Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
"Lha suami kamu di mana, apa dia juga tinggal di sini atau kerja di luar kota?"
"Kami sudah berpisah, mas. Aku janda dan putriku sekarang sudah mau masuk SMP." Lagi lagi entah kenapa aku begitu lancar menjawab pertanyaan mas Wardana tanpa rasa canggung. Mungkin dulu kita memang cukup dekat, karena sering mewakili sekolah untuk berbagai lomba. Entahlah, apa aku salah lihat, setelah mendengar pengakuanku yang janda, justru nampak dia tersenyum dan menggumam lirih mengucapkan kata Alhamdulillaah.
"Bagaimana, mas. Alhamdulillah, maksudnya?"
Aku menatap lekat wajah mas Dana yang langsung memucat, dengan gugup dia tersenyum dan terlihat salah tingkah.
"Em, enggak kok. Itu, tadi aku kepikiran dengan rumah ini. Kalau memang aku berjodoh dengan tempat ini, rencananya akan aku bangun untuk kos kosan. Dan mungkin kamu gak perlu pindah dari sini, Ras." Sahut mas Wardana lancar, dan melihatku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Maksudnya bagaimana ya, mas, aku gak paham?" Sahutku yang memang masih bingung dengan ucapan mas Wardana.
"Begini Laras, tadi kamu bilang kalau mau cari kontrakan, kan?" Lanjut mas Wardana dengan ekspresi serius dan nampak tenang. Akupun mengangguk dan mendengarkan penjelasannya.
"Kalau tempat ini jadi aku beli, kamu tetap tinggal saja dirumah ini. Karena aku berniat bangun kos kosan untuk mahasiswa dan mahasiswi nantinya. Rencananya akan aku buat dua lantai. Dan kamu jika bersedia, aku ingin kamu yang mengawasi dan mengelolanya. Karena aku sibuk mengurus Bisnisku dan sering pergi keluar kota. Rencananya, bagian sebelah kanan aku buat kos khusus perempuan dan sebelah kiri untuk laki laki. Sedangkan kamu tetap menempati rumahmu yang kebetulan letaknya pas di tengah tengah. Kamu tenang saja, aku akan membayar kamu setiap bulannya. Jadi, kamu gak perlu pindah dan cari kontrakan. Anggap saja ini adalah kerja sama kita, apalagi kamu asli orang sini, pasti kamu lebih paham situasi di sini untuk mengelola kos kosan yang aku bangun. Aku harap kamu setuju dan tidak keberatan menjadi partner Bisnisku." Sahut mas Wardana panjang lebar, dadaku berdetak sangat cepat. Tak percaya dengan apa yang aku dengar, apakah ini jawaban dari doa doa yang akhir akhir ini aku panjatkan, rasanya seperti mimpi.
"Laras." Mas Wardana melambaikan tangan di depan wajahku, seketika aku tersadar dari lamunanku.
"Iya, mas. Maaf, aku masih tak percaya dengan apa yang aku dengar, mas. Apa mas Wardana serius dengan ucapan mas tadi?" Sahutku yang mencari kebenaran sekali lagi dari ucapan laki laki yang duduk di hadapanku.
"Aku serius Laras, apa kamu bersedia?" Balas Wardana dengan senyuman tipis.
"Aku mau mas, aku malah Alhamdulillah banget. Terimakasih sudah membantuku dari kesulitan ini, mas." Sahutku lirih, suaraku bergetar menahan tangis. Tak menyangka jika pertolongan dari Gusti Allah begitu dekat dan tak terduga. Kedatangan mas Wardana seolah menjadi oase dalam kegersangan hatiku yang akhir akhir ini dihantam badai kehidupan.
"Alhamdulillah, mungkin ini sudah jadi jalan nya. Aku juga tak menyangka kalau kedatanganku di sini bisa bertemu kamu kembali setelah sekian tahun lamanya. Dan aku juga lega, akhirnya aku menemukan orang yang tepat untuk aku ajak jadi partner mengurus usahaku, lebih tepatnya aku gak perlu repot lagi mencari orang yang tepat." Sahut mas Wardana sambil terkekeh dan kami akhirnya melanjutkan obrolan membahas rencana yang sudah dia susun dan tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hampir dua jam kami ngobrol ngalor ngidul tapi aku belum menyuguhkan apapun untuk tamuku.
"Ya ampun, sebentar mas. Maaf aku lupa, sejak tadi kita asik ngobrol sampai lupa belum membuatkan mas Dana minum. Tunggu sebentar ya mas, maaf." Dengan malu aku langsung berlari kecil menuju dapur, kebetulan aku selalu sedia kopi. Secangkir kopi dan segelas air putih dingin juga ada brownies dan kue kering aku suguhkan di hadapan mas Wardana yang langsung tersenyum lebar.
"Padahal aku sudah kehausan dari tadi loh, aku minum ya airnya." Kelakar mas Wardana dengan tawa lepasnya, aku hanya bisa meringis menahan malu di depannya.
"Assalamualaikum." Terdengar suara salam yang kutau itu suara mbak Rani dan suaminya.
"Waalaikumsallam, masuk mbak, mas." Sambutku ramah dan mempersilahkan mbak Rani dan mas Soni duduk, lalu aku pamit ke dapur untuk membuatkan minuman.
"Ras, ini aku bawakan oleh oleh. Sebagian kamu taruh di piring dan toples untuk suguhan di meja ya. Dan tolong buatkan aku teh tawar hangat saja, mas Soni kopi susu." Mbak Rani menyusul ke dapur dan meletakkan dua kantong di atas meja dapur.
"Iya mbak, ini aku masih rebus airnya dulu." Sahutku santai dan mencari piring juga toples di lemari kaca, lalu meletakkan kue lapis Surabaya juga beberapa cemilan lainnya.
"Tamunya sudah lama datangnya?" Sambung mbak Rani setelah meneguk habis air putih di gelas yang dia pegang.
"Iya, sudah hampir dua jam lebih. Kenapa mbak Rani lama sekali datangnya?" Sahutku yang sibuk mengaduk teh juga kopi.
"Tadi bannya bocor di tengah jalan dan tiba tiba mas Soni perutnya juga mules, jadi istirahat sebentar di pom bensin. Orangnya masih muda ya, Ras, tampan lagi. Tadi kalian sudah ngobrol apa saja?" Kembali mbak Rani bertanya dengan wajah penasaran.
"Banyak sih mbak, kayaknya orangnya juga sudah berminat dengan tanah di sini. Katanya mau buat kos kosan. Untuk kelanjutannya mbak Rani obrolin saja langsung sama orangnya." Sahutku dengan mengatakan apa adanya.
"Nanti kalau deal sesuai harga, aku akan kasih kamu persenan. Bisa kamu buat cari kontrakan, aku juga masih punya rasa empati sama kamu, Ras. Bagaimanapun kamu itu saudaraku, keponakan kesayangan ibuku." Sahut mbak Rani dengan wajah berseri, aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis menanggapi ucapannya. Tak ingin banyak bicara, karena aku sudah cukup hafal dengan sifat mbak Rani yang selalu plin plan dengan ucapannya itu. Akupun juga enggan menceritakan tentang rencana mas Wardana yang memintaku untuk mengelola usaha kos kosan miliknya nanti.
Dan setelah obrolan panjang, akhirnya kesepakatan jual beli pun terjadi. Wardana bersedia membeli sesuai harga yang sudah ditentukan mbak Rani dan suaminya. Senyum sumringah nampak terukir di wajah mbak Rani dan suaminya. Aku hanya diam terpaku dengan hati teriris, memikirkan keluarga paklek juga bulek yang pasti terkejut dan kelabakan mencari tempat tinggal.
Mas Wardana pamit pulang dan bilang akan menghubungiku lagi lewat pesan atau telepon. Mbak Rani dan mas Soni menatapku dengan wajah heran.
"Kamu sepertinya sudah kenal sama mas Wardana ya, Ras?" Tanya mbak Rani dengan mata menyipit.
"Iya mbak, kebetulan dulu dia adalah kakak kelasku." Sahutku jujur, mbak Rani mengangguk anggukkan kepalanya dan tak lagi banyak bertanya.
"Ras, apa kamu sudah cari kontrakan?" Mbak Rani kembali mengeluarkan suaranya dan menatapku lekat.
"Sudah mbak, tapi belum nemu yang cocok. Lagian, masih ada waktu dua Minggu lagi kan dari mas Wardana. Kalau aku sih gampang, cari kos saja dulu buatku berteduh dengan Luna. Lebih baik, mbak Rani segera kasih tau paklek dan bulek, biar mereka juga segera mencari kontrakan." Sahutku santai, jujur aku sudah tak lagi pusing dan ikut campur apapun menyangkut rumah ini dan juga keluarga yang selama ini tak pernah menganggapku ada.
Meskipun rumahku berdekatan dengan bulekku dan juga paklek, tapi kami seperti hidup masing masing. Bahkan saat Luna keluar masuk rumah sakit, satupun diantara mereka tidak ada yang perduli sama sekali.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..