~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyenangkan Suami
“Maaf Tuan, saya pikir Tuan Fajar, tidak pulang semalam”. Ia menunduk tak berani menatap wajah suaminya.
“Pergi! dari hadapanku, sebelum aku berbuat kasar padamu!”. Mata Fajar, yang masih teramat sangat mengantuk tak kuasa untuk marah-marah, energinya benar-benar sedang menipis, walau hanya sekedar untuk berucap. Ia lebih memilih untuk mengusir Jingga, dari pada memakinya lebih lama lagi.
Menyadari perintah suaminya adalah sebuah titah Raja yang harus di tepati, jika tidak maka bersiap untuk kehilangan nyawa. Jingga lekas melenggang pergi meninggalkan kamar itu sebelum Fajar berubah pikiran dan bisa jadi akan membunuhnya saat itu juga.
Ia memilih untuk sholat di mushola Rumah Utama, mushola besar berada di lantai satu tepat bersebelahan dengan ruang keluarga. Cukup sangat luas hampir melebihi luas masjid di depan Resto tempat ia beekrja. Warna putih yang berkolabrasi dengan hijau menambah damai tempat suci ini. Ia sujud cukup lama, mengadu pada Sang Pencipta, memohon akan kebaikan dalam hidupnya. Tangannya kembali terangkat memohon.
Rabbana afrigh’alaina shabraw wa tsabbit aqdaamamaa wansurnaa’alal qaumil kafirin.
...“Ya Allah Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran pada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi rang-orang kafir”....
Seperti biasa Jingga akan slalu membacakan surat Al-Fatikah untuk orang-orang yang ia kasih’i, terutama untuk kedua orang tuanya yang sudah berpulang sejak ia masih kecil. Jingga juga membacakan aAl-fatkah untuk orang yang masih hidup. Pagi ini ada sedikit yang berbeda, ia menambah satu nama di akhir do’anya. Satu nama ia sebut sebelum dirinya.
...“Khususn ila ruhi fil jasadi suamiku Mas Fajar Dirgantara bin Bapak Angga Dirgantara, Al-Fatikah”....
Jingga mengusap lembut wajahnya, ada rasa bahagia setelah ia mengadu pada sang Pencipta dunia dan segala isinya.
“Allah sudah memberiku rezeki yang begitu banyak dalam hidupku Mas, salah satunya berjodoh denganmu dan memilii keluarga bru di sini. Tapi sepertinya Allah masih harus menguji kata sabar dalam diriku dengan sikapmu. Semoga kita berdua bisa bertemu dalam satu rasa. Satu cimta dan satu hati dalam satu ikatan perniahan yang suci ini”.
Jingga lekas melepas mukenanya, melipatnya dengan sangat rapi dan meletakkan kembali di almari penyimpanan. Ia memakai kembali jilbabnya dan bersiap untuk ke dapur menyiapkan makanan untuk orang-orang tersayang.
Sesuai dengan perintah Mama mertuanya, kini Jingga langsung menuju dapur, beberapa pelayan yang bertugas untuk memasak menyambutnya dengan sangat sopan.
“Nona Jingga, mau ngapain sepagi ini sudah ke dapur?”. Satu pelayan yang sudah berumur tampak sedang membungkukan badannya ketika menyambut kedatngan Jingga di dapur.
“Bik, bisa minta tolong bantu saya menyiapkan cumi, ayam dan juga bumbu-bumbu untuk membuat nasi liwet”. Jingga sedang menyiapkan segala bahan yang ia butuhkan untuk memasak. Beberapa hari tinggal di rumah Pak Angga masih membuatnya canggung menggunakan peralatan yang serba mdern di sana.
Dengan cukup tanggap pelayan lekas menyiapkan semua bahan-bahan yang di minta Jingga, mulai dari mengeluarkan ayam dari frezer dan membantu mengupas semua bumbu-bumbunya. Serta membantu menyiapkan peralatan yang di guanakan.
“Biar saya yang meracik bumbu-bumbunya bik, bibi tolong bantu mengupas semua bumbu-bumbu ini”. Tangan Jingga terulur menunjuk deretan bumbu yang berjajar rapi di atas meja.
Jemari lentiknya yang berkolaborasi dengan rempah dan bumbu dapat menghasilkan sebuah masakan yang lezat. Bau masakan tercium hingga di luar dapur. Tak jarang para pelayan yang memuji masakan Jingga. Menurut mereka masakan Jingga layak jika di sandingkan dengan masakan chef yang ada di Resto ternama.
“Bik tolong ceritakan, kalau pagi seperti apa saja yang mas Fajar kerjakan?, kira-kira apa pula yang harus di persiapkan?”. Tanya Jingga di sela-sela aktivitas menyajikan masakan untuk keluarga barunya.
Bik Jumik, mulai menceritakan segala aktivitas yang di lakukan Fajar, ketika matahari mulai menyapa hingga menjelang berangkat ke kantor.
Ternyata Fajar, terbiasa untuk bangun jam lima pagi. Laki-laki itu akan berolahraga sebentar di ruang Gym yang berada di lantai tiga rumah ini. Kemudian ia akan mandi dan membersihkan dirinya pukul enam pagi. Fajar termasuk seorang Tuan muda yang mandiri, ia menyiapkan sendiri semua kebutuhannya termasuk menyiapkan pakaian dan air untuk mandi. Fajar tidak pernah menyuruh pelayan untuk melakukan itu. Pukul tujuh pagi biasanya Tuan muda, akan sarapan bersamaan dengan Nyoya dan Tuan Angga.
“Apakah Mas Fajar, tidak sholat subuh bik?”. Tanya Jingga dengan ragu-ragu.
Bik Jumik, menggelengkan kepalanya pelan. Mendapat jawaban demikian membuat Jingga menarik nafas dalam, ia kemudian melangkah meninggalkan dapur berniat untuk memberi tahu semuanya jika sarapan pagi sudah siap.
Tak butuh waktu yang lama, sebelum Jingga, sampai di lantai dua semua keluarga sudah bersiap berkumpul di meja makan untuk sarapan, termasuk Fajar, yang terlihat sudah segar dengan tatanan rambutnya yang begitu rapi, bau harum seketika menyeruak dalam ruang makan.
“Wah sepertinya ini makanan enak sekali”, puji Pak Angga kala mencium bau masakan yang sangat menggelitik perutnya.
“Ini semua Non Jingga, yang masak Tuan”. Bik Jumik salah satu kepala dapur yang bertugas memasak memberanikan diri mengeluarkan suaranya.
“Wah jadi semua ini menantuku yang masak?”, Pak Angga sengaja bertanya seperti itu, ia akan memuji-muji Jingga di hadapan Fajar dan juga Bu Nadin.
“Ini semua aku yang meminta”. Kini Bun Nadin turut membuka suaranya.
“Wah jadi ini permintaan seorang mertua pada menantunya, pasti Jingga membuatkannya penuh dengan cinta”.
Semua keluarga kembali makan, jika yang lain memuji masakan Jingga, tidak dengan Fajar, ia lebih memilih untuk diam dan mengambil cukup sedikit makanan yang ada di depannya.
“Kenapa kamu ambilnya sedikit sekali?, bukankah nasi liwet adalah makanan kesukaanmu?”, pertanyaan Papa sungguh sangat tidak menguntungkan bagi Fajar.
Fajar diam saja tak menjawab pertanyaan sang Papa.
“Jingga, apa kegiatanmu hari ini nak?”, kini Papa beralih bertanya pada Jingga kala ia di acuhkan oleh Fajar.
“Saya akan bekerja Pa”.
“Oh ya, kamu bekerja dimana?”. Kini Pak Angga meletakan sendoknya sejenak dan menatap menantunya.
“Di salah satu kawasan Surabaya barat Pa”.
“Fajar, antar Jingga dulu sebelum kamu berangkat bekerja nanti!”.
“Aku tidak bisa Pa, nanti aku telat”. Jawab Fajar dengan dingin.
“Papa tidak menerima penolakan apapun, Jingga adalah tanggung jawab kamu, Papa minta kamu mengantar dan menjemput setiap di berangkat bekerja, Papa tidak mau terjadi sesuatu dengan menantu Papa!”. Pak Angga menatap Fajar dengan tajam.
“Satu lagi, nanti malam ada acara pernikahan salah satu anak teman Papa, karena Mama masih kurang enak badan jadi Papa mohon kamu dan Jingga untuk hadir di acara mereka nanti pukul delapan malam!”.
“Papa tidak menerima penolakan apapun, semuanya sudah Papa siapkan!”.
Pagi itu Fajar di buat frustasi dengan rentetan perintah Papanya.