Menjadi janda bukanlah sebuah pilihan bagiku,
Tahun pun telah berlalu dan waktu telah menjawab segala perbuatan seseorang.
Cinta itu datang kembali namun tidak sendiri, suamiku yang telah mencampakkan diriku dengan talak tiga yang ku terima secara mendadak. Kini Dia datang kembali di saat sebuah cinta yang lain telah menghampiri diriku yang sebenarnya telah menutup hati untuk siapapun..
Siapa yang harus aku pilih? Sedangkan hati ini masih ragu untuk melangkah kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Yang Tersimpan
Kesibukanku luar biasa menyita seluruh tenaga dan pikiran, beberapa pesanan seragam dan pengantaran seragam yang sudah jadi, harus segera di tangani dan pengiriman akan segera di evaluasi ketempat tujuan.
Untung saja seluruh karyawan adalah pekerja pilihan, dan mereka sudah sangat mahir dalam menghandle pekerjaan dan bidangnya masing-masing.
"Mama, ada om dokter di depan sama kakek," tentu saja sedikit terkejut aku mendengarnya.
"Ya ampun! Dokter Dian benar-benar datang dan menjemput Shasy, duh bagaimana ini?" Batinku tiba-tiba ada rasa canggung, harus bagaimana kalau Shasy benar-benar tergoda untuk mengikuti ajakan dokter Dian.
Aku berjalan ke cermin yang berada di tempat istirahat para karyawan ku, sedikit ku rapikan tampilan ku agar terlihat tidak acak-acakan dan fresh.
Shasy berjalan lebih cepat, tidak sabar menungguku untuk menemui ayah dan dokter Dian di teras rumah depan.
"Om dokter, Mama Shasy boleh ikut ya? Soalnya mama pasti khawatir kalau Shasy pergi sendirian?" Celoteh Shasy tanpa kendali aku dengar dari balik jendela.
"Boleh dong, kan om izinnya sama kakek nenek, mau ajak Mama juga!" Jawaban dokter Dian yang sedikit membuatku risih, namun apa daya tidak mungkin aku membuat kecewa putriku.
"Pergilah Lintang! Maaf tadi ayah yang mengizinkan, karena ayah juga tidak tega melepas Shasy sendiri pergi dengan nak Dian," ibu memburuku masuk kedalam kamar dan menjelaskan alasannya kenapa Shasy tetap ngotot saja ingin pergi bersama.
"Tapi Bu!" Selaku tetap dalam rasa kurang nyaman atas keputusan sepihak ayahku.
"Lintang, ibu lihat nak Dian juga pria baik-baik dan tidak ada tendensi lain selain bertujuan baik," Ibu membantuku mengambilkan blazer yang akan aku kenakan.
Akhirnya mau tidak mau, aku menurut juga ingatan ku kembali pada masa-masa disaat menjadi bulan-bulanan keluarga mas Iwan, kecemburuan tanpa sebab dan tuduhan tentang perselingkuhanku dengan dokter Dian, tiba-tiba saja melintas.
"Ayo Lintang, kamu bisa dan kamu bukan peselingkuh seperti yang mas Iwan sangkakan pada dirimu." Aku menyemangati diriku sendiri sambil mematut didepan cermin.
Aku keluar agak ragu menemui ayah dan dokter dian, namun suara jerit Shasy yang heboh karena senangnya, sebab memang kuakui! Kali ini adalah pertamanya bagi Shasy keluar menikmati indahnya udara diluar, dalam usianya yang cenderung ingin bermain.
Dokter Dian menatapku, menerobos jauh kedalam pandangan ku membuatku sedikit risih dan malu.
"Sudah siap Bu Lintang, ayo Shasy!" Dokter Dian berdiri lalu meminta izin kembali pada ayah dan ibuku untuk membawa kami jalan.
Ayah bahkan berbinar melepas kepergian kami, sedangkan ibuku hanya tersenyum dan tangan beliau saling bergandengan satu sama lain, walaupun pernikahan mereka sudah memakan waktu yang tidak pendek, namun kemesraan beliau sungguh bukan kaleng-kaleng dan patut untuk di contoh.
Sepanjang perjalanan menuju tujuan hanya Shasy dan dokter Dian saja yang sibuk bercerita, bahkan aku hanya sebagai penumpang yang harus setia mendengar canda mereka.
"Bu Lintang? Kita kemana?" Tanya dokter Dian tiba-tiba membuatku gelagapan dan bingung menjawabnya.
"Oh... Anu.. eemm saya...!" Ya ampun dengan reflex kubetulkan cara dudukku.
"Kita ke wahana mainan yah! Disana sudah menunggu adik dan ponakan saya," dokter Dian memberikan penjelasan disela-sela kegugupan yang melanda diriku.
Wahana mainan yang baru saja resmi dibuka beberapa waktu lalu, tentu saja akan ramai pengunjung dan itu pasti akan membuat kegembiraan tersendiri bagi anak-anak termasuk Shasy dan pengunjung lainnya.
"Dokter,"
"Iya Bu!"
"Apakah sebaiknya saya tidak ikut dengan kalian? Saya akan menunggu di tempat lain saja!" Ucapku Pelan dan sedikit ragu memberikan penawaran padanya.
Dokter Dian menatap sendu kearahku, dan tersenyum padaku. "Baiklah kita akan duduk tidak jauh dari Playground itu, nanti Shasy akan bermain dengan mereka kita, Ayuk!" Dokter Dian menggandeng tanganku, sedangkan tangan kirinya menggendong Shasy.
Aku melirik kearah dokter Dian dan Shasy yang sama-sama terlihat enjoy dalam kedekatan mereka, "Maas... Hai ini pasti Shasy ya, hai mbak Lintang apakabar!"
Tiba-tiba datang seorang wanita dengan mengandeng dua gadis seusia tidak jauh dengan Shasy, senyumannya dan cara dia bertegur sapa sungguh membuatku lebih nyaman rasanya.
"Saya Icha mbak, adik mas Dian!" Uluran tangan itu aku sambut, keakraban perempuan bernama Icha itu membuatku merasa lebih nyaman, dan kesempatan bagus aku gunakan untuk melepas genggaman tangan dokter Dian.
"Om dokter! Shasy mau turun, malu!" Bisik Shasy dengan suara tertahan namun masih juga bisa kami dengar dengan jelas, tentu saja hal seperti itu mampu membawa kami tertawa karena keluguan putri kecilku.
Kami berbincang-bincang sesaat di dalam cafe mini dan terbuka yang berada tidak jauh dari area Playground.
Percakapan basa-basi dengan gaya yang sangat akrab dari Icha tentu saja, membuat diriku semakin comfortable.
Rasa canggung dan sungkan perlahan terkikis, ternyata semua yang aku duga jauh meleset. Trauma ketika bersama keluarga mas Iwan membawaku kadang tidak nyaman terlalu dekat dengan lawan bicara, apalagi orang yang baru aku kenal.
"Mas, Icha bawa anak-anak bermain, kalian enjoy aja disini tapi ingat mbak Lintang! Jangan ngemil banyak-banyak nanti jadi gemoy seperti diriku, ha ha ha" baru juga kenal sikap dia sudah menunjukkan kekonyolannya, dan ini sebagian kata-kata Icha yang mampu membawaku tertawa lepas tanpa malu-malu lagi
"Ehemm, mau pesan sesuatu lagi!" Dokter Dian berpindah tempat duduk, kali ini tepat di depanku.
"Sudah Dok.. ini sudah cukup," tolakku halus sebab jujur aku juga sudah kekenyangan.
"Maaf boleh dong titel dokter di hapus saat ini! Kan antara kita berdua bukan pasien dengan dokter, hhhmm!"
"Panggil mas, atau lainnya bisa asal dek Lintang nyaman untuk menyebutnya," lagi-lagi rasa canggung sibuk menggerogoti rasa hatiku.
"Tapi dok!"
"Mas Dian, dek!"
Dokter Dian menyela ucapanku, dan tangannya mendekat lalu memegang tanganku yang sedari tadi asyik mere*mas-re#mas tissue yang sudah lecek.
"Jangan gugup dong, kan mas tidak sebegitu menakutkan!" Mataku dan mata dokter Dian saling pandang sesaat.
Wajah tampan itu melempar senyum lalu tertawa, akupun tertawa kecil dan tanpa syarat.
"Kenapa, ada yang lucu?"
"Bukan lucu lagi, dok!"
"Mas, please bukan dokter atau apapun itu,"
"Iya iya.... Mas Di.. Dian," duh... Aku berasa seperti ABG yang baru saja kenal dengan cowok, entak apa warna wajah ini andai saja bisa kucari cermin dan berkaca.
Ada sedikit rasa canggung, tapi sebisa mungkin aku menepis rasa itu.
Kutarik tanganku dari genggamannya, "malu dilihat orang mas, nanti mereka berfikir kita sedang pacaran loh!"
"Ya memang kita sedang pacaran, tepatnya sedang pendekatan antara kau dan aku!"
"Maksud mas Dian?"
"Dek Lintang, aku mencintaimu! dan kita sudah saling kenal walaupun tidak sedekat saat ini, mas juga tidak pandai merangkai kata seperti ABG yang sedang kasmaran, tapi mas akan tetap memaksamu agar menerima diri mas apa adanya,"
"He he he he mas Dian sedang bercanda tapi kelewatan ya! Saya janda mas, anak satu," jawabku sambil membenarkan anak rambutku yang tiba-tiba membuatku merasa risih.
"Mas tau! Tapi itu bukan sebagai rintangan, kan?" Suasana menjadi hening dan aku sendiri mencoba meraba semua ucapan yang dilontarkan oleh dokter Dian.
🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️🧚🏽♀️
To be continued 😉
Duh jadi berbunga bunga sendiri aku nulisnya🤣🤣 kena panah asmara gimana sih 🤣
Salam Sayang Selalu by RR 😘
awassss lohhh anumu ntar di sambel sama bini sahnya