Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Membawa nampan berisi 2 mangkuk tomyam dan air mineral ke teras rumah, ku dapati Mas Agam tengah merokok dan memainkan ponselnya.
Sebenarnya agak canggung setelah perkataan Mas Agam beberapa menit lalu, tapi aku mencoba bersikap biasa saja.
"Kirain Mas Agam pulang, soalnya nggak ada suaranya dari tadi." Sambil basa-basi, aku meletakkan nampan di atas meja. Mas Agam melirik sekilas dan kembali menatap layar ponselnya. Entah sedang melihat apa, terlihat sangat serius.
"Rugi kalo pulang, nanti nggak dapat yang anget-anget." Jawabnya datar. Aku sedikit mencebik, perkataannya selalu membuatku berfikir aneh-aneh. Kenapa juga harus bilang yang hangat-hangat.? Kenapa tidak bilang tomyam saja. Walaupun tomyam yang aku bawa memang hangat bahkan panas karna baru matang.
"Kan Bia udah bilang nanti di bagi. Kalo Mas pulang ya otomatis di anter ke rumah lah, jadi nggak bakal rugi." Sahutku. Satu mangkuk tomyam aku sodorkan di dekat Mas Agam.
"Tetep aja rugi, nggak enak maka sendirian." Selalu ada saja jawaban yang keluar dari mulut Mas Agam. Dia tampak mematikan ponsel dan menyimpannya saku celana pendek yang dia pakai.
"Ya udah cepetan di makan, nanti keburu dingin." Aku juga mengambil tomyam milikku dan mulai menyendoknya. Sesaat saling terdiam dan fokus pada makan masing-masing.
"Udah berapa lama kamu sama Dirga nikah.?" Aku hampir tersedak dengan pertanyaan Mas Agam yang to the point. Dia bahkan santai saja setelah melontarkan pertanyaan yang jarang di tanyakan oleh laki-laki.
"3 tahun."
Mas Agam mengangkat kepala. Sepertinya jawabanku menarik perhatiannya. Sendok di tangannya di letakkan di mangkuk.
"Apa baru kali ini kamu mengetahui Dirga selingkuh.?" Aku terpaku. Sendok berisi tomyam yang hampir masuk ke dalam mulut seketika kembali lagi ke tempatnya.
Sesak yang sejenak hilang, kini datang lagi setelah mendengar kata selingkuh. Semangat yang sempat menyala, tiba-tiba redup. Bayangan Mas Dirga yang sedang makan bersama seorang wanita dan anak kecil, menari-nari di ingatan dan membuat dada semakin sesak.
"Buat apa menyiksa diri sendiri dengan memikirkan pasangan yang berselingkuh. Mereka saja bisa bersenang-senang untuk mencari kebahagiaannya sendiri tanpa memikirkan Orang-orang sudah tulus mencintai mereka." Suara tegas Mas Agam sekilas menyadarkanku. Tapi mana bisa aku tidak memikirkan perbuatan Mas Dirga di luar sana.
Kebohongan demi kebohongan terus dia lakukan.
Berkedok pulang malam karna pekerjaan, dia pasti menghabiskan waktu dengan selingkuhannya.
"Mas Dirga nggak pernah seperti ini sebelumnya."
"Baru akhir-akhir ini sikapnya mencurigakan." Aku mengukir senyum getir.
Kalau memang Mas Dirga dan wanita itu tidak memiliki hubungan apa-apa, seharusnya Mas Dirga tak perlu bohong padaku. Tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk bertemu dengannya.
Dan soal parfum, jelas Mas Dirga bohong padaku.
Aku di buat seperti orang bodoh yang di paksa percaya kalau parfum di kemeja itu milik temannya yang menawarkan parfum.
Padahal bisa saja Mas Dirga dan Wanita itu melakukan kontak fisik yang intim sampai parfum di tubuh wanita itu menempel di kemeja Mas Dirga.
"Hidup terlalu singkat untuk merenungi ketidak adilan dari pasangan. Pikirkan dirimu sendiri, pikiran kebahagiaanmu karna itu jauh lebih penting." Tegas Mas Agam. Dia kembali menyantap makanannya setelah membuatku berkecambuk dengan semua kalimat yang keluar dari bibirnya.
Pikirkan kebahagiaanku.?
Aku bahkan tidak tau kebahagiaan seperti apa yang aku inginkan setelah mengetahui kebohongan Mas Dirga. Rasanya sudah tidak ada lagi kebahagiaan di depan mata.
...*****...
Pagi ini rasanya malah untuk beranjak dari ranjang. Sudah pukul 7 lewat tapi aku masih berbaring walaupun sudah bangun sejak tadi.
Percakapan semalam justru membuatku semakin memikirkan nasib yang menyedihkan ini.
Suara Abang sayur memaksaku untuk turu dari ranjang. Kalau isi kulkas tidak kosong, sudah pasti aku akan memilih tetap di atas ranjang.
Bergegas cumi muka dan menggosok gigi, aku keluar dengan masih memakai piyama dan rambut panjang yang di ikat asal. Peduli apa dengan penampilanku yang acak-acakan. Karna selalu tampil rapi dan wangi saja tak menjamin pasangan setia.
"Baru bangun ya Neng.?" Aku langsung di sambut Abang sayur saat keluar rumah.
"Iya Bang, lagi mager. Cuacanya juga mendukung buat tarik selimut." Jawabku.
Terbiasa mengobrol dengan Abang sayur, membuatku tidak canggung lagi saat menjawab pertanyaannya.
"Minta lauk pauk yang kayak biasa ya Bang." Ucapku.
"Siap Neng, udah di pisahin nih." Dia mengeluarkan plastik kresek berwarna merah dari box ikan. Beberapa jenis seafood dan daging-dagingan sudah di pisahkan di dalamnya.
Aku lantas memilih sayuran dan bahan pelengkap lainnya.
Tak berselang lama, Mas Agam muncul dan menghampiri kami.
"Eh si Aa kasep,, mau beli apa A.?"
Aku jadi melirik ke arah Mas Agam dan Abang sayur. Baru kali ini aku melihat Mas Agam menghampiri tukang sayur.
"Ayam, tapi bagian dadanya aja ya." Jawabnya santai.
"Emangnya ototnya kurang gede A.? Masih makan dada aja."
"Iya, biar lebih gede lagi sampe ke bawah-bawah." Mas Agam menjawab datar, tapi Abang sayur itu malah tertawa.
"Si Aa bisa aja. Percaya di bawah juga gede, keliatan dari badannya."
Aku sontak berfikir keras dengan alis berkerut, sebenarnya apa yang sedang mereka bahas, kenapa menjurus ke hal-hal seperti itu.
"Kamu masak apa Bi.?" Mas Agam bergeser mendekat ke sampingku. Dengan sikap tenangnya, dia memperhatikan apa yang sedang aku ambil.
"Lagi males masak Mas, ini belanja cuma stok aja." Aku menjawab tanpa menatap Mas Agam.
Setelah itu aku menyuruh Abang sayur untuk menghitung belanjaanku.
"175 ribu Neng Bia,," Dia menyerahkan pastik berwarna merah padaku.
"Oke, sebentar Bia ambil dulu uangnya. Lupa tadi nggak sekalian bawa uang." Aku bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet.
"Loh,, kok malah pergi.?!" Seruku yang menatap mobil sayur itu sudah hampir keluar dari cluster.
"Nggak butuh uang apa gimana." Gumamku. Mau teriak pun percuma, pasti tidak akan dengar.
"Udah Mas bayar sekalian." Aku langsung menoleh ke rumah sebelah.
"Pantesan kabur." Sahutku sembari menghampiri Mas Agam di teras rumahnya. Aku membuka dompet dan menyodorkan uang padanya.
"Ini Mas uangnya,,"
"Nggak usah, anggap aja buat gantiin tomyam tadi malam." Mas Agam enggan mengambil uang yang aku sodorkan padanya.
"Ih mana boleh begitu. Aku taro disini ya," Ku letakan uang di atas meja dan buru-buru pergi.
"Bia.! Ambil, aku bilang nggak usah." Suara tegas Mas Agam memaksaku untuk berhenti.
Raut wajah dan tatapan matanya penuh ketegasan.
"Tapi Mas,,,"
"Nggak ada tapi-tapian." Mas Agam mengambil uang itu, lalu memberikannya padaku.
"Jangan lupa sarapan, mengahadapi masalah butuh tenaga." Ucapnya kemudian masuk ke dalam rumah.
Aku hanya bengong dengan apa yang di lakukan oleh Mas Agam.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong