tahu kapan harus tertawa, kapan menatap diam. Dan Ardan, yang sudah lama hidup dalam rutinitas tenang bersama Nayara, merasa seolah diingatkan bagaimana rasanya hidup dengan emosi yang berdenyut.
Ia tahu ini salah.
Tapi untuk sesaat, ia membiarkan dirinya terbawa.
Sore harinya, Ardan pulang lebih lambat dari biasanya. Begitu masuk rumah, aroma masakan memenuhi ruang tamu.
Nayara baru saja menyiapkan makan malam — sup ayam dan sambal kesukaannya.
“Kamu belum makan, kan?” tanyanya sambil tersenyum lembut.
Ardan berhenti sejenak di depan pintu dapur.
Wajah istrinya terlihat lelah, tapi hangat — seperti rumah yang selalu menunggunya, tak peduli seberapa dingin dunia di luar.
“Sudah tadi di kantor,” jawabnya cepat.
“Oh…” Nayara berusaha menyembunyikan kekecewaan kecil di matanya. “Tadi kamu rapat ya siang? Kantor kamu sempat nelpon ke rumah.”
Ardan menegang sesaat.
“Ya, ada rapat tambahan,” katanya datar, cepat sekali.
Itu kebohongan kecil pertama.
Dan seperti semua kebohongan kecil, ia mengira tak akan ada artinya.
Nayara mengangguk pelan, tersenyum lembut.
“Tadi aku kira kamu lupa kabarin. Aku sempat khawatir.”
“Maaf, tadi sibuk banget,” jawab Ardan, berusaha santai.
Tapi saat Nayara menatap matanya, Ardan menunduk. Untuk pertama kali sejak menikah, ia tak sanggup menatap balik terlalu lama.
Malam itu, setelah makan malam, Nayara berjalan ke taman belakang.
Udara lembut, angin membawa aroma tanah basah. Ia memeluk dirinya sendiri, menatap langit yang mulai berawan.
Ada sesuatu yang salah, pikirnya.
Tapi ia tak tahu apa.
Ardan masih baik. Masih memeluknya sebelum tidur, masih berbicara lembut.
Namun rasanya seperti menatap seseorang dari balik kaca tebal — terlihat dekat, tapi tak bisa disentuh.
Di kamar, Ardan duduk di sisi ranjang, menatap ponselnya.
Satu pesan baru dari Mira.
Mira: “Terima kasih untuk siang ini. Rasanya seperti dulu lagi. Tapi kali ini, aku nggak akan pergi.”
Ardan mengetik balasan singkat, lalu menghapusnya.
Kedua kalinya hari itu.
Ia meletakkan ponsel terbalik dan menatap langit-langit.
Tapi di dalam pikirannya, suara Mira terus terngiang. Lembut, yakin, dan sedikit berbahaya.
Nayara masuk ke kamar tak lama setelah itu.
Ia duduk di tepi ranjang, diam menatap suaminya yang tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Dan,” panggilnya lembut.
Ardan menoleh.
“Kamu bahagia, kan?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu menohok, meski disampaikan dengan senyum kecil.
Ardan terdiam beberapa detik, lalu menjawab, “Tentu.”
Dan Nayara mengangguk pelan, seolah menerima jawaban itu.
Tapi saat ia berbaring malam itu, matanya tak bisa terpejam.
Sementara di sisi lain ranjang, Ardan pun sama — matanya terbuka lebar dalam gelap.
Keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing, memikirkan hal yang sama tapi dengan arah berbeda:
Nayara takut kehilangan.
Ardan takut mengakui bahwa ada sesuatu yang mulai tumbuh di tempat yang salah.
Dan di luar sana, hujan pertama musim itu mulai turun perlahan.
Tetes demi tetes, jatuh di atap rumah mereka. Menyamarkan suara napas dua hati yang diam-diam mulai menjauh satu sama lain.
Bersambung....