Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01. Satu Miliar Untuk Mahar
Suasana sore di rumah besar keluarga Pratama terasa menekan. Di ruang tamu berlangit tinggi dengan lampu kristal yang menggantung megah, aroma teh melati bercampur dengan ketegangan yang kental.
Tuan dan Nyonya Pratama duduk di kursi utama, wajah mereka tegang namun penuh harap. Di hadapan mereka tergeletak sebuah undangan berlapis emas dengan lambang keluarga Argantara.
“Ini kesempatan yang tidak datang dua kali, Asyanti,” ujar Hasna Pratama pelan tapi tegas. “Keluarga Argantara itu bukan keluarga sembarangan. Mahar satu miliar, dan nama kita akan naik di kalangan elit. Kau harus menerima lamaran ini.”
Asyanti yang duduk di seberang mereka menatap ibunya tidak percaya. Wajah cantiknya memucat, dan tangan yang memegang cangkir teh bergetar pelan.
“Ma ... kamu mau menjodohkanku dengan orang itu?” suaranya meninggi, hampir bergetar karena marah. “Dengan pria yang katanya ... impoten?”
Suara tawa kecil lolos dari bibirnya yang merah muda. Tawa getir.
“Untuk apa, Ma? Untuk jadi bahan tertawaan? Semua orang tahu gosip itu! Dia cacat! Apa Mama tega menjual anak kandung sendiri hanya karena uang?”
Tuan Pratama menghempas napas berat.
“Mulutmu jangan seenaknya, Asyanti! Kau bicara seolah kami menjerumuskanmu. Padahal ini peluang! Nama kita akan tercatat di surat pernikahan keluarga Argantara, kau tahu artinya itu?”
“Artinya, aku menikahi pria yang tak bisa menyentuhku!” bentak Asyanti.
Air matanya mengalir deras, bukan karena sedih tapi karena marah.
“Aku menolak, Papa! Sekalipun dunia menawarkanku satu miliar, aku tidak akan mau menghabiskan hidupku dengan pria yang bahkan tidak bisa memuaskan istrinya!”
Suasana membeku, hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak pelan.
Di sudut ruangan, Arum Mustika Ratu berdiri diam. Ia mengenakan baju sederhana warna biru muda, rambutnya dikuncir rendah. Tatapannya kosong, tapi telinganya menangkap setiap kata yang keluar dari mulut keluarga yang membesarkannya.
Asyanti berdiri, menatap Arum dari ujung kepala hingga kaki, lalu mendecih.
“Kalau mereka begitu butuh pengantin wanita, suruh saja Arum! Dia pasti mau, kan, Ma? Dia tidak punya masa depan, tidak punya siapa-siapa. Lagipula, uang itu bisa membayar semua biaya yang sudah keluarga ini keluarkan untuk membesarkannya.”
Kata-kata itu menusuk dada Arum seperti belati. Namun, tidak ada yang membelanya. Bahkan Tuan dan Nyonya Pratama hanya diam, seolah kata-kata itu masuk akal.
“Benar juga,” ujar Hasna akhirnya, suaranya datar. “Kalau Asyanti menolak, maka Arum bisa menggantikan. Lagi pula, oma Hartati tidak meminta gadis bangsawan, hanya gadis yang bersedia menikah dengan Tuan Reghan Argantara.”
Ruang tamu itu hening kembali. Semua mata kini tertuju pada Arum. Gadis itu menarik napas panjang, menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya perlahan, sorot matanya tajam, tapi tenang.
“Baik,” katanya lirih, namun jelas.
“Aku bersedia menikah dengan Reghan Argantara.”
“Asal satu hal,” lanjutnya tegas. “Setelah aku menikah, semua hutang budi yang selama ini keluarga Pratama berikan padaku ... lunas. Aku tidak ingin disebut menumpang, tidak ingin lagi diingatkan bahwa aku ini bukan siapa-siapa, setelah ini, aku bebas.”
Kata-katanya membuat ruangan itu seolah berhenti bernapas. Tuan Pratama menatapnya dengan ekspresi tak percaya, sementara Asyanti tersenyum sinis.
“Lihatlah, Papa, Mama,” ejek Asyanti sambil menyilangkan tangan. “Dia bahkan lebih murah dari yang aku kira. Menjual diri demi uang dan kebebasan.”
Arum menatapnya lurus, tanpa air mata. “Kau benar, Asyanti. Tapi setidaknya, aku tahu apa yang kupilih. Aku menjual diriku ... untuk terbebas dari belas kasihan kalian.”
Setelah itu, keheningan kembali mengisi ruangan. Tak ada yang berani berbicara, hingga akhirnya Tuan Pratama mengangguk pelan.
“Baiklah, kalau itu keputusanmu, Arum. Aku akan menghubungi pihak Argantara. Kau akan mewakili keluarga ini.”
Arum hanya menunduk. Seketika, hatinya terasa kosong. Ia tidak tahu apakah keputusannya benar. Tapi yang jelas, mulai saat itu hidupnya bukan lagi miliknya.
Malam itu, saat semua orang sudah tertidur, Arum berdiri di balkon kamarnya yang kecil. Angin malam mengelus rambutnya, membawa bau bunga kamboja dari halaman belakang. Ia menatap langit, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Ini bukan tentang cinta,” gumamnya lirih. “Ini tentang kebebasan.”
Dan jauh di tempat lain, di rumah megah keluarga Argantara, seorang pria duduk di kursi roda dengan pandangan dingin menatap foto lamanya bersama Alena.
“Wanita datang hanya karena uang,” desisnya lirih, penuh kebencian. Tatapannya tajam, gelap, nyaris tak menyisakan harapan.
Keesokan harinya.
Rumah keluarga Pratama penuh sesak. Mobil-mobil mewah berderet di halaman depan, dan suara tamu berdesir di antara aroma bunga melati yang menghiasi ruang utama. Di tengah ruangan berdiri meja panjang, penuh seserahan, perhiasan emas, kain batik halus, dan koper hitam yang di dalamnya berisi uang tunai satu miliar rupiah. Semua mata menatap pada koper itu bukan pada pengantin perempuan.
“Semua sudah sesuai permintaan Oma Hartati,” ucap salah satu utusan keluarga Argantara dengan nada kaku. “Uang tunai satu miliar rupiah, lengkap dengan perhiasan pengiring.”
Tuan Pratama tersenyum puas serta Hasna, tampak sibuk menyambut para tamu dengan wajah bahagia yang dibuat-buat. Sementara itu, di sudut ruangan, Arum duduk diam mengenakan gaun putih gading sederhana, tanpa riasan berlebihan. Wajahnya pucat, tangannya gemetar memegang buket mawar putih yang disiapkan untuk prosesi.
Dia masih belum percaya bahwa semuanya nyata bahwa dirinya akan menikah hari ini. Suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Suara langkah terburu-buru dari luar, lalu bisik-bisik kecil terdengar di antara tamu.
“Dia datang ... pewaris Argantara itu...”
“Benarkah dia lumpuh?”
“Aku dengar dia tak bisa berdiri lagi sejak kecelakaan itu ... dan katanya dia ... impoten. Kasian sekali hidup Arum habis hanya untuk merawat pria itu,"
Pintu utama perlahan terbuka. Dua pria bersetelan hitam masuk lebih dulu, diikuti seorang wanita tua berwajah tegas, Oma Hartati. Di belakang mereka, seorang pria tampan dengan rahang tegas, mata tajam, dan tubuh tegap meski duduk di atas kursi roda didorong masuk perlahan, dia Reghan Argantara.
Langkah waktu seolah berhenti. Suasana ruangan yang tadi penuh bisik-bisik kini hening total. Semua mata tertuju padanya, pria yang dulu dikagumi, lalu dijatuhkan gosip, kini hadir dengan tatapan dingin yang menusuk udara. Tatapan itu akhirnya berhenti di Arum. Sesaat, pandangannya seperti menelusuri wajah gadis itu, polos, tenang, tapi di balik matanya ada sesuatu yang membuat dada Reghan mengeras dan bergumam lirih.
'Jadi ... ini wanita yang menjual dirinya untuk uang,' gumamnya dingin dalam hati.
Oma Hartati menatap keduanya bergantian, lalu tersenyum lembut. “Mulai hari ini, kau, Reghan, tidak sendirian lagi. Dan kau, Arum, akan menjadi istri sah cucuku. Pernikahan kalian telah kami daftarkan di catatan sipil. Semua sudah resmi.”
Arum menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Terima kasih, Nyonya.”
Namun saat pandangannya bertemu dengan mata Reghan, hatinya bergetar, bukan karena cinta, tapi karena tatapan pria itu terasa tajam, dingin, bahkan menusuk. Seolah kehadirannya adalah sebuah penghinaan.
Reghan memandangi Arum tanpa senyum.
“Jadi, kau wanita yang menerima satu miliar untuk menikah denganku?” ucapnya datar, namun setiap katanya seperti cambuk, semua orang di ruangan itu tersentak.
Arum menelan ludah, mencoba tegar.
“Ya,” jawabnya pelan, tapi tegas. “Karena dengan cara ini, aku bisa melunasi hutang budiku pada keluarga yang membesarkanku.”
Sudut bibir Reghan menegang, membentuk senyum sinis.
“Jujur sekali, setidaknya aku tahu, istriku bukan tipe wanita yang berpura-pura mencintai.”
Oma Hartati menatap cucunya dengan kecewa.
“Reghan!” tegurnya tajam. Namun pria itu tak menoleh, dia hanya mengalihkan pandangan dari Arum, seolah wajah gadis itu tak pantas dilihat lebih lama. Upacara singkat dimulai, hanji pernikahan dibacakan di hadapan penghulu dan para saksi. Semua berlangsung cepat tanpa genggaman tangan, tanpa senyum, tanpa tatapan hangat seperti pengantin pada umumnya.
Sore itu, pesta usai.
Tamu-tamu beranjak pergi, meninggalkan ruangan yang kini hanya berisi suara denting gelas dan langkah pelan. Arum berdiri di ambang pintu, menatap mobil hitam yang siap membawanya menuju rumah keluarga Argantara rumah barunya, rumah suaminya yang tak menginginkannya.
Sebelum masuk ke mobil, Oma Hartati menggenggam tangannya lembut.
“Jangan takut, Nak. Reghan memang keras, tapi hatinya tidak seburuk yang terlihat.”
Arum hanya tersenyum samar. “Saya tidak takut, Nyonya. Saya hanya belum tahu ... bagaimana caranya menjadi istri bagi pria yang tidak menginginkan saya.”
Oma terdiam, dan dari dalam mobil, Reghan hanya melirik lewat kaca, dingin, kaku, seolah dunia di sekitarnya tak berarti.
"Masuk! Atau ku tinggalkan," itulah ucapan dingin lainnya yang Arum dengar, dia pun bergegas masuk setelah pintu mobil dibuka oleh sopir.
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,