Karena sebuah wasiat, Raya harus belajar untuk menerima sosok baru dalam hidupnya. Dia sempat diabaikan, ditolak, hingga akhirnya dicintai. Sayangnya, cinta itu hadir bersama dengan sebuah pengkhianatan.
Siapakah orang yang berkhianat itu? dan apakah Raya akan tetap bertahan?
Simak kisah lengkapnya di novel ini ya, selamat membaca :)
Note: SEDANG DALAM TAHAP REVISI ya guys. Jadi mohon maaf nih kalau typo masih bertebaran. Tetap semangat membaca novel ini sampai selesai. Jangan lupa tinggalkan dukungan dan komentar positif kamu biar aku semakin semangat menulis, terima kasih :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandyakala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keinginan Tuan Ardi
"Mas ...", Sindy menyapa suaminya dengan malu-malu. Ia baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan dirinya beberapa saat yang lalu.
Ezra yang tengah duduk di sofa dengan memandang layar gawai miliknya segera mengalihkan pandangan.
Ezra sedikit terkejut melihat penampilan Sindy yang saat ini sudah tampil mengenakan lingerie hitam yang tampak kontras dengan kulit putihnya.
"Kenapa kamu berpakaian seperti itu?", tanya Ezra sambil mengalihkan pandangannya kembali ke layar gawai.
Mendengar pertanyaan suaminya, Sindy mengerutkan dahi, "Mas, ini kan malam pengantin kita".
Ezra terdiam sejenak, "Sebaiknya kamu ganti lagi pakaianmu dengan piyama. Malam ini kita tidak akan melakukan apapun", ucap Ezra datar.
Sindy begitu terkejut dengan ucapan suaminya. Ia tidak menyangka Ezra akan berkata setega itu terhadapnya.
"Mas ... kenapa sih kamu bersikap seperti itu sama aku?. Padahal beberapa jam yang lalu kita sudah sah menjadi suami istri dan aku ingin menunaikan kewajibanku sebagai istri kamu, Mas", Sindy berbicara setengah putus asa pada Ezra.
Meski malas, Ezra akhirnya menatap kembali istrinya yang saat ini menunjukkan ekspresi kesal, bingung, marah, lengkap dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Ezra menarik nafas dalam, "Maaf, Sindy. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu dengan ucapanku tadi. Tapi kondisi kesehatan kamu belum sepenuhnya pulih, lagi pula aktivitas kita sepanjang hari ini sangat padat. Apa kamu tidak merasa lelah?", Ezra menatap lekat istrinya yang kini tampak terduduk di ujung tempat tidur.
Air mata Sindy sudah meluncur sejak tadi. Dia tidak biasa menerima penolakan.
"Aku sehat, Mas. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan dariku", jawab Sindy dengan suara bergetar menahan sakit di hatinya karena penolakan Ezra.
Lagi, Ezra menarik nafas dalam, "Maaf, Sindy. Aku belum siap melakukannya denganmu", jawab Ezra.
Ia berdiri dari tempat duduknya dan pergi dari kamar itu. Ezra sama sekali tidak berusaha bertindak lebih pada Sindy yang semakin merasa sedih dan terhina karena tindakannya.
Air mata Sindy malam ini tumpah ruah tak terbendung. Ia merasa dengan semua ucapan dan sikap Ezra yang beberapa jam lalu resmi menjadi suaminya. Tapi Sindy pun tidak bisa berbuat banyak untuk memaksa lelaki itu agar mau menyentuhnya.
Ezra memilih pergi ke taman belakang untuk menenangkan hati dan pikirannya yang kalut. Di satu sisi, dia sejujurnya merasa bersalah pada Sindy. Dia tahu, ucapan dan sikapnya tadi sudah pasti melukai hati wanita itu. Tapi di sisi lain, rasa bersalahnya pada Raya jauh lebih besar. Itulah kenapa Ezra tidak bisa menyentuh Sindy, bahkan sama sekali tidak ingin menyentuhnya meski ia memiliki hak atas itu semua.
"Kenapa kamu tidak beristirahat, Zra?", sebuah suara datang dari belakang dan mengejutkan Ezra yang sedang melamun sendirian.
"Oh, Om Ardi".
Lelaki paruh baya itu tersenyum tipis ke arah menantunya dan tanpa permisi ia memilih untuk duduk di samping Sang menantu.
"Pasti kalian sedang bertengkar ya? apa tadi Sindy memintamu untuk ...".
"Maafkan aku, Om. Aku benar-benar tidak bisa sepenuhnya menjadi seorang suami untuk Sindy", jawab Ezra cepat sebelum mertuanya itu berbicara lebih jauh.
Daddy Ardi menghela nafas panjang, ia menatap Ezra yang masih termangu memandangi kilatan cahaya bulan di atas kolam renang.
"Om mengerti. Sebenarnya hal inilah yang juga Om takutkan. Apa yang Sindy inginkan sebenarnya akan menyakiti dirinya sendiri. Om tidak akan memaksa kamu untuk seutuhnya menjadi Sindy. Tapi Om juga tidak tahu ke depannya harus bagaimana berbicara dengan Sindy agar menerima pernikahan kalian yang seperti ini".
"Om tidak berharap ataupun menuntut keluarga ini memiliki penerus karena ya, Om tahu betul kondisi Sindy seperti apa. Bagi Om, bisa melihat Sindy masih ada di sisi Om hingga detik ini saja, Om sudah merasa sangat bahagia", Om Ardi kini beralih menatap kilatan cahaya di atas kolam renang yang sedari tadi juga dilihat Ezra.
Beberapa saat suasana sunyi. Hanya nyanyian binatang malam yang meriuhkan telinga Om Ardi dan Ezra.
"Om, sepertinya aku tidak bisa berlama-lama tinggal di sini bersama Sindy. Mungkin besok aku akan kembali ke rumah Papa dan Mama", akhirnya Ezra kembali bersuara.
Daddy Ardi menatap menantunya itu, "Ezra, Om mohon tetaplah di sini. Nanti urusan Sindy biar Om yang coba bicara agar dia mengerti dan menerima keadaan pernikahan kalian, ya. Tolong tetap bantu Om", Daddy Ardi menepuk pundak Ezra.
Ezra terdiam sejenak sampai akhirnya dengan terpaksa menganggukkan kepala.
Malam semakin larut, Ezra dan Daddy Ardi sudah kembali ke dalam rumah. Ezra memilih untuk tidur di kamar tamu karena dia ingin menenangkan hatinya.
Keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Sindy sudah tampak sibuk di dapur bersama Bi Asih. Ia terlihat cekatan membuat sandwich untuk sarapan suaminya.
"Selamat pagi, Mas. Ini sudah aku siapkan sarapannya, Mas", Sindy datang dengan wajah sumringah sesaat setelah Ezra tiba di meja makan.
Entah kenapa, meski semalam terjadi hal yang tidak menyenangkan, tapi pagi ini ekspresi Sindy tidak menunjukkan kesedihan seperti semalam. Gadis itu tampak bahagia l, seolah tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Sang suami.
"Terima kasih", jawab Ezra pendek. Ia sama sekali tidak berminat untuk berbicara lebih banyak dengan Sindy.
"Mas, hari ini pulang jam berapa?", tanya Sindy mencoba memecah kesunyian di meja makan.
"Mungkin jam lima sore, kenapa?".
Sindy tersenyum ke arah Ezra, "Bisakah Mas Ezra mengantarku check up setelah Mas pulang kerja?".
Ezra terdiam sejenak, "Ok, aku usahakan pulang lebih cepat".
"Terima kasih, Mas. Aku tunggu Mas Ezra pulang ya", jawab Sindy dengan bahagia.
Hanya ada perbincangan itu saja di antara mereka saat ini. Selepas sarapan selesai, Ezra segera berangkat. Sindy mengantarkannya ke teras depan.
"Hati-hati, Mas", pesan Sindy.
"Iya, aku berangkat", jawab Ezra cepat.
Tak ada kecupan di kening pagi ini. Tapi meskipun begitu, Sindy sudah cukup bahagia bisa mencium tangan suaminya sebelum dia berangkat.
"Maaf, Non, Anda dipanggil Tuan Besar di ruangannya", Bi Asih datang menghampiri Sindy.
"Oh iya, Bi. Terima kasih", jawab Sindy ramah.
Gadis itu segera berlalu menuju ruang kerja pribadi Sang ayah yang ada di lantai tiga.
Setelah mengetuk pintu, Sindy dipersilahkan masuk. Hari ini Daddy Ardi sengaja tidak masuk kerja untuk bisa menghabiskan waktu bersama putrinya. Ia akan mencoba menjelaskan seperti apa dan bagaimana putrinya harus bersikap pada Ezra.
"Sayang, Daddy mau bicara, to the point", Tuan Ardi langsung membuka suara.
Sindy terdiam. Ia menunggu ucapan selanjutnya dari Sang Ayah.
"Daddy tahu, semalam Ezra pasti menolakmu, bukan?", Daddy Ardi menatap putrinya.
"Apa Mas Ezra mengadu sama Daddy?", tanya Sindy.
Daddy Ardi menggelengkan kepalanya, "Tidak. Suamimu tidak berbicara apapun sama Daddy. Tapi Daddy sudah bisa menebaknya karena Daddy yang meminta Ezra melakukannya".
Sindy mengerutkan dahinya, ia belum paham dengan arah pembicaraan Sang Ayah saat ini.
"Maksud Daddy apa?".
Daddy Ardi menarik nafas dalam. Dia menatap wajah putrinya dengan lekat.
"Sedari awal Daddy menyetujui pernikahan kalian, Daddy mengajukan satu syarat yang wajib dipenuhi Ezra".
"Syarat? apa itu, Dad?", Sindy makin penasaran.
"Daddy tahu kamu mungkin akan marah sama Daddy setelah ini. Tapi Daddy tidak punya pilihan lain. Kamu harus ingat, Daddy melakukan ini karena Daddy sangat menyayangi kamu. Kamu satu-satunya harta paling berharga buat Daddy selain almarhum Mommy kamu".
"Dad, please, apa syarat yang Daddy ajukan ke Mas Ezra?", desak Sindy. Dia seolah tak peduli dengan ungkapan kasih dari Sang Ayah.
Lagi, Daddy Ardi menarik nafas dalam, "Daddy meminta Ezra untuk tidak menyentuhmu. Kamu tahu sendiri bagaimana kondisi kesehatanmu, sayang. Kalau sampai Ezra melakukan hal itu, lalu Tuhan memberkatimu untuk hamil, Daddy tidak mau ambil resiko".
Sindy terbelalak, kedua tangannya kini menutup mulutnya yang terbuka lebar. Dia tidak menyangka Sang Ayah yang sangat disayanginya akan melakukan hal seperti itu padanya.
"Dad ... kenapa Daddy setega itu sama aku? Daddy tahu kan sudah sejak lama aku sangat mencintai Mas Ezra dan aku bahagia bisa menikah sama dia. Tapi ... tapi kenapa ...", kedua mata Sindy mulai berembun.
"Sayang, Daddy minta maaf. Daddy lakukan ini semua karena Daddy benar-benar sayang sama kamu. Daddy setuju kamu menikah dengan Ezra, tapi perlu kamu tahu, sebelum Daddy bersedia memenuhi permintaanmu itu, Daddy sudah sering berbicara dengan dokter yang merawat kamu selama ini. Kata dokter, sangat beresiko jika kamu sampai hamil dan melahirkan di tengah kondisi kamu yang belakangan ini semakin menurun. Daddy lebih memilih tidak ada keturunan dari keluarga ini daripada Daddy harus kehilangan kamu, sayang. Cukup Mommy yang meninggalkan Daddy, jangan ditambah dengan kamu", tegas Tuan Ardi dengan lembut.
Air mata Sindy mengalir deras. Dia terisak. Ada rasa sesak di dadanya. Di satu sisi hatinya memberontak dengan kejujuran Sang Ayah, tapi di sisi lain, Sindy sangat merasakan kasih sayang dan kesedihan Daddy Ardi.
Ya, Mommy Sindy sudah sejak lama meninggal, bahkan kejadian itu berlangsung tidak lama setelah ia melahirkan Sindy. Penyakit yang saat ini bersarang di tubuhnya pun sama persis dengan penyakit Sang Mama dulu. Meski Sindy tidak pernah melihat Mommy, tapi Sindy tidak pernah kekurangan kasih sayang dan perhatian dalam keluarganya.
Selama ini Daddy Ardi berusaha keras membesarkan Sindy dengan tangannya sendiri, bahkan ia rela mengeluarkan banyak biaya hingga berpindah-pindah tempat tinggal ke berbagai negara hanya untuk mencari pengobatan terbaik bagi putri semata wayangnya ini.
"Maafkan Daddy, sayang", Tuan Ardi memeluk erat tubuh Sindy yang masih terisak.
semoga tidak ada lagi yang menghalangi kebahagiaan kalian
setelah aku ikuti...
tapi cerita nya bagus biar diawal emosian 🤣🤣🤣
semoga aja raya bisa Nerima anak kamu dan Sindi ya...
semangat buat jelaskan ke raya
aku penasaran kek mana reaksi Sindi dan papanya tau ya kebusukan anak nya
semoga tidak terpengaruh ya....
taunya Sindi sakit tapi kalau kejahatan ya harus di pertanggung jawaban