Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bakat terpendam
Untuk menguasai kecemasan yang menggerogoti, Aluna butuh aktivitas yang mengikatnya pada kenyataan fisik, sesuatu yang kontras dengan kekacauan emosional dalam hatinya.
“Aku ikut, Lun. Kau tidak boleh menghilang dari pandanganku di tempat yang penuh debu ini,” ujar Erick. Ia berdiri di ambang pintu, tampak absurd dengan masker, sarung tangan karet tebal, dan kaus polo mahal. Sebelum melangkah masuk, ia menarik Aluna ke dalam pelukan yang erat dan hangat. Pelukan yang sungguh-sungguh, bukan formalitas.
“Astaga, Rick, kau seperti akan melakukan operasi jantung, bukan membersihkan gudang,” balas Aluna, berusaha terdengar ringan, tetapi ia diam-diam menikmati kehangatan dan kekhawatiran suaminya.
“Kuman di sini bisa jadi lebih mematikan daripada di meja operasi, Sayang. Lagipula, aku harus memastikan kau baik-baik saja. Aku merasa tenang hanya jika kau dalam jarak pandangku,” kata Erick, lalu mencium puncak kepala Aluna melalui masker.
Gudang itu sunyi. Tumpukan kotak-kotak proyek lama, mock-up presentasi yang tidak terpakai, dan lukisan abstrak yang dibeli hanya karena harganya mahal, semua menjadi saksi bisu pernikahan yang lebih mementingkan laba daripada jiwa.
Dan di sudut yang paling gelap, teronggok sebuah piano tegak berwarna coklat tua. Piano itu dibeli Erick pada beberapa tahun lalu, murni sebagai dekorasi minimalis mewah di ruang tamu.
“Aku hanya mau memilah kotak-kotak ini, Rick,” kata Aluna, nadanya sedikit tergesa-gesa. Ia menyalakan lampu sorot kecil, dengan sengaja membiarkan piano itu tetap diselimuti bayangan.
Piano itu adalah monumen kebodohan finansial, gairah yang mati, dan seni yang diabaikan.
Erick, dengan sigap dan kekuatan tangannya yang biasa digunakan untuk menandatangani kontrak bernilai jutaan, mulai membantu Aluna mengeluarkan kotak-kotak dari tumpukan. Tangannya terampil, efektif, dan sangat membantu.
Tiba-tiba, Erick berhenti. Tangan kanannya yang sedang memegang kotak kardus berhenti di udara. Matanya yang tajam, kini sedikit berkerut karena penasaran, terpaku pada siluet besar piano di sudut.
“Piano ini…” Ia menoleh ke Aluna.
“Luna, kenapa kita tidak pernah memainkannya?”
Pertanyaannya polos, tanpa beban, seolah ia melihat benda itu untuk pertama kali.
Aluna merasakan denyutan tajam di pelipisnya. “Karena ini hanya pajangan, Rick. Ingat? Kita berdua terlalu sibuk. Lagipula, kau sendiri bilang kau tidak bisa bermain. Kau membelinya karena warnanya cocok dengan dekorasi lounge.”
Aluna berusaha keras membuat nada suaranya netral, tetapi ia bisa mendengar nada ketidakpuasan masa lalu mengintai di balik ucapannya. Betapa bodohnya mereka berdua, menghabiskan uang untuk hiasan yang tidak digunakan.
Erick tidak menanggapi kekesalan Aluna. Ia berjalan perlahan ke arah piano itu, menarik bangku yang tertutup kain, dan duduk.
Gerakannya terasa aneh, dipenuhi gravitasi yang tak terhindarkan.
“Tapi… entah kenapa,” gumamnya, menarik sarung tangan. “Jari-jariku terasa gatal. Ada memori otot yang mendesak.” Ia tersenyum kecil, seringai setengah hati yang tidak pernah dilihat Aluna sebelumnya, separuh jenaka, separuh misterius.
Aluna menatapnya, merasakan firasat buruk. Ini adalah ujian yang tidak ia siap hadapi, sebuah situasi tak terduga yang berpotensi mengungkap rahasia yang ia sembunyikan. Ia bersiap untuk mendengar suara ding sumbang, bunyi kekanak-kanakan yang canggung.
Erick mengangkat tangannya. Ia memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Itu adalah ritual hening, fokus, seolah ia sedang bersiap menghadapi pertemuan bisnis terbesar dalam hidupnya.
Lalu, Erick menekan tuts.
Aluna membeku di tempatnya. Kotak di tangannya hampir jatuh.
Suara yang keluar bukanlah ding sumbang. Itu adalah musik. Sebuah melodi klasik yang rumit, melankolis, dan penuh dinamika. Itu adalah Nocturne in C sharp minor karya Frédéric Chopin, sebuah karya yang menuntut penguasaan teknis yang luar biasa, sensitivitas emosional, dan latihan bertahun-tahun. Musik yang hanya bisa dimainkan oleh seorang pianis yang mahir.
Alunan nada itu membanjiri gudang yang berdebu. Cahaya redup dari pintu masuk menyentuh wajah Erick yang terpejam, memberikan aura sakral pada penampilannya.
Jari-jari Erick bergerak di atas tuts dengan keanggunan seorang maestro, lincah dan pasti. Musik itu bukan sekadar dimainkan, itu dihidupkan.
Itu adalah ratapan indah yang menceritakan kerinduan, kesedihan, dan keindahan yang fana.
Aluna tidak bisa bergerak, tidak bisa bernafas. Ini adalah Erick yang sama sekali tidak ia kenali. Erick yang ia nikahi akan menganggap Chopin membuang-buang waktu yang lebih baik dihabiskan untuk membaca laporan saham. Erick yang ia kenal akan selalu mengejar keuntungan, bukan harmoni.
‘Siapa pria yang duduk di sana?’
Aluna mengingat kembali setiap detail dari setiap tahun pernikahan mereka.
“Kau bisa bermain piano?” tanyanya dulu, saat mereka baru membeli perabotan itu.
“Tidak, aku sibuk. Itu hanya pajangan mahal, Lun. Aku lebih suka mendengar laporan keuangan.” Jawaban itu selalu sama, diucapkan dengan arogan dan final.
Namun, kini pria itu memainkan melodi dengan hati, dengan jiwa. Keterampilan yang disembunyikan, atau lebih tepatnya, dikubur selama satu dekade penuh.
Ketika melodi itu mencapai klimaksnya, suara piano meninggi, Erick membuka matanya. Ia mengakhiri lagu itu dengan resonansi yang sempurna, tiga nada terakhir yang menggantung di udara.
Keheningan yang kembali setelahnya terasa jauh lebih berat, dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan.
“Itu mustahil,” bisik Aluna, suaranya tercekat. “Aku tidak pernah tahu. Kau selalu bilang kau tidak bisa bermain piano. Selalu.”
Erick menoleh. Ia menyandarkan sikunya di piano, wajahnya polos dan sedikit bangga, seperti anak kecil yang baru saja berhasil membuat kapal kertas yang sempurna.
“Benarkah? Aku tidak ingat bilang begitu,” jawab Erick, mengernyit. Ia tampak benar-benar bingung.
“Aku juga tidak ingat pernah mengambil pelajaran piano. Tapi… saat aku melihatnya, tanganku tahu apa yang harus dilakukan. Tubuhku mengingat, meskipun otakku tidak.” Ia mengangkat bahu.
Aluna menangkup wajahnya, gemetar. “Kau menyembunyikannya dariku, Rick. Kau menyembunyikan sisi dirimu. Musik ini. Keindahan ini.”
“Menyembunyikan?” Erick tampak tidak mengerti. Ia meraih tangan Aluna.
“Kenapa aku harus menyembunyikan hal yang seindah ini, Lun? Ini membuatku merasa… utuh.”
Aluna merasakan tusukan yang dalam. Jawaban Erick begitu lugu, begitu tulus, seolah ia benar-benar tidak mengerti betapa parahnya penipuan yang dilakukan Erick yang dulu terhadap Aluna.
Amnesia itu kini bertindak sebagai palu yang menghancurkan semua dinding yang dibangun Erick, mengungkapkan pria yang lebih kaya, lebih artistik, dan yang terpaling penting lebih manusiawi.
“Aku… aku tidak tahu,” ujar Aluna, menarik tangannya, mundur selangkah.
“Aku tidak tahu siapa dirimu, Rick. Aku tidak pernah tahu.”
Erick bangkit. Ia melangkah maju, menjangkau bahu Aluna, matanya penuh kebingungan, tetapi juga kesetiaan. Kehangatan tangannya terasa nyata di kulit Aluna.
“Aku adalah Erick yang mencintaimu, yang membutuhkanmu untuk membantunya di tahun 2025,” suaranya lembut, tanpa nada penghakiman.
“Apapun yang kulakukan di masa lalu, musik ini, atau hal lain itu tidak penting. Yang penting adalah, aku tidak menyembunyikan apapun darimu sekarang.”
Erick tersenyum tulus, senyum yang hanya disahkan oleh amnesia yang polos. Ia mengakhiri konfrontasi itu dengan kalimat yang membuat hati Aluna hancur sekaligus terangkat.
“Ternyata aku punya bakat tersembunyi. Dan bakat itu, sekarang, milikmu, Sayang. Hanya kau yang mendengarnya setelah sekian lama.”
Kebenaran pahit dari masa lalu terasa begitu kecil dibandingkan keindahan yang tiba-tiba memenuhi gudang itu. Ia tidak bisa membiarkan kebekuan Erick yang dulu menghancurkan kehangatan Erick yang sekarang.
Aluna memeluk Erick erat, menyembunyikan wajahnya di dada suaminya. Ia menghirup aroma debu dan aroma aftershave mahal yang samar.
“Aku mencintaimu, Rick,” bisiknya, suaranya teredam. Itu bukan hanya pengakuan cinta, tetapi sebuah sumpah. Ia harus melindungi pria ini. Ia harus melindungi Chopin ini. Ia harus memastikan Bima tidak pernah menang, dan kebenaran pahit tentang perceraian mereka tidak pernah terungkap.