Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JANJI LANGIT
Arum masih terduduk di ranjang bersama selimut yang menutupi tubuhnya, air matanya menetes tanpa henti, menumpahkan penyesalan yang tak pernah sempat ia sadari sebelumnya. Hatinya hancur perlahan, seakan setiap detik yang berlalu mengingatkannya pada kesalahan dan kehilangan yang tak bisa diulang. Waktu terasa lambat, namun terlalu cepat baginya—ia baru tersadar ketika semuanya telah terjadi, dan rasa sakit itu begitu nyata.
Di sampingnya, Langit berdiri dengan wajah yang pucat dan mata yang berat oleh rasa bersalah. "Arum... ma-maafkan, aku." Kata-kata itu keluar dengan ketulusan yang mendalam, namun tak cukup untuk menghapus luka yang sudah menggores hati Arum.
"Gak seharusnya kita melakukan ini, Mas!" Lirih Arum, suaranya bergetar di antara isak tangis yang semakin dalam. "Gak seharusnya kamu melakukannya!"
"Tapi Arum, sungguh..." Langit menelan saliva, sementara sorot matanya masih menatap Arum yang memunggunginya. "... Aku melakukannya bukan karena nafsu sesaat, tapi yang aku perbuat sama kamu karena aku terlalu cinta sama kamu, Arum."
Sejenak, Langit tertunduk, menahan napas seolah mencoba meredam gelombang rasa bersalah yang menyesak dadanya. Perlahan, ia mengangkat wajahnya, matanya menatap Arum dari samping dengan campuran ketakutan dan penyesalan. Dengan hati-hati, ia bergerak mendekat. Tangannya meraih punggung Arum, jemarinya menyentuh lembut seakan ingin menyalurkan kata-kata maaf yang tak mampu ia ucapkan dengan kata.
Kini, sentuhan itu hangat, namun penuh getir, seperti janji tak tersampaikan yang berusaha menembus dinding kesedihan Arum.
Arum terdiam, tubuhnya gemetar tipis, namun tak menolak. Keheningan mereka seolah memadat menjadi ruang di mana penyesalan dan permintaan maaf saling bertemu.
"Apapun yang terjadi... aku akan selalu bersama kamu, Arum."
Arum menggeleng seolah tak percaya.
"Sa-sayang..."
Kata itu kini terdengar lebih jelas, menembus hening yang menyesakkan di antara mereka.
"Lihat, aku..." Desak Langit di antara rasa cemas dan takut kehilangan. "Aku mohon... lihat aku, Arum."
Arum, dengan masih terisak, mulai menahan napasnya sejenak sebelum perlahan ia menoleh. Matanya yang sembab menatap lurus ke arah Langit, menelusuri setiap garis rahang tajam pria di dekatnya itu.
"Aku akan tanggungjawab." Ucap Langit, suaranya lirih namun tegas penuh penekanan. "Kamu jangan khawatir, kamu jangan takut, aku... akan selalu bersama kamu apapun yang terjadi."
"Mas..." Suara Arum nyaris tercekat, lembut namun dipenuhi getaran yang menandakan betapa dalamnya perasaannya. Matanya menatap Langit, mencari kepastian di balik janji yang keluar dari bibirnya.
Langit mengusap jemari Arum lagi kali ini lebih lembut, menenangkannya. "Aku tahu apa yang aku lakukan ini adalah kesalahan..." Katanya pelan, lebih kepada penuh kehati-hatian. "... Kamu jangan berpikir aku akan pergi... enggak, sayang!" Gelengnya.
Langit melepas satu jemarinya, lalu ia meraih wajah Arum yang basah oleh air mata. Dengan lembut, ia menyeka tetesan yang masih menempel, jemarinya bergerak perlahan di pipi Arum seakan ingin menghapus setiap jejak penyesalan yang membuat hatinya semakin merasa bersalah. Tatapannya nyaris menembus ke mata Arum. "Aku tulus mencintai kamu, Arum." Lirihnya. "Aku di sini, dan aku tidak akan pernah pergi."
Arum terisak, tubuhnya masih gemetar. Ia tak menolak ketika sentuhan langit yang sederhana dan penuh makna itu, perlahan membuat hatinya sedikit lega. Meski air matanya masih mengalir, dalam keheningan itu, ia bisa melihat ketulusan penuh, ada di mata Langit—mata yang tak mampu menyembunyikan penyesalan, rasa bersalah, dan keinginan tulus untuk menebus semua kesalahan.
Arum menunduk, matanya tertutup seakan ingin menahan segala rasa yang menumpuk, namun hatinya tak sanggup lagi menolak. Sedangkan Langit, dengan hati-hati dan penuh kelembutan, meraih Arum dan membawanya ke pelukan.
Tangannya melingkari tubuh Arum dengan perlahan, seolah ingin memberinya rasa aman. Dadanya yang bidang dan tegap menyentuh samping tubuh kekasihnya, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. Dan, napasnya yang hangat menyapu rambut Arum yang basah oleh air mata. "Aku di sini..." Bisiknya lembut. "...Kamu gak sendiri, sayang."
****