Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Ada sesuatu di hati yang sulit dijelaskan.
Pagi itu udara masih basah oleh sisa hujan malam. Aroma kopi dan avtur bercampur di ruang briefing bandara, menciptakan suasana yang hanya dimengerti oleh para awak pesawat yang sudah terbiasa dengan ritme dunia penerbangan.
Shaka Wirantara, kapten penerbangan termuda yang disegani di maskapai itu, berdiri di depan papan jadwal. Seragam putihnya rapi tanpa cela, topi hitam dengan emblem emas terpasang sempurna di tangan kirinya. Wajahnya datar, tenang, dan berwibawa seperti biasa.
“Penerbangan pagi ini rute Jakarta–Osaka. Estimasi durasi delapan jam. Cuaca relatif baik, hanya sedikit turbulensi di perairan Laut Cina Selatan,” katanya, suaranya tegas tapi datar. Semua mata awak kabin menatapnya dengan hormat.
Di antara mereka, Amara duduk di kursi barisan depan. Seragam pramugarinya senada dengan langit pagi, biru tua, elegan, dan berjarak. Ia mendengarkan dengan tenang, tanpa ekspresi, seolah tak mengenal sosok yang sedang memberi instruksi di depannya.
Hanya sedikit orang yang tahu, bahwa pria yang mereka panggil Kapten Shaka adalah suaminya yang sah. Namun di lingkungan kerja, Shaka tak pernah mengumumkan pernikahan mereka. Baginya, kehidupan pribadi dan profesional adalah dua dunia yang tak boleh bersinggungan. Atau mungkin, Shaka hanya tak ingin siapa pun tahu bahwa istrinya adalah wanita yang ia nikahi karena paksaan keluarga.
“Semua sudah jelas?” tanya Shaka.
“Siap, Kapten,” jawab seluruh kru kompak.
Shaka menatap sekilas ke arah Amara. Tatapan singkat, dingin, dan nyaris tanpa arti. Amara menunduk pelan, menahan segala sesuatu yang ingin meledak di dalam dadanya. Mereka berjalan beriringan menuju pesawat, tapi jarak di antara keduanya lebih lebar daripada jarak antara kokpit dan kabin.
Setiap langkah Shaka tegap dan tegas, sementara Amara melangkah anggun namun hati-hati, memastikan tidak ada satu gerak pun yang bisa menimbulkan pertanyaan dari rekan kerjanya.
Di dalam pesawat, semua berlangsung seperti biasa. Shaka masuk ke kokpit bersama kopilotnya, Kapten Dimas, sahabatnya sejak akademi penerbangan.
Sementara Amara mulai memberi instruksi pada awak kabin, senyumnya ramah tapi matanya kosong. Sesekali suara Shaka terdengar dari pengeras suara, memberi instruksi pada penumpang. Suara yang sama yang tadi malam bergetar di telinganya dengan nada kemarahan. Amara terdiam setiap kali mendengarnya, tapi cepat-cepat menenangkan diri, memastikan tidak ada yang curiga. Ketika pesawat mulai menembus awan putih, Shaka menatap ke depan tanpa ekspresi. Kokpit sunyi kecuali suara instrumen yang terus berdengung.
“Capek, Kapten?” tanya Dimas, berusaha mencairkan suasana.
Shaka hanya tersenyum tipis. “Tidak, hanya kurang tidur.”
Ia tidak akan pernah bercerita apa pun. Tentang malamnya, tentang pernikahan yang tak diinginkannya. Tentang perempuan yang kini duduk di kabin belakang, memakai seragam yang sama, tapi menanggung beban yang berbeda.
Sementara di kabin, Amara tersenyum pada penumpang, menyapa satu per satu dengan sopan. Namun di balik senyum itu, ada luka yang mulai menebal menjadi dinding. Ia tidak akan lagi menunggu cinta dari Shaka. Tidak lagi berharap sesuatu yang bahkan sejak awal tidak pernah ada.
Mungkin, pikirnya lirih, cinta memang tak harus datang dari pria yang sama setiap hari ia temui. Mungkin, di langit setinggi ini, ia hanya perlu belajar mencintai dirinya sendiri.
Udara di dalam kabin terasa stabil. Pesawat melaju di ketinggian 37.000 kaki, menembus awan putih yang lembut seperti kapas. Lampu kabin telah diredupkan, sebagian besar penumpang mulai beristirahat.
Amara memeriksa lorong kabin dengan tatapan profesional. Setiap kursi ia lewati, setiap senyum ia berikan dengan ketulusan yang terlatih. Dari luar, tak ada yang aneh. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergemuruh.
Tadi malam masih jelas di kepalanya, bagaimana Shaka menarik tangannya, bagaimana suaranya yang dingin mengucapkan kalimat yang seakan menampar harga dirinya.
"Berikan aku anak, Amara. Itu saja yang keluarga ini butuh darimu."
Dia menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang sempat menggenang. Tidak, dia tidak akan menangis di tempat kerja. Dia adalah Amara Marvionne. Bukan wanita lemah yang akan tumbang karena cinta sepihak. Keluarga Marvionne adalah orang yang paling disegani oleh banyak orang, namun Shaka tak pernah tahu jika Amara bagian dari keluarga itu.
“Miss Amara, penumpang di kursi 7B terlihat pucat,” ujar salah satu pramugari muda sambil berbisik.
Amara segera menghampiri. Seorang pria paruh baya terlihat memegangi dadanya, napasnya tersengal. Refleks profesional yang ia latih selama bertahun-tahun langsung bekerja.
“Pak, tarik napas perlahan. Bisa saya bantu duduk lebih nyaman?”
Suara Amara tenang dan lembut, seolah ia bukan wanita yang sedang berperang dengan perasaannya sendiri. Namun ketika denyut nadi pria itu melemah, Amara segera menekan interkom.
“Kapten, di sini Amara. Penumpang 7B membutuhkan bantuan medis darurat, kemungkinan serangan jantung.”
Dari kokpit, suara Shaka langsung terdengar. Tegas dan cepat.
“Baik, lakukan CPR sementara. Saya minta tim medis disiapkan di bandara Osaka. Tahan posisi, saya akan bantu koordinasi dari sini.”
Amara langsung berlutut, membuka kotak P3K dan mulai melakukan CPR dengan teratur. Keringat menetes dari pelipisnya, tapi pandangannya fokus. Tangan-tangan mungilnya menekan dada pria itu dengan kekuatan penuh, tanpa gentar.
Setelah beberapa menit yang terasa panjang, napas si penumpang mulai stabil. Tepuk tangan kecil terdengar dari sekitar.
Namun Amara tak tersenyum, ia hanya menutup mata sejenak, menenangkan diri. Dari kokpit, Shaka memperhatikan layar kamera internal yang menyorot kabin.
Matanya tak lepas dari sosok Amara yang berlutut di tengah lorong pesawat, wajahnya tenang dan tabah. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengoyak dadanya.
Bukan karena rasa kagum semata, tapi karena Shaka tahu, itu bukan pertama kalinya wanita itu menyelamatkan seseorang dengan nyawanya sendiri sebagai taruhan.
Ia tak tahu kenapa bisa terlintas pikiran itu, tapi ada desiran aneh di dadanya.
“Kapten?” Dimas memanggil, membuat Shaka tersentak.
“Ya?”
“Kau kelihatan tegang, semua baik-baik saja?”
“Ya,” jawab Shaka cepat, menatap lurus ke depan lagi. “Semua terkendali.”
Tapi hatinya tidak, beberapa jam kemudian, pesawat mendarat mulus di Osaka. Penumpang yang sakit langsung dibawa tim medis setempat, sementara para kru menurunkan penumpang lainnya dengan sigap.
Shaka turun paling terakhir, berdiri di ujung tangga pesawat, menatap kru-nya satu per satu dengan pandangan profesional. Amara lewat di depannya, membawa tas kecil, masih dengan senyum lelah tapi tulus.
“Kerja bagus,” katanya pelan, suaranya datar.
Amara menatapnya sebentar. “Terima kasih, Kapten.”
Satu detik, hanya satu detik, pandangan mereka bertaut. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Shaka merasa dadanya sesak. Senyum tipis di wajah Amara terlihat asing, tapi juga hangat.
Malam itu, di kamar hotel pilot dan kru, Shaka berdiri di balkon, memandang langit Osaka yang bersinar oleh cahaya kota. Ia membuka ponselnya, menatap foto pernikahan yang sudah lama tersimpan. Foto yang tak pernah ia buka selama lima tahun. Wajah Amara di foto itu tersenyum lembut di sampingnya.
[Datang ke kamarku, sekarang!]
Shaka mengirim pesan pada istrinya yang berada di kamar lain.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya