Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP
Cahaya matahari pagi menembus jendela dapur, menerangi sosok Sofia Amara yang tengah sibuk memasak. Meski usianya sudah menginjak 48 tahun, wajahnya tetap cantik, dengan kulit yang masih terlihat kencang dan bercahaya.
Ada sesuatu yang membuatnya tetap terlihat muda—mungkin karena hatinya yang selalu penuh cinta, meski tidak selalu mendapat balasan yang sama.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Padahal, rumah ini memiliki beberapa pembantu, tapi Sofia tetap memilih memasak sendiri.
Bukan karena tidak percaya dengan kemampuan mereka, tetapi karena ia tahu betapa rewel suaminya, anak-anaknya, dan bahkan mertuanya dalam urusan makanan. Jika ada sedikit saja yang kurang sesuai dengan selera mereka, keluhan akan datang tanpa henti.
Namun, pagi ini terasa lebih istimewa bagi Sofia. Ini adalah hari anniversary pernikahannya yang ke-22 bersama Robin, suaminya.
Dengan penuh semangat, Sofia menyusun berbagai hidangan favorit mereka—nasi hangat, sup ayam herbal kesukaan suaminya, omelet keju yang biasa diminta Reno, pancake stroberi yang dulu sangat disukai Mikaila, dan jus detoksifikasi yang selalu diminum oleh mertuanya.
Sofia tersenyum bangga melihat hasil masakannya. Ia berharap, setidaknya hari ini, ada sedikit kehangatan di meja makan. Mungkin Robin akan mengingat hari ini dan mengucapkan sesuatu yang manis. Mungkin anak-anaknya akan lebih perhatian.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Robin muncul lebih dulu, mengenakan jas kerjanya dengan wajah datar seperti biasa. Mikaila, yang berusia 17 tahun, turun dengan rambut sedikit berantakan dan tangan sibuk menggulir layar ponselnya.
Reno, 20 tahun, datang sambil menguap lebar, tampak masih mengantuk. Tak ketinggalan, ibu mertuanya juga tiba, membawa aura kaku yang sudah biasa Sofia rasakan selama bertahun-tahun.
Sofia tersenyum hangat. "Selamat pagi, semua! Sarapannya sudah siap," ucapnya riang, berharap mendapat respons yang lebih baik kali ini.
Namun, seperti biasa, yang ia dapatkan hanyalah anggukan singkat dari Robin, gumaman samar dari Reno, dan tatapan sekilas dari Mikaila sebelum kembali sibuk dengan ponselnya.
Mertuanya bahkan langsung duduk tanpa berkata apa-apa, hanya meneliti makanan di meja dengan ekspresi kritis.
Sofia menarik napas, mencoba menahan rasa kecewa yang mulai mengendap di hatinya. Ia ingin sekali berkata, Hari ini anniversary kita, Robin. Namun, ia menahan diri, memilih menunggu suaminya menyadarinya sendiri.
Dengan harapan kecil yang masih ia genggam, Sofia duduk dan mulai menuangkan teh untuk mereka. Ia hanya ingin hari ini berjalan baik.
Saat suapan pertama masuk ke mulut mereka, keluhan pun mulai berdatangan seperti pagi-pagi sebelumnya.
Robin meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar. "Nasimu terlalu lembek, Sofia. Berapa kali aku bilang aku tidak suka nasi seperti ini?" suaranya datar, tetapi nada ketidaksabarannya jelas terasa.
Reno mengernyit sambil menusuk omelet di piringnya. "Ma, omeletnya kurang bumbu. Terasa hambar," komentarnya tanpa sedikit pun menatap ibunya.
Sementara itu, Mikaila yang duduk dengan kaki terlipat di kursinya, mencicipi pancake dan langsung memutar bola matanya. "Ugh, ini terlalu manis. Aku kan sudah bilang, aku tidak suka yang terlalu manis," keluhnya sebelum mendorong piringnya menjauh.
Sofia menelan ludah, menekan perasaan kecewa yang mulai muncul di hatinya. Namun, seperti biasa, ia hanya tersenyum tipis dan berkata, "Maaf, lain kali Mama akan lebih memperhatikan."
Baru saja ia hendak duduk untuk menikmati sarapannya sendiri, suara dingin Saskia—ibu mertua Sofia—terdengar, membuatnya kembali menegakkan tubuh.
"Sofia, jus detoksifikasiku mana?" tanya Saskia tanpa menoleh, tangannya masih sibuk merapikan serbet di pangkuannya.
Sofia terdiam sejenak, menyadari bahwa ia lupa membuat jus itu. Tapi ia segera bangkit dengan cepat, menutupi kesalahannya dengan senyum. "Maaf, Ibu. Aku akan segera membuatkannya."
Tanpa menunggu jawaban, Sofia bergegas ke dapur. Ia bahkan belum menyentuh makanannya sendiri, tetapi itu bukan hal baru baginya. Bertahun-tahun, ia selalu menempatkan mereka sebagai prioritas utama.
*****
Sofia menghela napas panjang setelah selesai merapikan meja makan.
Setelah membersihkan dapur, akhirnya Sofia masuk ke kamarnya, berharap bisa beristirahat sejenak sebelum menjalani sisa harinya.
Namun, saat wanita itu duduk di tepi ranjang, rasa nyeri kembali menyerang perutnya. Kali ini lebih tajam, menusuk hingga membuat keningnya berkerut. Sofia menekan perutnya, berharap rasa sakit itu segera mereda, tetapi justru semakin menjadi.
Robin, suaminya, sudah rapi dengan pakaian santai, tampaknya bersiap untuk pergi ke suatu tempat. Melihatnya, Sofia berusaha berbicara meski suaranya sedikit lemah.
"Suamiku … perutku sakit sekali. Bisa tolong antar aku ke rumah sakit?"
Namun, sebelum Sofia bisa menyelesaikan ucapannya, Robin langsung memotong. "Hari ini ulang tahun Vanessa. Dia sendirian, dan aku tidak bisa membiarkannya begitu saja," katanya tanpa sedikit pun menatap Sofia, seolah-olah permintaan istrinya tidak ada artinya dibandingkan rencana yang telah ia buat.
Sofia terdiam. Hatinya mencelos mendengar nama itu. Vanessa. Sahabat suaminya.
Sebelum Sofia bisa berkata apa-apa lagi, pintu kamar terbuka. Reno dan Mikaila masuk dengan pakaian kasual, tampaknya siap untuk pergi.
"Pa, kami sudah siap," ujar Reno sambil memasukkan ponselnya ke saku celana.
Sofia menatap kedua anaknya dengan penuh harap. "Mikaila, Reno … perut Mama sakit. Bisa antar Mama ke rumah sakit?" suaranya terdengar lemah, tetapi masih penuh harapan.
Mikaila mendesah panjang, lalu menggeleng dengan ekspresi jengkel. "Mama terlalu berlebihan. Mungkin juga itu cuma sakit perut biasa."
"Iya, lagi pula kita udah janji mau ke tempat Tante Vanessa," tambah Reno tanpa sedikit pun menunjukkan kepedulian.
Sofia menatap mereka satu per satu, berharap ada sedikit belas kasihan di mata mereka. Namun, tidak ada.
Robin meraih kunci mobilnya, lalu menatap Sofia dengan tatapan bosan. "Kalau memang sakit, panggil saja supir. Jangan buat suasana jadi dramatis," katanya sebelum berjalan keluar bersama anak-anak mereka.
Sofia masih duduk di tempatnya, rasa sakit di perutnya kini terasa tak seberapa dibandingkan luka di hatinya. Air matanya menggenang, tetapi ia menahannya. Ia sudah terlalu sering merasa kecewa.
Cukup lama Sofia merenung sambil menahan sakit perutnya seperti biasa, setelah merasa perutnya sudah tidak terlalu sakit. Akhirnya dia beranjak dari ranjang dan melanjutkan aktivitasnya.
Kali ini Sofia masuk ke ruang kerja sang suami, untuk membersihkan ruangan itu. Sang suami Robin sangat tidak suka jika barang-barangnya disentuh oleh orang lain.
Makanya hanya Sofia yang diizinkan untuk membersihkan ruangan tersebut. Terlihat kini Sofia sibuk membersihkan dengan mengelap beberapa buku-buku karena Robin merupakan salah satu Dosen di universitas ternama.
Tiba-tiba Sofia menemukan sesuatu, sebuah flashdisk di balik sebuah buku. Karena penasaran yang tinggi, Sofia merogoh kantong baju dasternya dan mengambil ponselnya.
Sofia kemudian mencolokkan flashdisk tersebut ke ponsel miliknya. Hanya ada satu folder di flashdisk itu yang bernama "My Love" Sofia akhirnya membuka folder itu.
Deg!