Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
INTERAKSI MENDALAM
"Apakah rasanya, jauh dari seleramu?" tanya Hadwin sambil mengerutkan wajah. Ia menunggu jawaban Briela dengan harap-harap cemas.
Briela masih sibuk mengunyah daging dalam mulutnya, ia sama sekali tidak memuntahkan daging itu. Seharusnya tidak ada masalah, tetapi Briela yang belum memberi Hadwin jawaban tentu saja membuat pria itu kepikiran.
Hadwin selalu percaya diri dalam melakukan apapun, namun saat bersama Briela sepertinya semua kepercayaan diri itu menguap. Ia selalu mendahulukan pendapat Briela.
Begitu selesai menelan dagingnya, Briela siap untuk menjawab. Namun Hadwin menghentikannya, pria itu meminta Briela berhenti berbicara karena gugup. Hadwin meneguk air mineral dalam gelasnya.
Briela kebingungan, namun hasratnya untuk mengomentari steak daging yang baru saja ia telan jauh lebih besar dari rasa bingungnya.
"Steak daging ini lezat sekali. Dari mana kau membelinya, Hadwin? Bisakah kau merekomendasikannya? Teksturnya yang lembut dipadukan kematangan yang pas. Juga rasanya, benar-benar sempurna." Briela memberi pujian dengan matanya yang berbinar-binar. Senyuman puas juga mengembang di wajahnya.
Kali ini Hadwin yang kebingungan, semula ia menyangka jika Briela tidak menyukai masakannya. Namun ternyata, ia salah sangka. Mata Briela yang berbinar, juga kalimatnya yang terdengar antusias menunjukkan betapa jujurnya wanita itu.
Hadwin tersenyum kecil, jantungnya berdegup kencang bagai kuda hitam dalam pacuan.
"Hei— kenapa diam saja. Aku bertanya padamu. Aku sungguh menyukai cita rasa dari steak daging ini. Bisakah kau merekomendasikannya?" Briela kembali mengulang pertanyaannya.
"Aku membuatnya sendiri, Brie. Syukurlah kalau kau menyukainya."
"Apa?" Briela mengonfirmasi pendengarannya, lalu terkekeh. "Hei— jangan bercanda!" Briela menertawakan ucapan Hadwin, mengira jika yang diucapkan pria itu hanyalah omong kosong belaka.
Hadwin diam, wajahnya setenang air dalam kolam tanpa ikan. Briela mengehentikan tawanya yang mulai sumbang. Ekspresi Hadwin bukanlah ekspresi yang ditunjukkan oleh orang yang baru saja tertangkap basah karena sedang berbohong.
"Serius?" Briela mencoba memastikan tidak ada kebohongan dalam jawaban Hadwin. Dan Hadwin hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
Briela tersenyum kecut, rasa malu mulai merayapi wajahnya. Malu akan tuduhannya. Juga malu perihal ia yang kalah telak oleh Hadwin. Jika itu Briela, memasak mie instan saja sudah dipastikan tidak akan bisa untuk dimakan.
"Lain kali aku akan memasak menu lain, agar kau percaya," kata Hadwin begitu melihat ekspresi Briela.
"Hm, aku akan menantikannya." Briela kembali memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya. Dan nikmat yang sama kembali ia rasakan.
Briela menghabiskan steak daging dan salad sayur miliknya hingga tandas. Perutnya serasa ingin meledak. Rasa nikmat yang diterimanya dari masakan Hadwin benar-benar membuat Briela kalap, hingga akhirnya kekenyangan.
"Terima kasih atas makanannya, lihatlah perutku sudah sebesar ini. Seperti ada bayi di dalamnya."
Hadwin membelalak. "Bayi?" Telinga Hadwin memerah.
"A-aku hanya asal bicara." Briela berdiri dan membawa piring kotornya menuju wastafel dapur.
Hadwin menyusul Briela, ia membawa serta piring kotor dan gelas miliknya. Menghentikan niat Briela yang akan mencuci piring.
"Tidak perlu mencucinya, Brie. Kita punya mesin pencuci piring." Hadwin mengambil piring dari tangan Briela. Jemarinya menyentuh punggung tangan Briela.
Sentuhan tak sengaja yang mematik perasaan menggelitik dan hangat bagi Hadwin. Telinganya kembali memerah.
Briela sontak menarik dirinya menjauh. Wanita itu mengamati, betapa telaten dan cekatannya pria yang berstatus suaminya itu saat menata piring dan peralatan dapur yang kotor ke dalam mesin pencuci.
"Kalau begitu, aku akan membersihkan lantai." Briela mengedarkan pandangannya, mencari lokasi penyimpanan alat kebersihan.
"Tidak perlu, Brie. Ada robot pembersih yang nanti akan membersihkan lantai." Lagi-lagi Hadwin menghentikan Briela melakukan pekerjaan rumah.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan di sini?"
"Tidak ada, kau bisa bersantai sepuasmu. Aku yang akan melakukan pekerjaan rumah. Atau jika ingin bekerja, kau bisa mengerjakan pekerjaan kantormu." Hadwin menangkap ekspresi kecewa di wajah Briela. "Aku terbiasa melakukan ini semua, jadi jangan terlalu merasa terbebani. Atau lain kali kita bisa melakukan sesuatu bersama agar kau merasa lebih baik."
"Baiklah. Kalau begitu lebih baik aku fokus pada pekerjaanku." Briela beranjak, meninggalkan Hadwin yang menatap punggungnya.
Setelah menghilang beberapa saat dari balik pintu, Briela kembali keluar dari kamarnya dengan menentang sebuah laptop dan buku sketsa serta tak lupa ia membawa alat tulis.
Briela duduk di sofa, beberapa kali wanita itu mencoba mengecek email-nya. Briela membenarkan kaca mata anti radiasi yang selalu menjadi andalannya. Beberapa waktu berlalu dan Briela masih berkutat dengan laptopnya.
Hadwin menyusul Briela, duduk di sofa samping Briela begitu ia meletakkan piring berisi potongan buah apel. Segelas jus tomat juga Hadwin letakkan di samping piring buah.
Briela hanya menganggukkan kepala begitu Hadwin menawarkan jus dan buah apel itu pada Briela. Mata Briela sama sekali tidak beralih pada layar laptopnya.
Hadwin diam-diam memperhatikan Briela. Briela menutup laptopnya. Wanita itu mendongak pada Hadwin sejenak, lalu fokusnya beralih pada buku sketsa. Briela membuka buku itu.
Beberapa gambar desain berhasil Hadwin lihat saat jemari lentik Briela membalik lembar kertas dalam buku sketsanya.
Briela mulai menggambar sketsa desain pakaian, idenya yang muncul perlu untuk Briela tuangkan dalam bentuk gambar.
Hadwin lagi-lagi memperhatikan apa yang Briela lakukan. Sedangkan Briela, ia terlalu sibuk untuk tahu apa yang dilakukan Hadwin sejak tadi.
Briela tampak mahir memainkan pensilnya di atas kertas. Meliuk-liuk bagaikan penari balet. Sebuah desain telah berhasil Briela gambar.
Briela mendongak dan lagi-lagi ia mendapati Hadwin yang menatapnya. "Kenapa kau masih disini?" Briela menyuapkan sepotong buah apel ke dalam mulutnya. Mengunyahnya pelan, lalu kembali berkata. "Lupakan pertanyaanku sebelumnya! Apa kau tidak memiliki pekerjaan?" Briela terdiam sejenak meresapi kalimatnya sendiri. "Ini juga tidak benar— " Briela berucap lirih. "Ah, sudahlah! Lupakan saja!"
Sebuah panggilan telepon yang terdengar dari ponsel Briela mengejutkan semua orang. Sekertaris Briela menelepon untuk mengonfirmasi jadwal yang tertunda di hari Sabtu kemarin. Briela menyerahkan semuanya pada sekertarisnya. Ia akan siap untuk menggantikan jadwal yang tertunda pada Senin besok. Briela menutup telepon.
Briela kembali memasukkan potongan apel ke dalam mulutnya.
"Aku rasa tadi kau membuat sketsa desain. Apa kau juga merangkap sebagai desainer di perusahaanmu?" tanya Hadwin tiba-tiba.
"Aku hanya melakukannya sesekali karena hobi. Namun, ada beberapa desainku yang di realisasikan menjadi pakaian. Kami bahkan sudah berhasil menjualnya."
"Aku baru tahu jika ternyata kau juga bisa membuat desain."
Briela menoleh, ia menatap Hadwin dengan bingung namun juga penasaran. "Memangnya apa yang kau tahu tentang diriku?"
Hadwin menatap Briela, ia tidak sadar jika nyatanya ucapannya yang sebelumnya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Briela diam, ia menunggu jawaban apa yang akan diberikan Hadwin. Hadwin sendiri bahkan hanya mampu terdiam. Apa yang harus ia katakan pada Briela?
sekertaris keknya beb. ada typo.