Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perubahan kaizen
Pagi itu sekolah terasa sama seperti biasanya—ramai, berisik, dan penuh tawa. Namun bagi Nayomi, ada satu hal yang terasa berbeda sejak ia melangkahkan kaki ke koridor kelas.
Kaizen.
Cowok itu berjalan masuk ke area sekolah dengan wajah datar. Tidak ada senyum kecilnya, tidak ada sapaan santai seperti biasanya, bahkan sekadar anggukan ke arah teman-temannya pun tidak. Tangannya dimasukkan ke saku celana, langkahnya mantap tapi terasa jauh.
Nayomi yang sedang berdiri bersama Elara dan Keira langsung menyadarinya.
“si… Kaizen kenapa sih?” gumam Nayomi pelan.
Biasanya Kaizen yang pertama menyapa. Kadang bercanda, kadang hanya berkata singkat, tapi tidak pernah sedingin ini.
Di kelas, perubahan itu makin terasa.
Kaizen duduk di bangkunya, menatap papan tulis tanpa ekspresi. Ezra sempat melempar candaan, Leo mencoba mengajaknya ngobrol, bahkan Kairo yang biasanya paling berisik pun kali ini memilih diam setelah tak mendapat respons.
“Anak itu kenapa sih?” bisik Kairo ke Leo.
“Entahlah, dari pagi kaya abis ditinggal nikah,” jawab Leo setengah bercanda, tapi tak ada yang tertawa.
Bel istirahat berbunyi.
Nayomi menatap sosok Kaizen dari balik pintu kelasnya. Cowok itu baru saja keluar dari ruang kelasnya sendiri, melangkah cepat menyusuri koridor tanpa menoleh ke arah siapa pun.
Ia akhirnya menyusul.
“Kaizen.”
Langkah Kaizen terhenti. Ia menoleh sedikit, tapi sorot matanya kosong.
“Kenapa?” tanyanya singkat.
Nayomi terdiam sesaat. “Kamu… kenapa dari tadi diem aja?”
Kaizen tidak langsung menjawab. Ia menatap ke arah lapangan sekolah, seolah pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab dengan kata-kata.
“Gak apa-apa,” ucapnya akhirnya.
“Kaizen, kamu gak kayak gini biasanya,” Nayomi mendekat satu langkah. “Kalau ada masalah—”
“Gue bilang gak apa-apa,” potong Kaizen, suaranya tetap datar.
Dan ia kembali berjalan pergi.
Nayomi berdiri terpaku di tempatnya. Perasaan aneh menjalar di dadanya—kesal, bingung, sekaligus sedikit… tersinggung.
Waktu itu aja deketin gue sekarang, Sekarang dingin banget. Emang ya… sifat si Kaizen itu kaya cewek. Gak bisa ditebak. Batinya dengan kesal
Ia menghela napas kasar lalu kembali ke kantin, bergabung dengan yang lain. Namun pikirannya terus tertinggal pada sosok Kaizen yang duduk sendirian di ujung bangku, menatap lantai.
Elara memperhatikan Nayomi yang terlihat murung. “Kenapa, Yom?”
“Gak apa-apa,” jawab Nayomi cepat, meski jelas bohong.
Sementara itu, dari kejauhan, Kaizen melihat mereka—melihat Nayomi tertawa kecil karena sesuatu yang diucapkan Ezra. Dadanya terasa nyeri. Bukan karena marah, tapi karena ia tahu… ia sedang menjauhkan diri dari sesuatu yang sebenarnya ingin ia lindungi.
Ia mengepalkan tangan.
Bukan karena ia ingin berubah.
Tapi karena keadaan memaksanya.
Dan Nayomi—tanpa tahu apa-apa—hanya bisa menebak-nebak, kenapa seseorang yang biasanya hangat, kini berubah sedingin es dalam satu malam.
★★★
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, memecah hiruk-pikuk lorong yang sejak tadi penuh suara keluhan dan tawa siswa. Nayomi berdiri di depan kelasnya, merapikan tas sambil melirik layar ponselnya sekali lagi.
Tidak ada pesan masuk.
Ayahnya memang sudah bilang sejak pagi kalau tidak bisa menjemput hari ini karena ada urusan mendadak. Biasanya Nayomi tidak masalah—kadang naik mobil Keira, kadang ikut Elara. Tapi hari ini Keira sudah dijemput lebih dulu, sementara Elara masih tertahan di kelas karena urusan guru.
Pandangan Nayomi akhirnya tertuju pada satu sosok yang baru saja keluar dari kelas lain di seberang lorong.
Kaizen.
Cowok itu berjalan cepat, wajahnya datar, bahunya tegang seperti menahan beban yang tidak kelihatan. Entah kenapa, Nayomi merasa ragu sesaat. Tapi setelah menarik napas kecil, ia melangkah mendekat.
“Kai,” panggilnya pelan.
Kaizen berhenti, menoleh setengah hati. Tatapannya kosong, jelas bukan tatapan Kaizen yang biasa Nayomi kenal.
“Ada apa?” tanyanya singkat.
Nayomi menelan ludah. “Ayah aku nggak bisa jemput hari ini. Kamu… bisa anterin aku pulang nggak?”
Kalimat itu sederhana. Nadanya juga biasa saja. Tidak ada nada manja, tidak ada paksaan.
Namun entah apa yang terjadi di kepala Kaizen hari itu.
“gue bukan sopir pribadi lo, yang bisa anterin Lo tiap hari." ucapnya dengan keras.
Langkah siswa-siswi yang lalu-lalang langsung melambat. Beberapa kepala menoleh. Beberapa bisik-bisik mulai terdengar.
Nayomi terdiam.
Kaizen, yang sedang diliputi emosi dan frustrasi, tidak sadar—atau mungkin terlalu larut untuk peduli. “Kalau mau dianter, cari orang lain. Jangan selalu ngandelin gue.”
Nada suaranya meninggi. Terlalu tinggi. Terlalu kasar.
Beberapa siswa mulai saling pandang. Ada yang berbisik pelan, ada yang terang-terangan melirik Nayomi dengan tatapan penasaran. Bahkan ada yang sudah mengeluarkan ponsel, entah sekadar melihat jam atau merekam.
Wajah Nayomi memucat.
Dadanya terasa sesak, tenggorokannya seperti tercekat. Ia menunduk sedikit, menahan sesuatu yang mendesak di pelupuk matanya.
“Kalo emang lo nggak bisa…” suara Nayomi terdengar lebih pelan, tapi tetap jelas, “…yaudah. Nggak usah marah.”
Ia mengangkat wajahnya, menatap Kaizen dengan mata yang mulai berkaca-kaca, namun ekspresinya tetap datar.
“Bisa kan, Lo bicara baik-baik.”
Setelah itu, Nayomi berbalik dan pergi. Langkahnya cepat, nyaris setengah berlari, sebelum air mata itu jatuh di hadapan semua orang.
Elara, yang sejak tadi melihat kejadian itu dari kejauhan, langsung tersadar. Tanpa ragu, ia menyusul Nayomi, memanggil namanya pelan sambil mempercepat langkah.
Sementara itu, Kaizen masih berdiri di tempatnya.
Baru sekarang ia benar-benar sadar.
Lorong terasa sunyi, meski penuh orang. Bisik-bisik itu terdengar lebih jelas di telinganya. Tatapan-tatapan itu terasa menusuk. Dan bayangan mata Nayomi yang berkaca-kaca barusan berulang di kepalanya.
Sebuah tangan menepuk bahunya.
Kaizen menoleh dan mendapati Arsen berdiri di sampingnya, wajahnya serius—bukan marah, tapi tegas.
“Seberat apa pun masalah lo,” ucap Arsen pelan namun dalam, “jangan sampai lo ngebentak cewek. Apalagi yang nggak ada hubungannya sama masalah lo.”
Kaizen terdiam.
Dadanya terasa makin berat. Penyesalan itu datang terlambat, tapi menghantam keras.
Untuk pertama kalinya hari itu, Kaizen sadar—
bukan cuma dirinya yang terluka.