Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan
Dua minggu setelah pertemuan itu, pernikahan Ana dan Dave dilangsungkan dengan sederhana di rumah keluarga Hartawan. Tidak ada pesta besar, tidak ada tamu undangan yang berlimpah, hanya keluarga dekat dan beberapa kolega bisnis keluarga Hartawan. Ana mengenakan gaun putih yang dipilihkan oleh Nyonya Hartawan, sementara Dave mengenakan setelan jas hitam yang tampak sempurna di tubuhnya, meskipun ia tetap duduk di kursi roda.
Ana menjalani hari itu dengan perasaan hampa. Ia tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti pengantin lain. Baginya, ini bukan pernikahan impian, melainkan sebuah transaksi. Namun, saat ia mengangkat wajah dan melihat Dave, ia melihat sesuatu di matanya—bukan kebahagiaan, bukan kesedihan, tetapi sebuah pengakuan diam-diam bahwa mereka berdua sama-sama terjebak dalam situasi ini.
Setelah acara selesai, Ana dan Dave dipaksa tinggal di rumah keluarga Hartawan. Ana diberikan sebuah kamar di samping kamar Dave, yang membuatnya sedikit lega karena mereka tidak harus berbagi tempat tidur. Namun, saat ia memasuki kamarnya, Ana merasa seperti burung dalam sangkar emas. Kamar itu luas dan mewah, tetapi tidak ada kehangatan.
Malam pertama sebagai istri Dave, Ana duduk di ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Ia belum tahu bagaimana caranya menjalani hidup dengan seorang pria yang bahkan tidak ia kenal.
---
Hari-hari pertama pernikahan mereka terasa canggung. Ana dan Dave jarang berbicara. Jika pun berbicara, hanya sebatas formalitas. Ana lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya atau di taman rumah itu, sementara Dave sibuk dengan pekerjaannya. Meskipun ia duduk di kursi roda, Dave tetap mengurus bisnis keluarganya dengan ketegasan dan kecerdasan yang luar biasa.
Nyonya Hertawan mengajak Ana bicara empat mata di ruang kerja rumahnya. Ana awalnya merasa sedikit gugup, mengira ia akan mendapatkan peringatan atau teguran. Namun, Nyonya Hertawan justru menyodorkan selembar kertas berisi daftar tugas yang harus Ana lakukan untuk merawat Dave.
"Ini semua yang perlu kau ingat," ucap Nyonya Hertawan dengan suara tegas tapi datar.
Ana mengambil kertas itu dan membaca isinya. Daftar itu sangat rinci—mulai dari makanan dan minuman kesukaan Dave, jadwal makan yang harus dipatuhi, serta jenis-jenis makanan yang sebaiknya dihindari. Ada juga catatan tentang obat-obatan yang harus diminum Dave pada jam tertentu, serta jadwal terapi yang biasa ia jalani.
"Dave tidak suka makanan yang terlalu manis atau terlalu asin," lanjut Nyonya Hertawan. "Dia lebih suka makanan yang ringan, seperti sup ayam atau bubur saat sedang tidak enak badan. Kopi harus tanpa gula, dan kalau teh, dia hanya mau teh hijau."
Ana mengangguk sambil mencoba mengingat semuanya.
"Jangan lupa, dia harus minum obat ini tiga kali sehari. Pagi sebelum sarapan, siang setelah makan, dan malam sebelum tidur. Kadang-kadang dia lupa, jadi kau yang harus mengingatkannya," tambah Nyonya Hertawan.
Ana membaca daftar itu sekali lagi. Selain obat-obatan, ada juga catatan tentang terapi yang biasa dijalani Dave. "Dia masih rutin terapi?" tanya Ana pelan.
Nyonya Hertawan menghela napas sebelum menjawab, "Ya, dan kau harus memastikan dia tidak melewatkannya. Ada jadwal yang sudah disusun, kau bisa menghubungi terapisnya kalau butuh sesuatu."
Ana bisa merasakan betapa seriusnya Nyonya Hertawan dalam hal ini. Seolah-olah perawatan Dave adalah sesuatu yang tidak boleh dianggap remeh.
"Aku harap kau bisa menangani ini dengan baik," ujar Nyonya Hertawan sambil menatap Ana dengan tatapan tajam.
Ana menegakkan bahunya, mencoba menunjukkan bahwa ia siap dengan tanggung jawab ini. "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Bu," jawabnya mantap.
Nyonya Hertawan mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangannya. "Bagus. Kalau ada hal yang tidak kau mengerti, tanyakan langsung padaku. Aku tidak mau ada kesalahan."
Ana menerima tangannya, dan dalam hati ia tahu bahwa mulai saat ini, menjaga dan merawat Dave bukan hanya sekadar tugas, tapi juga ujian kepercayaan dari Nyonya Hertawan.
Setelah menerima daftar itu, Ana kembali ke kamarnya sambil memandangi kertas di tangannya. Ia membaca setiap poin dengan saksama, mencoba menghafalnya satu per satu. Semuanya begitu detail, seolah-olah Nyonya Hertawan tidak ingin ada sedikit pun kesalahan dalam perawatan Dave.
"Aku dinikahi hanya untuk dijadikan sandera sebagai perawat agar aku tidak bersikap seperti perawat-perawat sebelumnya. Ya Tuhan, kenapa nasibku seperti ini?" keluh Ana dengan berlinang air mata.
Ana tidak bisa menahan diri untuk berpikir—mengapa semua ini begitu teratur dan ketat? Apa yang sebenarnya terjadi pada Dave sampai-sampai ia harus dijaga dengan begitu cermat?
___
Pagi harinya, Ana bangun lebih awal untuk memastikan ia bisa menyiapkan sarapan sesuai dengan daftar yang diberikan. Ia masuk ke dapur dan meminta bantuan asisten rumah tangga untuk menyiapkan menu yang sesuai. Sup ayam ringan dan secangkir teh hijau, seperti yang tertulis di daftar.
Saat Ana membawa nampan itu ke kamar Dave, ia ragu sejenak sebelum mengetuk pintunya. Tidak ada jawaban. Ana mencoba sekali lagi, dan akhirnya terdengar suara berat dari dalam.
"Masuk."
Ana membuka pintu perlahan. Dave masih berbaring di tempat tidur, wajahnya tampak pucat. Matanya sedikit bengkak, entah karena kurang tidur atau alasan lain yang Ana tidak tahu.
"Aku membawakan sarapan," ucap Ana pelan, meletakkan nampan di meja samping tempat tidur.
Dave melirik makanan itu sekilas, lalu menghela napas. "Tanteku yang menyuruhmu, ya?"
Kening Ana berkerut, ia tidak mengerti siapa tante yang dimaksud oleh Dave. "Nyonya Hertawan," ucap Ana memperjelas.
Dave menyunggingkan senyumnya. "Dia ibu tiriku. Aku memanggilnya dengan sebutan tante," ucap Dave memberitahu, tentu saja membuat Ana merasa terkejut mendengarnya.
Ana mengangguk jujur. "Beliau memberikan daftar tentang semua yang harus aku lakukan untukmu."
Dave tersenyum miring. "Tentu saja. Dia memang seperti itu."
Ana tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya berdiri di tempatnya, menunggu Dave mengambil makanannya. Tapi pria itu malah menatapnya lama, seolah sedang menilai sesuatu.
"Kau benar-benar mau melakukan semua ini?" tanyanya tiba-tiba.
Ana sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Ya. Ini tugasku"
Dave mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi aku punya satu syarat."
Ana menatapnya penuh tanya. "Syarat?"
Dave menatapnya tajam sebelum menjawab, "Jangan pernah merasa kasihan padaku."
Kata-kata itu membuat Ana terdiam. Ada sesuatu di mata Dave—sesuatu yang sulit dijelaskan. Luka, kemarahan, atau mungkin kelelahan yang begitu dalam.
Ana menarik napas, lalu berkata dengan suara tenang, "Aku tidak merasa kasihan. Aku hanya melakukan apa yang perlu Aku lakukan."
Dave terdiam sejenak, lalu akhirnya mengambil sendok dan mulai menyantap sarapannya. Ana tetap berdiri di sana, menyadari bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih rumit dari sekadar mengikuti daftar tugas dari Nyonya Hertawan.
eh.... ada lagi kak othor, dave kan lumpuh kenapa tiba² jalan😭
kalo aku jadi ana, pasti aku akan minta uang bulanan. taat boleh tapi kesejahteraan diri harus prioritas🤭🤣