Aira harus memilih di antara dua pilihan yang sangat berat. Di mana dia harus menikah dengan pria yang menjadi musuhnya, tapi sudah memiliki dirinya seutuhnya saat malam tidak dia sangka itu.
Atau dia harus menunggu sang calon suami yang terbaring koma saat akan menuju tempat pernikahan mereka. Kekasih yang sangat dia cintai, tapi ternyata memiliki masa lalu yang tidak dia sangka. Sang calon suami yang sudah memiliki anak dari hubungan terlarang dengan mantannya dulu.
"Kamu adalah milikku, Aira, kamu mau ataupun tidak mau. Walaupun kamu sangat membenciku, aku akan tetap menjadikan kamu milikku," ucap Addriano Pramana Smith dengan tegas.
Bagaimana kehidupan Aira jika Addriano bisa menjadikan Aira miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Pelampiasan
Aira tidak menjawab, dia sekarang berusaha melepaskan kalung itu, dan karena Aira terlalu emosi serta terburu-buru jadinya dia susah melepaskan kalungnya.
"Kenapa jadi susah sekali!" serunya kesal. Addrian menatap datar pada Aira yang masih berusaha melepaskan kalungnya.
"Gadis Aneh." Addrian mendekat dan menyibakkan rambut Aira ke samping tanpa permisi dulu.
"Kamu mau apa?"
"Diam! Kamu jangan merusak kalung yang indah itu. Bagaimana kalau patah?"
Aira terdiam, dan Addrian membantu membuka pengait kalung yang dipakai Aira. '****, kenapa aku ini? Kenapa tiba-tiba rasanya aneh begini?' Addrian tiba-tiba merasakan perasaan aneh pada dirinya.
"Devil, cepat!" bentak Aira sampai Addrian tersentak kaget.
"Sebentar. Susah, Aira!" Addrian kembali fokus melepaskannya dan setelah lepas Addrian tidak langsung memberikan kalungnya pada Aira. Dia dengan jahilnya, mengusap tengkuk leher Aira dengan lembut.
Aira yang merasakan geli pada tengkuknya mendelik, kemudian menoleh dengan wajah marahnya pada Addrian. "Jangan kurang ajar, Devil!"
"Siapa yang kurang ajar? Rambut kamu itu menyangkut di kalungnya. Mau aku tarik rambut kamu?"
Aira tidak mau lama-lama berdebat dengan musuhnya itu, dia memilih pergi dari sana dan lupa meninggalkan kalung yang dia sukai di tangan Addrian.
"Aira?" Niana yang baru mau menemui sahabatnya bingung melihat muka sahabatnya yang berjalan dengan marah dan di sana ada si devil. "Kenapa mereka malah bertemu di sini?" Niana akhirnya mengikuti Aira keluar dari toko perhiasan itu.
Tidak lama seorang wanita cantik dengan span jeans mininya berjalan mendekati Addrian. Tangan putih mulusnya mengusap lembut rahang tegas Addrian. "Sayang, kamu sedang memilih apa?" Wanita itu melihat kalung yang dipegang oleh Addrian. "Indah sekali, apa kalung ini untukku?" Wanita itu mengambil kalung dari tangan Addrian.
"Kalung itu tidak cocok untuk kamu."
"Tapi ini indah sekali." Wanita itu tampak berbinar melihat kalung yang tadi dipilih oleh Aira.
"Ini tidak cocok sama kamu. Pilih lainnya saja." Addrian mengambil kalung dari tangan kekasihnya.
"Lalu, kenapa kamu membawa kalung itu? Apa kamu mau membeli kalung itu untuk seseorang?" Sekarang wajah wanita itu mengerut kesal.
"Bundaku hari ini ulang tahun, dan aku mau membelikan ya," terang Addrian malas.
Wajah wanita itu masih tidak percaya melihat ke arah Addrian. "Apa kamu tidak bohong?"
"Kita putus saja, kamu terlalu cerewet." Addrian berjalan pergi dari hadapan wanita yang berdiri mematung mendengar ucapan Addrian.
Niana dan Aira sekarang yang berada di toko buku, tampak Aira yang wajahnya kesal membaca satu persatu judul Novel yang ada di depannya. Niana hanya diam memperhatikan apa yang dilakukan oleh sahabatnya itu.
"Kenapa tidak ada yang cocok?" ucapnya terdengar kesal sendiri.
"Ini judul novel yang kamu cari?" Niana memberikan sebuah Novel yang memiliki cover berwarna hitam dan putih dengan judul 'Cara Menaklukkan Iblis.'
"Niana!" seru Aira semakin kesal.
"Kalian tadi meributkan apa sih?"
"Ini semua gara-gara si devil itu sampai aku lupa ingin membeli kalung tadi?"
"Kalung? Kalung yang kamu sukai itu? Memangnya Kak Addrian mau membeli kalung itu juga? Tapi dia, kan, laki-laki, Ai, untuk apa dia membelinya? Atau mungkin untuk pacarnya? Enak sekali jadi pacarnya Kak Addrian.
"Kak Addrian?" Aira melihat pada Niana. "Kebagusan kalau dia dipanggil kak Addrian. Panggil saja dia Devil, dan aku tidak peduli dia mau membelikan untuk siapa, yang jelas dia tadi benar-benar membuat aku kesal!"
"Kalian itu kalau bertemu seperti kucing dan tikus saja. Kamu relakan saja kalung itu dan nanti kita cari yang baru lainnya."
"Bukan karena itu." Aira menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Niana sampai menutup mulutnya dengan tangan. Niana sebenarnya tidak kaget, dia itu menahan tawanya.
"Kenapa kak Addrian itu usil sekali sama kamu? Mungkin karena wajah kamu yang selalu kesal setiap bertemu dia, jadi dia gemas ingin mengerjai kamu."
"Aku ingin sekali mempercepat pernikahan aku dan segera dibawa ke luar negeri dengan suamiku, jadi aku tidak perlu bertemu lagi dengan si devil itu."
"Hem! Segitu bencinya kamu sama dia. Aku ingatkan ya, Ai, kamu jangan terlalu benci sama dia."
"Kenapa? Takut nanti benci jadi cinta? Tidak mungkin, Na."
"Semoga saja memang tidak. Pusing aku nanti melihatnya." Niana kembali terkekeh.
Aira akhirnya membeli sekitar tiga buku novel dan dia kembali mengajak Niana pergi ke toko perhiasan tadi untuk membeli kalung yang dia inginkan tadi.
"Sudah tidak ada?"
"Iya, kalungnya sudah dibeli mas-mas tampan yang tadi datang ke sini dengan kekasihnya."
"Apa Kak Addrian, Ai? Jadi, dia ke sini memang dengan kekasihnya, dan dia membeli kalung yang kamu inginkan untuk kekasihnya. Benar-benar itu si devil ingin membuat kamu kesal."
Aira hanya diam saja dan dia menggandeng tangan Niana keluar dari dalam toko. Mereka sekarang menuju food court untuk mencari sesuatu yang bisa mendinginkan hati Aira yang sedang panas selain baca novel.
"Ai, pelan-pelan makan ice creamnya."
"Aku mau pesan lagi." Aira beranjak dari tempatnya.
Mereka di sana sampai sore hari karena Aira masih ingin menenangkan dirinya. "Pulang sekarang yuk, Ai! Sudah sore ini. Nanti kalau kelamaan di luar mas Dewa tau pasti marah."
"Iya, kita pulang sekarang saja. Perasaanku juga sudah lebih baik sekarang." Aira mengambil tasnya dan mereka berjalan pergi dari sana. "Na, kita pulangnya jalan aja yuk? Sambil menikmati suasana sore hari, terus kita beli kue kentang di pinggir jalan itu."
"Ya ampun! Kamu masih mau makan lagi?"
"Beli buat orang rumah, dan aku juga."
"Kamu beneran stres ya menghadapi hari pernikahan kamu yang tinggal beberapa hari?" Aira mengangguk. "Ya sudah kita jalan saja pulangnya, tapi jangan mengeluh kalau nanti capek."
"Tidak akan, Na. Eh, tapi kalau nanti capek kita baru naik mobil online." Aira terkekeh.
Sekarang mereka berjalan dengan bergandengan tangan menikmati suasana sore hati yang hari ini terasa amat sejuk. Kedua sahabat itu berjalan di atas trotoar sambil bercerita tentang kehidupan kelak yang akan mereka jalani nanti kalau sudah sama-sama menikah.
"Nanti kalau kita punya anak, bagaimana kalau kita jodohin saja, Na?"
"Aku sih setuju saja, tapi tidak tau anak kita mau tidak. Kamu saja tidak mau dijodohkan sama anak dari teman mama kamu."
"Tentu saja aku tidak mau karena aku sudah jatuh cinta sama mas Dewa. Coba saja aku belum kenal mas Dewa, mungkin aku mau."
"Kalau begitu, aku saja yang dijodohkan sama anak dari teman mama kamu. Pasti dia tampan, kaya." Niana membayangkan sesuatu.
Aira yang melihatnya memutar kedua bola matanya jengah.