Ig : @ai.sah562
Bismillahirrahmanirrahim
Diana mendapati kenyataan jika suaminya membawa istri barunya di satu atap yang sama. Kehidupannya semakin pelik di saat perlakuan kasar ia dapatkan.
Alasan pun terkuak kenapa suaminya sampai tega menyakitinya. Namun, Diana masih berusaha bertahan berharap suaminya menyadari perasaannya. Hingga dimana ia tak bisa lagi bertahan membuat dirinya meminta.
"TALAK AKU!"
Akankah Diana kembali lagi dengan suaminya di saat keduanya sudah resmi bercerai? Ataukah Diana mendapatkan kebahagiaan baru bersama pria lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arion Alfattah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan 1
"Keguguran...!" bagaikan tersambar petir di siang bolong mendengar Diana keguguran. Hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, hal yang tidak pernah ada dalam benaknya mengenai kehamilan.
Diana, istrinya sedang hamil. Istri yang ia perlakukan tidak baik selama tiga hari ini sedang mengandung anaknya. Lantas, kini ia harus kehilangan anak sebelum mengetahui dan melihatnya. Sakit, hatinya terasa sakit darah dagingnya tiada sebelum lahir ke dunia
Kilatan sorot mata merah memancarkan sebuah amarah terlihat sangat jelas. Rahangnya mengeras, tangannya terkepal ingin menghajar pria di hadapannya. Rasa marah pun kian membara sampai berakhir memukul wajah tampannya.
Bug... Bug...
"Brengsek, beraninya kau menyakiti Diana. Saya menyesal telah menikahkan kalian kalau pada akhirnya kamu menyakiti dalam ini. Lihatlah sekarang, dia terbaring lemah tidak percaya semua gara-gara ulah mu, Zio. Salah apa dia sama kau?" sentak Rio murka mengutarakan rasa marahnya melalui sebuah pukulan. Dan itu tidaklah kurang puas menurutnya.
Danu terdiam bagaikan orang bodoh. Pukulan Rio begitu berasa sakit di wajahnya. Namun, ada yang jauh lebih sakit dari sebuah pukulan, kehilangan. Tubuhnya terasa lemas, tubuhnya gemetar, badannya perlahan mundur dengan sorot mata kosong.
"Tidak mungkin." Danu terhunyung ke belakang. Punggungnya ia sandarkan ke dinding, matanya berkaca-kaca, tubuhnya perlahan merosot ke lantai terduduk emas mengetahui sebuah kenyataan jika saat ini istrinya sedang hamil.
Pun dengan Anita yang baru tiba tak kalah terkejut mendengarnya. ia membekap mulutnya syok mengetahui Diana keguguran.
"Ya Allah, apa yang telah kulakukan? tanpa sengaja aku ikut andil dalam masalah ini," batin Anita Soraya mundur mencari pegangan dikarenakan tubuhnya ikut lemas.
"Kenapa, Pak? Kau kaget mendengar Diana kehilangan calon bayinya? Kau baru tahu Dia sudah mengandung benih yang kau tanam? kau berhasil menyakiti dia lahir batin, Pak. kau berhasil menghancurkan dia. Kenapa kau seolah terlihat sakit? Ini kan yang kau inginkan Tuan dan alzio Fahri? kau senang melihat wanita yang kau benci tanpa alasan menderita," ujar Cici begitu menggebu memarahi pria bodoh yang sedang terduduk dengan lutut menekuk dan tangan menjambak rambutnya.
Pria itu diam seribu bahasa. Air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya seketika menetes tanpa terduga. rasanya begitu luar biasa di kala kata kehilangan kembali terdengar. Untuk kedua kalinya ia merasa kehilangan, Prisil dan calon anaknya.
Rasa sesal pun datang begitu saja. Menyesal telah menjadi penyebab Diana seperti ini, menyesal tidak pernah mengetahui kehamilan istri yang sudah menjadi mata istri beberapa jam lalu.
"Kau..." perkataan Cici menggantung kata seseorang membuka pintu ruangan IGD.
Beberapa orang suster keluar dari ruangan tersebut sambil mendorong berangkat. Danu, Cici, Rio dan Anita yang bersembunyi pun menoleh. Mereka langsung menghampiri, lebih tepatnya Cici dan papanya yang lebih dulu mendekat.
"Diana..." lirih Cici tak bisa berkata-kata melihat sahabatnya sedang dalam keadaan tak berdaya di atas brangkar rumah sakit dengan tangan diinfus, kepala diperban, dan terlihat luka di tangannya. Cici terisak sedih.
Danu meringis melihat keadaan Diana terbaring lemah tak bergerak sedikit pun. Matanya menatap lekat wajah pucat dengan mata terpejam, pandangannya turun ke arah perut. Rasa sedih dan sesak kembali menghantam dirinya.
"Anakku..." gumamnya terasa tercepat hanya untuk berkata anak.
Perlahan dia bangkit dari duduknya ingin mendekati Diana. Namun, ya urungkan di kala bayangan perlakuan dia kepada Diana berputar di benaknya bagaikan sebuah video yang terus tayang mengingatkan bagaimana cara dia memperlakukan Diana saat ini.
Perkataan serta tindakan menyakitkan di kala ia membawa wanita dan mengakuinya sebagai istri kedua. Perkataan kasarnya, Bentakannya, hingga sebuah tangan pun ikut andil dalam berbuat kasar pada sang istri.
Langkahnya mengikuti para suster yang sedang mendorong berangkat berisi Diana menuju ruangan perawatan. Dia ingin masuk tetapi ditahan oleh bapaknya Cici.
"Ngapain kamu ikut masuk? Kau tidak dibutuhkan di sini, kau bukan lagi suami Diana karena saya akan mengurus surat perceraian kalian," tuturnya menghadang Danu menggunakan tangannya mendorong pelan dada Danu hingga pria itu mundur ke belakang beberapa langkah.
Deg...
Lagi Dan Lagi dadanya terasa sesak di saat telinga kembali mendengar kata cerai. Sesak itu kembali menyergap, dan rasa tidak ingin kehilangan tiba-tiba datang. Tapi rasa bersalahnya membuat Danu bertahan berada di sana.
"Om izinkan saya menemaninya di dalam, saya mohon, Om. Diana pasti sedih atas meninggalnya anak kami." tatapan memohon bersorot sayu penuh sedih dan penyesalan tergambar jelas di matanya.
"Kau ingin menemaninya setelah apa yang kau lakukan? Kemana saja perasaan mu selama ini di saat kau menyakitinya dan membuat Diana tersakiti? Sadarkah kau dengan ucapanmu itu? rasa iba dan sesal mu itu sudah tiada guna. Semuanya sudah terlambat. Kau menyakitinya maka saya akan membawa Diana pergi dari kehidupanmu. Mending kau pergi dari sini! Diana tidak butuh pria seperti mu," usirnya tak ingin Danu menyakiti Diana lagi.
Sudah cukup selama ini Danu menyakitinya secara lahir dan batin. Terluka luar dalam hanya karena sebuah alasan tidak masuk akal menurutnya. Cici sudah menceritakan semuanya dan tentunya Rio sangat marah.
"Tapi Om, saya..."
"Pergi dari sini! Pulanglah pada wanita keduamu. Bukankah kau tidak mencintai Diana? Bukankah kau sudah menikah lagi? Mending kau pergi dan kembali kepadanya dan nikmati keberhasilan mu." Papa Cici pun masuk ke dalam membiarkan Danu sendiri. Dia juga mengunci pintu tersebut.
Danu semakin di buat lesu, tangannya ia tempelkan ke dinding, keningnya pun ia tempelkan ke dinding sesekali ia benturkan ke dinding. Tangis diamnya keluar membasahi wajah.
"Bodoh, kenapa kau begitu bodoh tidak mengetahui ini? Kau bodoh Zio, apa yang sudah kau lakukan? Kenapa kehilangan anak begitu menyakitkan? melihatnya terbaring lemah tak berdaya membuat Abang sakit. Abang tak sanggup Lagi membalaskan dendam atas kematianmu. Abang tak sanggup kehilangan dia. ternyata hati Abang sudah mencintainya Abang tidak mungkin lagi meneruskan niat Abang untuk membuat dia mengakhiri hidupnya seperti kamu yang juga mengakhiri hidupmu karenanya. Abang tidak sanggup, Prisil."
Di saat sudah seperti ini barulah dirinya menyadari hadirnya sebuah rasa tak terduga yang mungkin sudah lama ia rasa namun terhalang oleh dendam dan ego yang menguasai jiwanya.
Rasa cinta yang baru ia sadari ketika sebuah kata kehilangan kembali melintas dalam benaknya. Rasa takut pun datang tak bisa lagi ia ingin kehilangan. Bahunya terguncang menyesali perbuatannya. Jika, ia tidak melakukan ini mungkin saja mereka masih berbahagia. Jika Danu menyadari perasaannya lebih dulu, mungkin kini Diana masih tertawa ceria dan mereka sedang bahagia atas hadirnya seorang anak.
Anita mendekati kakak sepupunya. Dia memegang pundak Danu. Danu menoleh, matanya memerah.
"Om Fakhri menelpon. Dia sudah ada di rumah."
Deg...