"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
...****************...
Setelah latihan selesai, aku duduk di bangku pinggir arena, melepas sepatu skate sambil menghela napas panjang. Begitu kaus kaki kulepas, mataku langsung menangkap warna kebiruan di lututku.
"Astaga…" Aku menggerutu pelan, menyentuhnya sedikit. Perih.
"Ya ampun, itu pasti gara-gara jatuh tadi! Sakit gak?" Maya langsung mendekat, ikut melihat memarku.
"Gak terlalu, cuma ngilu dikit," balasku santai, meskipun sebenarnya agak nyut-nyutan.
Maya menatapku curiga. "Kau yakin gak ada yang bikin pikiranmu kacau?"
Aku diam sebentar. Harusnya aku jawab ‘gak ada’, tapi ya… aku tahu pasti penyebabnya. Arsen.
Dan kejadian tadi pagi.
Aku menggeleng cepat, berusaha mengusir pikiran itu. "Gak ada. Aku cuma kurang fokus aja. Udah lama gak jatuh separah ini."
Maya masih kelihatan ragu, tapi dia gak maksa aku buat cerita lebih jauh.
Aku bangkit, menggantung tas di bahu. Lututku masih agak nyeri, tapi gak sampai bikin aku susah jalan. "Aku pulang duluan, besok latihan lagi."
"Mau kuantar?"
"Gak perlu, aku naik taksi aja," tolakku sambil tersenyum tipis.
Maya mendesah pelan. "Yaudah, hati-hati. Jangan banyak mikirin hal yang gak perlu."
Aku mengangkat tangan, mengisyaratkan ‘oke’ sebelum berjalan keluar arena.
Tapi dalam hati, aku tahu satu hal. Aku harus lebih fokus. Aku gak boleh terus kepikiran pria itu.
Aku harus melupakan Arsen.
...****************...
Begitu sampai di apartemen, aku langsung melempar tas ke sofa dan menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Badanku capek, tapi pikiranku masih penuh. Aku butuh tidur, atau setidaknya hiburan kecil sebelum tidur.
Tapi rencana itu langsung buyar saat ponselku bergetar di atas nakas. Aku meraihnya, berharap itu bukan sesuatu yang bikin kepalaku makin berat.
Dan ternyata… aku salah berharap.
Arsen Ludwig.
Aku mengerjapkan mata. Kenapa dia tiba-tiba menelepon? Bukankah tadi pagi dia yang bersikap aneh? Aku sempat ragu mau mengangkatnya atau tidak, tapi akhirnya aku menyerah.
"Halo?"
"Kau setuju ikut event di Milan?" suara Arsen langsung terdengar di seberang sana, datar seperti biasa, tapi ada nada heran di dalamnya.
Aku mengerutkan kening. "Dari mana kau tahu?"
"Coach-mu meneleponku tadi."
Aku menghela napas, mendadak merasa sedikit jengkel. "Ya Tuhan, kenapa dia gak bilang dulu ke aku kalau mau lapor segala?"
"Jadi kau menyesal setuju?"
Aku memutar bola mata. "Bukan gitu. Aku memang mau ikut, tapi gak nyangka aja coach langsung kasih kabar ke kau duluan."
Arsen diam sebentar sebelum akhirnya bersuara lagi. "Kapan kau bisa datang ke kantorku? Kita harus membahas detail acara ini."
Aku mendesah pelan. "Besok aku latihan sampai sore, jadi setelah itu mungkin aku bisa mampir."
"Baik. Aku akan menyuruh asistennya menyiapkan semuanya."
Aku mengangguk, meskipun dia jelas gak bisa melihat. "Oke, kalau gitu aku tutup dulu. Aku capek."
"Hm." Itu jawaban terakhirnya sebelum panggilan terputus.
Aku melempar ponsel ke kasur dan menatap langit-langit. Jadi, aku benar-benar bakal ke Milan…
Dan itu artinya aku bakal lebih sering berurusan dengan Arsen.
...****************...
Aku berdiri di depan gedung tinggi dengan logo Ludwig Fashion Empire terpampang di bagian atas. Setelah parkir, aku turun dan berjalan masuk. Resepsionis langsung menyapaku dengan ramah.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Aku ada janji dengan Arsen Ludwig," jawabku.
Resepsionis itu mengecek komputer sebentar sebelum tersenyum. "Silakan naik ke lantai 20, ruangannya ada di ujung koridor."
Aku mengangguk lalu berjalan ke lift. Begitu sampai di lantai 20, aku keluar dan melihat koridor elegan dengan dinding kaca. Di ujung sana ada pintu besar dengan nama Arsen Ludwig. Aku mengetuk pelan sebelum mendorong pintu dan masuk.
Arsen berdiri di dekat jendela besar dengan pemandangan kota di belakangnya. Dia pakai kemeja putih dengan lengan tergulung sampai siku, kelihatan lebih santai dari biasanya. Dia menoleh begitu mendengar suara pintu.
"Kau datang tepat waktu."
"Tentu saja. Aku bukan tipe yang suka telat," balasku.
Dia berjalan ke mejanya dan mengambil beberapa dokumen sebelum duduk. "Duduklah."
Aku menarik kursi dan duduk di depannya. "Jadi, apa yang mau kita bahas?" tanyaku.
Dia menyodorkan sebuah berkas ke arahku. "Ini tentang acara di Milan. Aku ingin kau ikut sebagai model untuk koleksi terbaru kami."
Aku melirik dokumen itu dengan alis terangkat. "Model?"
"Bukan model catwalk, tapi model untuk koleksi pakaian figure skating. Kau akan pakai gaun desain terbaru dan melakukan beberapa sesi pemotretan serta pertunjukan kecil," jelasnya.
Aku membaca sekilas dokumen itu. "Jadi aku gak cuma datang sebagai atlet, tapi juga bagian dari fashion show ini?"
"Benar. Ini kesempatan bagus buatmu. Kau bisa memperluas koneksi dan mungkin dapat sponsor lain," katanya.
Aku diam sebentar, mempertimbangkan. Ini memang sesuatu yang baru, tapi juga gak ada ruginya. "Baiklah, aku setuju," putusku akhirnya.
Dia mengangguk. "Bagus. Kita berangkat dua minggu lagi. Asistenku akan urus tiket dan akomodasi."
Aku menyandarkan punggung ke kursi. "Serius? Dua minggu lagi? Cepat banget," protesku.
"Semakin cepat, semakin baik."
Aku menghela napas. "Baiklah, kalau gitu aku harus bersiap-siap."
Aku bangkit dari kursi, bersiap pergi, tapi suara Arsen menahan langkahku.
"Sienna."
"Apa?" tanyaku, menoleh.
Dia menatapku, ekspresinya sedikit berbeda—lebih serius. "Tentang tadi malam… Aku minta maaf."
Aku langsung tahu maksudnya. Sial, kenapa dia harus nyebut itu?
Aku berdeham pelan, berusaha mengabaikan rasa aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku. "Lupakan aja. Aku gak mau bahas," kataku cepat.
Dia menatapku beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Baik."
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung keluar dari ruangannya. Tapi bahkan setelah pintu tertutup di belakangku, jantungku masih berdebar lebih cepat dari biasanya.
.
.
.
NEXT👹