Rania, seorang barista pecicilan dengan ambisi membuka kafe sendiri, bertemu dengan Bintang, seorang penulis sinis yang selalu nongkrong di kafenya untuk “mencari inspirasi.” Awalnya, mereka sering cekcok karena selera kopi yang beda tipis dengan perang dingin. Tapi, di balik candaan dan sarkasme, perlahan muncul benih-benih perasaan yang tak terduga. Dengan bumbu humor sehari-hari dan obrolan absurd, kisah mereka berkembang menjadi petualangan cinta yang manis dan kocak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menapak Lebih Jauh
Bab 25: Menapak Lebih Jauh
Waktu terus berjalan, dan pusat pengembangan diri yang didirikan Rania dan Tara semakin berkembang pesat. Program-program yang mereka tawarkan semakin beragam, dan lebih banyak orang yang datang untuk mencari kedamaian batin, keterampilan baru, atau sekadar tempat untuk berbagi dan belajar. Pusat ini telah menjadi tempat yang sangat berarti bagi banyak orang, bahkan bagi mereka yang awalnya merasa ragu.
Hari itu, Rania duduk di ruang kerjanya, memandangi papan tulis yang penuh dengan ide-ide untuk program-program baru. Tara baru saja meninggalkan ruang itu setelah berbicara mengenai pengembangan program untuk anak-anak. Mereka memang sudah memiliki beberapa kelas untuk remaja dan dewasa, namun belum terlalu banyak yang difokuskan pada anak-anak dan keluarga.
"Kita perlu program yang bisa memberi dampak pada keluarga. Anak-anak butuh ruang untuk belajar tentang emosi, dan orangtua butuh cara untuk mendidik mereka dengan lebih penuh kasih sayang," kata Tara, yang sangat peduli dengan perkembangan keluarga dalam masyarakat.
Rania mengangguk setuju. "Iya, banyak yang datang ke kita, dan kita sering mendengar cerita tentang orangtua yang merasa kesulitan mengelola emosi anak-anak mereka. Mungkin kita bisa adakan workshop khusus untuk keluarga, dengan fokus pada komunikasi yang sehat dan bagaimana mengelola emosi."
Namun, meski sudah ada banyak ide untuk program baru, Rania merasa sedikit tertekan dengan ekspektasi yang semakin besar. "Tara, kadang aku merasa seperti ini terlalu besar untuk kita. Aku tahu kita bisa membantu banyak orang, tapi aku khawatir dengan apa yang mungkin akan datang. Apakah kita bisa terus mengelola ini dengan baik?"
Tara duduk di samping Rania, memberikan senyuman yang menenangkan. "Rania, kamu sudah membuktikan bahwa kamu bisa menjalani segala sesuatu dengan hati. Kita sudah sampai sejauh ini berkat itu. Kita hanya perlu terus maju, dan jangan terlalu khawatir tentang apa yang ada di depan. Selalu ada jalan, kita hanya perlu mencarinya bersama."
Rania mendalamkan napas, merasakan ketenangan yang datang dari kata-kata Tara. "Benar, Tara. Mungkin aku terlalu banyak berpikir. Kita sudah menjalani ini dengan hati, dan kita harus terus melakukannya."
---
Hari demi hari, mereka semakin sibuk dengan berbagai kegiatan yang diadakan di pusat tersebut. Salah satu yang paling populer adalah kelas yoga dan meditasi yang diadakan setiap pagi. Banyak orang mulai datang lebih awal untuk mengikuti sesi tersebut sebelum menjalani hari mereka. Tak hanya itu, banyak juga yang datang untuk sesi konseling individu, mencari bimbingan untuk menemukan kedamaian batin.
Pada suatu hari, seorang pengunjung datang menemui Rania setelah sesi meditasi selesai. Ia adalah seorang wanita paruh baya yang tampak gelisah namun penuh harapan. "Rania, terima kasih banyak atas sesi ini. Aku merasa jauh lebih tenang daripada sebelumnya," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
Rania tersenyum, merasa senang bisa membantu. "Kami senang bisa membantu. Jangan ragu untuk datang lagi jika Anda merasa membutuhkan."
Namun, wanita itu menatap Rania lebih dalam, seakan ada cerita yang lebih besar yang ingin ia bagikan. "Rania, aku baru saja mengalami banyak kesulitan dalam hidupku. Aku kehilangan pekerjaan, rumahku hampir disita, dan aku merasa sangat terpuruk. Tapi setelah datang ke sini, rasanya ada harapan lagi."
Rania merasakan simpati yang dalam, dan dengan lembut ia berkata, "Kami di sini untuk membantu, bukan hanya dengan meditasi atau yoga, tapi juga dengan mendengarkan. Jika kamu merasa ingin berbicara lebih lanjut, kami ada untuk itu."
Wanita itu terdiam sejenak, kemudian mengangguk. "Terima kasih, Rania. Aku merasa seolah-olah aku menemukan tempat untuk bisa mulai lagi."
Saat wanita itu pergi, Rania terdiam sejenak, meresapi kata-kata yang baru saja didengarnya. Itulah yang ingin mereka capai—membuka pintu harapan untuk mereka yang sedang kesulitan.
---
Malam itu, setelah pusat tutup, Rania dan Tara duduk di meja besar yang biasa mereka gunakan untuk merencanakan program. Meskipun tubuh mereka lelah, hati mereka penuh dengan kebahagiaan karena bisa memberikan harapan baru bagi orang-orang yang datang.
"Tara, aku rasa kita sudah melakukan banyak hal baik untuk orang lain, tapi aku merasa masih ada yang kurang. Kita harus terus berkembang, terus mencari cara untuk menyentuh lebih banyak hati," kata Rania dengan serius.
Tara mengangguk dengan penuh semangat. "Benar, kita harus terus berkembang. Mungkin kita bisa menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga sosial, atau bahkan melakukan program keliling ke daerah-daerah yang lebih membutuhkan."
Rania berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Itu ide yang bagus, Tara. Kita bisa mulai merencanakan program keliling, mengadakan seminar dan workshop di luar kota. Kita harus memberi kesempatan kepada lebih banyak orang untuk merasakan apa yang kita alami di sini."
Dengan semangat yang semakin membara, mereka mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya. Mereka tidak hanya ingin membantu orang-orang yang datang ke pusat mereka, tetapi mereka juga ingin menjangkau mereka yang mungkin belum tahu tentang keberadaan mereka.
---
Beberapa bulan kemudian, program keliling mereka pun dimulai. Rania dan Tara memimpin beberapa seminar di berbagai kota, mulai dari kota-kota kecil hingga daerah yang lebih terpencil. Respon yang mereka terima luar biasa—banyak orang yang merasa terbantu dan mulai melihat kehidupan dengan cara yang lebih positif setelah mengikuti program mereka.
Namun, di tengah perjalanan itu, Rania mulai merasa bahwa ia juga perlu kembali melihat dirinya sendiri. Terkadang, meski membantu orang lain, ia merasa kehilangan keseimbangan dalam hidupnya. "Aku merasa seperti memberikan semuanya untuk orang lain, tapi aku juga lupa memberi waktu untuk diriku sendiri," pikirnya, saat melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya.
Pada suatu malam, setelah sesi seminar selesai, Rania duduk sendirian di kamar hotel. Ia membuka jendela dan melihat bintang-bintang yang tampak begitu terang di langit malam. "Mungkin aku perlu sedikit waktu untuk diriku sendiri," pikirnya, merasa bahwa meskipun ia telah memberi banyak untuk orang lain, ia juga perlu merawat dirinya agar bisa terus memberi dengan tulus.
---
To be continued...