“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Angin sore mengusap lembut rambut Davin yang sedikit berantakan. Ia berdiri di sudut paling aman dari rooftop gedung parkir kantor, satu tangan menyelip di saku, dan tangan lainnya menggenggam sebatang rokok yang perlahan membara di ujungnya. Asapnya merayap tipis ke langit yang mulai berubah jingga.
Pandangan Davin jatuh pada arlojinya—detak jarumnya terasa lambat, seolah menunda sesuatu yang telah ia tunggu terlalu lama.
Kesabarannya nyaris habis tepat langkah kaki terdengar dari tangga belakang. Seorang pria muncul dengan keringat bercucuran.
“Pak Davin ...,” Pria itu sedikit menunduk begitu mendekat, lalu mengulurkan sebuah ponsel dengan kedua tangan seperti menyodorkan barang bukti pada atasannya.
“Apa kakimu terluka? Kenapa kau sangat lambat. Aku hampir muak menunggu,” tutur Davin dingin.
“M-maaf, Pak.” Pria itu meneguk kasar ludahnya. “Ini yang saya dapatkan, Pak,” ucap pria itu dengan suara lirih, wajahnya ketakutan.
Davin mengangkat alisnya, mengambil ponsel itu tanpa tergesa. Ia menekan layar, memutar video pertama. Pandangannya tajam, bibirnya mengerucut tanpa ekspresi. Beberapa detik berlalu, lalu ia menghela napas pendek.
Orang kepercayaan Elan itu membuang puntung rokok ke lantai beton, menginjaknya perlahan. Ia memandangi pria di hadapannya sekilas, pandangannya tenang—namun tajam seperti pisau dapur yang baru diasah.
“Hanya segini aja? Wajah mereka bahkan hanya seperti siluet.” Tanyanya tanpa menoleh, suaranya datar namun dingin.
Pria itu mengangguk cepat, tangannya gemetar ringan. “Saya akan coba ambil lagi yang lebih jelas, Pak. Tapi ... Saya sedikit kesulitan. Tempatnya tidak begitu luas, saya takut ketahuan.”
“Apa itu menjadi urusan ku?” sinis Davin.
Kemudian, Davin menyelipkan kembali ponsel tersebut ke saku jas pria itu. Ia menepuk-nepuk pelan lengannya, lalu menyeringai tipis. “Kau pasti tau, kan? Aku sangat benci mengulang-ulang pekerjaan. Jika kau masih tak becus, aku sendiri yang akan menendangmu keluar dari perusahaan ini. Kau ingat bukan—kesalahanmu sangat fatal di perusahaan ini. Hanya saja, aku masih berbaik hati dengan mempertahankan posisi mu di sini. Apa, kau sedang menguji kesabaranku?”
Pria itu tersentak, cepat-cepat berlutut pada sosok yang turut memiliki kuasa di anak perusahaan milik keluarga Elan. “S-saya akan mencobanya kembali. M-maafkan saya, Pak Davin.”
“Aku benar-benar hampir kehabisan waktu. Kali ini, kerjakan dengan benar. Kalau tidak, kau sendiri yang akan menyesal.”
...****************...
Beban di punggung Harry kian berat sejak insiden pentungan Bu Romlah jadi bahan pembicaraan warga satu kompleks. Tak hanya nama baik keluarganya yang tercoreng, kini ibunya, Bu Syam, justru menuntut lebih.
“Ibu nggak mau tau, cari sampai dapat itu duit, Har. Kalau nggak dapet, mending Ibu mati aja. Bu Romlah udah koar-koar ke sana-sini, Ibu malu, Harry. Masa kamu tega lihat Ibu dipermalukan terus?” desaknya pagi-pagi sekali.
“Belum lagi si Rizal—dia benar-benar hilang bak ditelan bumi, kita dikadalin habis-habisan. Kalau aja Dwi nggak nerima hadiah dari si Rizal, nggak akan kita di kira komplotan sama itu maling. Mana adikmu cuma bisa menangis di kamar, padahal semua malapetaka ini—jelas karena kebodohannya yang nggak mampu menilai pria yang dikencaninya. Bukannya bawa keuntungan—malah boncos!” sambung Bu Syam murka.
Harry hanya mengangguk lemah, menahan helaan napas yang tercekat. Pikirannya sudah ruwet. Semalam ia sudah mencoba meminjam lebih banyak dari Puspa, kekasih gelapnya. Tapi, di luar dugaan—Puspa malah mengaku kalau tabungannya sudah habis untuk membantu proyek kuliah adiknya.
“Aku coba bicara ke Papa, ya. Mudah-mudahan, Papa mau minjemin aku uang,” janji Puspa semalam, “Tapi ... aku nggak bisa janji ya, Mas.”
Harry menghela napas kala teringat ucapan Puspa semalam, lalu ia menghisap batang rokoknya dalam-dalam. Dia tau, dia tak bisa menunggu janji yang belum pasti. Apalagi, sang ibu sudah merengek tak karuan.
“Kamu minta duit lah sama Si Hina itu, dia kan udah bekerja. Masa iya nggak mau bantu keluarga suami yang lagi ketimpa musibah? Nggak bener emang.” Bu Syam menggeleng sinis.
“Iya, Bu, iyaaa. Nanti Harry coba lagi, ya ....”
.
.
Cafe yang terletak di seberang SW Group, terdengar riuh oleh tawa dari meja pojok, tempat Ara dan teman-teman lamanya berkumpul.
Ara pernah berjanji akan mentraktir teman-temannya jika sudah memiliki waktu luang, dan inilah waktunya. Apalagi, gaji dari pekerjaan sampingannya—menulis novel, kembali cair.
“Dulu kalian inget nggak? Setelah Pak Elan lulus, Ara jadi peringkat teratas di kampus. Paling jago, nilainya sempurna. Tapiiii, ada satu kekurangannya ....” Dicky menggantungkan ucapannya, seolah menggoda Ara.
Semua mata memandang Dicky serius, menunggu kelanjutannya.
“Apaan? Pake digantung-gantung segala lo, Dick!” omel Bondet, pria berbingkai kacamata minus empat.
“Tau nih!” timpal Danang tak sabar.
“Ara selalu lupa bawa charger laptop!” celetuk Dicky.
Yusuf, pria dengan tubuh sedikit berisi—tergelak sambil menepuk-nepuk meja. “Iya bener! Hampir tiap hari, kerjaannya keliling kayak debcol—demi nyanting charger doang!”
Ara yang menyimak, pura-pura manyun. Padahal, dirinya sedikit terhibur setelah bercengkrama dengan beberapa teman kampusnya dulu.
Mereka kembali melanjutkan cerita demi mengenang masa-masa dulu yang penuh semangat.
Ara mendengarkan dengan senyuman ceria.
“Ar, ini seriusan kita-kita ditraktir?” tanya Yusuf ragu. “Banyak loh ini pesenan kita-kita.”
“Iya, nih. Ntar habis duit lo, Ar,” timpal Bondet.
“Seriussss, gue traktir. Mau nambah lagi juga monggoooo. Asal jangan tiap hari aja,” kelakar Ara.
Semuanya tertawa.
“Santai aja kalian. Jangan ngeremehin gaji asisten pribadi CEO dong,” Dicky terkekeh.
Mereka kembali tertawa, kali ini lebih riuh. Sampai-sampai, mereka tidak menyadari—sejak tadi, seseorang menguping dalam diam di meja paling depan—dengan wajah merah padam.
Sampai akhirnya ....
“Asisten pribadi CEO?” tanya orang itu dengan suara dingin dan ketus.
Semuanya menoleh, termasuk Ara. Wanita itu tersentak.
“Mas Harry?!” Ara lekas berdiri.
Ara hendak menghampiri—namun, perkataan Harry selanjutnya membuat kakinya bak terpaku di atas lantai.
“Kamu lagi cosplay jadi ratu lebah yang di kelilingi para lebah jantan ya, Ar? Murahan sekali. Bahkan, lonte jauh lebih mahal,” hardik Harry.
“Santai, Bro. Jangan nggak ada adab gitu,” Dicky masih ingat siapa sosok yang tengah marah-marah kini. Sosok yang pernah duduk bersanding di pelaminan dengan temannya dulu. “Lagian, kayak tau aja harga lonte. Pengalaman ya?”
“Jaga mulut lo, jangan ikut campur!” Telunjuk Harry mengacung tegas ke arah Dicky.
“Mulut gue tergantung lo nya aja. Lo sopan, kita-kita segan!” Dicky tak gentar.
Harry mendengus muak, ia mengalihkan pandangannya.
“Sangking pelitnya kamu, sanggup kamu berbohong sama aku ya, Ar?!” Harry mulai menghakimi.
“Bohong apa?” Ara mengernyit—tak mengerti.
“Bohong apa? Masih bisa kamu nanya? Kamu bohongin aku, Ara. Kamu bilang kamu kerja di Toserba, tapi ... apa-apaan ini? Asisten pribadi CEO? Di SW group pula!” dada Harry mulai kembang kempis.
“Lho, kapan aku bicara begitu? Kamu sendiri yang ngoceh kemana-mana kalau aku ini hanya buruh Toserba. Padahal, kamu nggak pernah nanyain langsung—di mana aku bekerja.” Sahut Ara santai sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Harry membuang wajah, jelas ia malu dan juga semakin kesal—namun, ia berusaha untuk tak menunjukkan. Beberapa detik kemudian, ia kembali menatap Ara—lebih sinis, lebih dingin.
“Kamu tau kan, keluarga ku lagi kena musibah? Kamu harusnya bantu, Ar. Bukannya malah menghambur-hamburkan uang untuk mentraktir cecunguk-cecunguk ini!” bentak Harry kesal.
“Siapa yang lo panggil cecunguk?” Bondet tak terima.
“Ya, lo-lo pada lah!” Harry berkacak pinggang, wajahnya benar-benar sengak.
“Harry, cukup—” Ucap Ara menahan malu.
“Cukup? Kenapa? Malu ya? Makanya, jangan bakil! Kamu tega ya ngebuat ibu aku banyak pikiran?! Kalau sampai terjadi apa-apa sama ibuku, ini semua salah kamu, Ara!” Suara Harry melengking, membuat pengunjung lain melirik tak nyaman.
Sampai-sampai, pemilik cafe pun akhirnya datang. “Maaf, Pak. Kalau mau teriak-teriak, silakan di luar. Ini tempat makan, bukan panggung drama.”
“Jangan ikut campur kamu?!” Harry menepis tangan si pemilik cafe, namun dihalau sopan.
“Jelas saya berhak ikut campur. Anda membuat keributan di tempat usaha saya. Mengganggu para pelanggan tetap kami. Silahkan Anda keluar, jangan buat keributan di sini.”
“Pelanggan tetap? Heh! Saya di sini juga sebagai pembeli. Kamu yang sopan dong! Jangan sampai nggak saya bayar itu makanan yang udah saya pesan!” Harry masih juga angkuh.
“Bilang aja gak punya duit,” celetuk Bondet.
Bola mata Harry seketika mendelik. “Apa lo bilang? Harga diri lo juga—mampu gue bayar!”
“Sudah—sudah. Saya tidak peduli, mau Anda bayar kek—mau enggak. Silahkan, Anda angkat kaki dari sini.” Sang pemilik mengarahkan telapak tangannya ke arah pintu.
Wajah Harry memerah karena malu, tapi, ia tak punya pilihan. Ia meninggalkan cafe sambil menendang bangku kosong.
Sedangkan Ara, ia masih terpaku di tempat—pipinya panas karena malu.
“Lo gapapa, Ar?” tanya Dicky khawatir.
“Gapapa, santai aja. Gue udah biasa di giniin, cuma kali ini—beda pelaku aja,” lirih Ara sedih. Namun, berusaha tegar.
Ara menatap punggung Harry yang semakin menjauh.
‘Mas, aku bener-bener udah nggak sanggup lagi ngejalanin hidup bareng kamu! Mungkin, dengan kamu kehilangan—suatu saat kamu bisa sadar betapa berharganya aku.’
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭