Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luna sakit
Setelah dijemput oleh Arin, Luna pun langsung masuk dan tidur. Tidak ingin memikirkan banyak hal.
Di dalam kamar.
“Sayang, aku buatkan bubur untukmu.” Arin pun segera masuk dan langsung memberikan bubur itu kepada Luna.
“Letakkan di situ, aku masih kenyang. Kamu keluarlah aku ingin istirahat,” jawab Luna tanpa menatap lawan bicaranya.
“Lun, bubur ini masih hangat, aku akan membantumu bangun untuk menyuapinya.”
“Pergilah!” Dengan suara sedikit meninggi, Laluna pun meminta Arin untuk keluar.
Alih-alih ingin memberikan sedikit perhatian kepada Luna, tetapi siapa sangka. Jika wanita tersebut justru menolak makanan dari suaminya. Akhirnya dengan berat hati Arindra keluar dan membiarkannya sendiri.
Di ruang tengah.
“Mas, bagaimana keadaan bu Luna?” tanya Emilia.
“Dia menolak bubur yang kubuatkan.” Jawab Arin.
Usai mendengar perkataan Arindra, Emi pun berdiri dan berniat untuk melihatnya sendiri. Namun, langkahnya dicegah oleh Arin.
“Em, biarkan Luna sendiri. Terlebih dia butuh istirahat yang cukup banyak,” cegah Arin.
“Aku hanya khawatir kepada bu Luna.” Jawab Emi.
“Dia akan baik-baik saja, biarkan sendiri dan beristirahat.”
Emilia pun mendengarkan ucapan Arin, mengurungkan niatnya untuk menemui Luna di kamarnya.
Di dalam kamar.
“Mas, semakin kamu peduli denganku, semakin membuatku tersiksa.” Luna hanya bisa menangisi nasibnya sendiri di dalam kamar. Namun, pikirannya tetap buntu walau sekadar untuk memutuskan apa yang harus diambilnya.
“Semakin aku memperjuangkan dia, kenapa rasanya sangat sakit.” Lagi, dengan wajah pucat, mata sembab. Luna merasa benar-benar berada di ujung jurang.
Untuk sesaat, terdengar seseorang tengah membuka pintu. Membuat Luna mengusap air matanya dan menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut.
“Ternyata bu Luna tidur,” gumam Emilia.
Tanpa sepengetahuan Arindra, Emi datang ke kamar tamu secara diam-diam. Ia merasa jika semenjak dirinya tinggal di rumah Luna, mantan gurunya tersebut lebih sering memilih untuk menyendiri.
"Bu, aku tahu ibu terus berusaha menutupi luka itu. Aku bukan lagi anak kecil, jika ini semua semakin menyakitkan. Aku bisa pergi, pergi sejauh mungkin dari hidup kalian."
Emilia pikir Luna benar-benar tidur, Emi pikir jika Luna tak akan mendengar suaranya. Siapa mengira jika dibalik selimut air mata Luna semakin berderai.
"Aku tahu aku salah, bu. Tapi aku juga tidak bisa menahan perasaanku pada mas Arin, aku tidak tahu caranya untuk menghilangkan nama dia." Dibalik suara itu, ada air mata mengiringi perasaan Emilia yang sama-sama sakitnya.
Ketika Emi berdiri menatap sosok mantan gurunya itu walau wajahnya tak terlihat. Namun, Emi masih berharap jika Luna memintanya pergi agar keduanya bisa memulai kembali sebuah hubungan.
"Bu, katakan padaku, jika ibu menginginkan aku pergi maka aku akan—."
"Tidak Emi, aku mohon ... tetaplah tinggal dan jangan pergi dari mas Arin lagi."
Siapa sangka, yang ada dipikiran Emi jika Luna lelap dalam tidurnya, ternyata itu semua salah dan mantan gurunya mendengar apa yang diucapkan olehnya.
"Bu, Ibu mendengarnya?"
"Em, kamu bukan ibu. Kamu tak akan tahu apa yang aku ibu inginkan sekarang, tetaplah bertahan."
"Bu, Ibu bahkan berusaha baik-baik saja. Nyatanya hati Ibu sedang terluka! Kenapa harus membohongi diri sendri kenapa!"
"Maka jadilah ibu sebentar saja. Maka kamu pun akan melakukan hal yang sama seperti yang ibu lakukan!" sahut Luna dengan beruraian air mata.
Keduanya terjebak dan sulit untuk keluar, bahkan Luna sendiri masih terus mempertahankan seseorang yang sudah menduakannya.
"Aku tidak mau Ibu semakin tersiksa dengan kehadiranku," ucap Emi dengan lirih.
"Maka biarkan ibu yang mengambil alih, teruslah berjalan semestinya karena ini semua atas pilihan ibu sendiri."
"Apa yang diinginkan Ibu adalah untuk tetap hidup bertiga? Apa hati Ibu benar-benar mampu untuk menahan resikonya?"
Luna terdiam, selama ini ia bertahan hanya untuk memastikan jika suaminya tak lagi memiliki rasa peduli kepadanya. Namun, semakin Luna bertahan, ia semakin terbuai oleh sandiwara.
"Sudah tak ada lagi yang perlu dibahas. Keluarlah karena kepala ibu terasa pusing," pinta Luna.
"Baik, aku akan keluar."
Emilia sudah keluar, untuk sejenak. Ia pun menatap mangkuk tersebut dan air matanya semakin deras. "Bahkan aku hanya dijadikan sebuah persinggahan, tapi kenapa aku terus berusaha menahannya." Luna memukul dadanya berulang kali, rasa sesak di hatinya.
Di tempat lain.
"Paman, apa kamu menyukai Luna?" Untuk kedua kalinya Aruna bertanya perihal perasaannya terhadap sahabatnya—Luna.
"Runa, kamu jangan gila. Pamanmu ini bukan orang gila yang mengejar istri orang," jawab Aroon dengan kesal.
"Paman bohong, selama aku tinggal dengan dengan Paman, tidak ada wanita yang Paman perlakukan seperti Luna."
Pada akhirnya semua akan ketahuan juga, tetapi bagi Aroon itu satu hal yang mustahil untuk dicapai. Walau semuanya bisa didapatkan dengan mudah.
"Apa kamu pikir Luna itu barang! Runa, dia memiliki suami. Bagi paman itu sungguh mustahil," sangkal Aroon yang terus menutupi perasaannya terhadap Luna.
"Bagaimana jika dia bercerai dari suaminya itu? Apa Paman akan memperjuangkannya," ujar Aruna.
Mendapat desakan dari sang keponakan, membuat Aroon benar-benar merasa terjebak. Munafik jika tidak menyukainya, tetapi ia juga tidak mungkin mencintai wanita bersuami.
"Aruna, itu urusan paman. Kenapa kamu terus mendesak dan meminta untuk mengakuinya, kamu tahu. Tindakanmu ini sedikit keterlaluan."
"Itu karena aku sudah mengatakan kepada Arindra untuk melepaskan Luna, terlebih ada lelaki yang menyukai istrinya dan dia juga tidak pantas mendapatkan wanita berhati malaikat sepertinya."
Aroon pun langsung mengusap pelipisnya. Ia rasa jika Aruna terlalu ikut campur pada urusan orang. Terlebih terus saja menjodohkannya dengan Luna, yang jelas-jelas dia sudah memiliki suami.
"Aku pergi, jika terus berada di sini bersamamu. Bukannya lebih baik justru membuat suasana mengeruh," ucap Aroon seraya tangannya meraih kamera.
"Paman tunggu, Paman!"
Sayangnya, teriakan Aruna tidak digubris oleh Aroon.
Merasa sendiri di ruang keluarga, akhirnya Aruna pun ikut bangkit dan mengosongkan ruang tersebut.
Tidak terasa, waktu pun begitu cepat dan Luna sudah sembuh dari demamnya juga setelah beristirahat beberapa hari ini. Sikapnya pagi ini membuat Arindra serta Emi menatap tidak percaya. Bahkan ia juga yang menyiapkan menu sarapan pagi untuk mereka.
Semua sudah tertata rapi, waktunya untuk memanggil Emi dan Arin. “Emi, kita sarapan! Mas, waktunya sarapan.”
Dengan dipenuhi tanda tanya karena tidak seperti hari-hari sebelumnya, Namun, Arindra dan Emilia pun tetap datang untuk sarapan.
“Bu, ada acara apa ini? Kenapa di meja makan banyak menu istimewa,” ujar Emilia ketika sadar jika di atas meja bukan hanya satu atau tiga menu saja.
Kali ini Arindra yang bertanya dengan tatapan heran, meski mereka kerap makan makanan enak, tetapi tidak seperti sekarang.
“Tunggu, ada apa dengan istriku? Kenapa pagi ini dia membuat begitu banyak menu?” batin Arindra.
“Sayang, tumben?” tanya Arin dengan sedikit memberanikan diri.