Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#15 - DARAH DI KORIDOR
Selene melangkah keluar dari ruangan Kepala Akademi dengan ekspresi datar, tetapi dalam hatinya, amarahnya masih bergejolak.
Regis... si bodoh itu...
Dia berubah begitu banyak. Bukan hanya sikapnya yang berbeda, tetapi auranya juga tak lagi sama. Seperti dua orang yang memiliki wajah serupa, tetapi bukan orang yang sama.
Namun, Selene tak ingin berlarut-larut memikirkan hal itu. Ada hal lain yang lebih penting.
Dengan langkah ringan, dia berjalan menuju ruang staf akademi. Para staf sudah diberi informasi tentang dirinya, sehingga mereka tidak banyak bertanya. Salah satu dari mereka menyerahkan seragam, kunci asrama, dan kunci loker padanya.
"Penerimaan siswa baru akan berlangsung dua hari lagi," ujar seorang staf. "Selama waktu itu, kau bebas menjelajahi akademi, tetapi harus mengenakan seragam. Sebagai murid baru, kau juga dilarang keluar dari akademi tanpa izin langsung dari Kepala Akademi."
Selene hanya mengangguk kecil seolah mengerti.
Dulu, peraturan tidak seketat ini. Dia bisa pergi ke mana pun tanpa harus meminta izin siapa pun.
Tanpa berlama-lama, dia meninggalkan ruang staf dan mulai mencari asramanya.
***
ASRAMA AKADEMI
Bangunan asrama akademi telah banyak berubah. Kini jauh lebih luas dan megah dibanding saat dia masih bersekolah di sini.
Dia membuka brosur akademi yang diberikan padanya dan dengan cepat menemukan rute menuju kamarnya.
Saat memasuki gedung asrama, dia menyadari sesuatu—tempat ini terasa kosong. Sepi.
Ke mana semua murid baru?
Namun, dia tak terlalu memikirkannya. Dengan santai, dia berjalan menuju kamar yang telah ditentukan—nomor 1701.
Selene mengeluarkan kunci, memasukkannya ke lubang kunci, lalu memutar gagang pintu.
Klik!
Kamar itu cukup luas untuk seorang murid. Terdapat tempat tidur besar, lemari pakaian, meja belajar, rak buku, dan sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke taman mawar.
Selene tersenyum tipis.
Dulu, saat dia masih Selene Everhart, dia berbagi kamar dengan seseorang. Sayangnya, orang itu terlalu takut padanya, sehingga dia menyuruhnya pindah dan membawa Isolde sebagai teman sekamar.
Saat mengingat Isolde, Selene tiba-tiba tertawa pelan.
Dulu Isolde adalah asistennya. Sekarang, dia malah menjadi ibunya.
Selene menggeleng, menyingkirkan kenangan lama. Karena masih memiliki waktu luang, dia memutuskan untuk menjelajahi akademi.
Dia juga mendengar bahwa sekarang ada kelas gladiator—hal yang langsung menarik minatnya.
Bukan untuk menonton. Tapi untuk ikut bertarung.
***
INSIDEN DI SUDUT KORIDOR
Selene berjalan cukup lama sampai akhirnya menyadari sesuatu—dia lupa membawa peta akademi.
Dengan santai, dia bertanya pada beberapa murid mengenai lokasi arena gladiator.
Mereka mengatakan bahwa arena itu terletak di bagian paling ujung akademi. Alasannya? Karena setiap pertarungan yang terjadi di sana selalu menyebabkan kerusakan besar, jadi akademi memutuskan untuk membangunnya di tempat yang jauh dari pusat aktivitas.
Selene mengangguk mengerti dan kembali melanjutkan langkahnya.
Namun, tiba-tiba...
Sebuah suara terdengar dari sudut koridor yang sepi.
Suara gadis yang penuh ketakutan.
Selene menghentikan langkahnya.
Matanya menyipit saat melihat sekumpulan pria berpakaian murid senior elite berkumpul di tempat tersembunyi.
Awalnya, dia tak terlalu peduli.
Namun, saat mendengar kalimat mereka, amarahnya mulai mendidih.
"Adeline, kau sangat cantik. Tapi sayang sekali, dengan status keluargamu yang miskin, kau hanya bisa masuk kelas bawah."
"Ya, Adeline. Daripada kau terus jadi bangsawan miskin, bagaimana kalau kau bersenang-senang dengan kami? Kami akan membuat status keluargamu meningkat."
Seorang gadis bernama Adeline tampak terpojok. Dia berusaha melawan, tetapi para pria itu semakin mendekatinya.
Pemimpin mereka, seorang pria yang terlihat paling berkuasa di antara yang lain, menyeringai.
Dia mendekat, menekan tubuhnya ke arah Adeline, dan mencoba mencium bibirnya.
Di belakangnya, para pria lain bersiul dan tertawa, seolah sedang menonton pertunjukan yang menghibur.
"Cepat selesaikan, biar giliran kami."
Saat itu, Selene tak bisa lagi menahan diri.
Dia melangkah maju.
"Ohh, apakah ada tontonan menarik?"
Suara manisnya membuat para pria itu menoleh.
Murid yang lain menatap Selene dari atas ke bawah.
"Gadis cantik, apakah kau tersesat? Kakak senior ini akan mengajakmu jalan-jalan. Bagaimana?"
Selene hanya tersenyum tipis.
Dengan cepat, dia meraih tangan pria itu, memutarnya ke belakang dengan satu gerakan, lalu berbisik di telinganya.
"Terima kasih atas tawarannya, tapi aku tidak suka pria mesum. Menjijikkan."
Trett!
Dia menekan sendi pria itu dengan kuat hingga terdengar suara retak. Pria itu menjerit kesakitan.
"AARRGH! BAAJINGAN!!"
Selene mendorongnya ke tanah dengan kasar.
Saat itu, pemimpin mereka mendekat.
"Tsk. Kau harusnya berterima kasih karena kami mau bermain denganmu."
"Benar. Lihat seragammu, kau hanya murid kelas satu. Itu artinya kau sama miskinnya dengan gadis itu."
Pemimpin mereka menatap Selene dengan penuh ketertarikan.
Dengan santai, dia mengangkat tangannya dan mencoba menyentuh dagunya.
"Jika kau mau bermain dengan kami, aku akan memaafkanmu," katanya dengan mata penuh nafsu.
Selene hanya tertawa.
"Jadi... bagaimana cara mainnya?"
"Tentu saja dengan tubuhmu. Lepaskan semua pakaianmu, dan kami akan bermain denganmu sampai puas. Bagaimana?"
Adeline semakin ketakutan.
Namun, Selene malah tertawa terbahak-bahak.
"Oh, menarik sekali. Jadi, siapa namamu?"
"Sayang, apa kau tertarik padaku?" Pria itu menyeringai. "Namaku Kris Everhart."
Saat mendengar nama itu, ekspresi Selene berubah dingin.
Everhart?!
Sialan!
Bajingan ini mengaku dari keluarga Selene Everhart?!
Selene tak bisa lagi menahan diri.
Dia bergerak cepat.
Dalam sekejap, Kris Everhart dihantam dengan pukulan telak ke rahangnya, membuatnya terhuyung.
Selene mencengkeram rambutnya, lalu dengan kejam membenturkan wajahnya ke lantai berkali-kali!
Bugh! Bugh! Bugh!
Darah mengalir dari hidung dan mulutnya.
Selene berdiri dengan mata dingin.
"Sampah seperti kalian tidak pantas mengotori akademi ini."
Saat itu, suara retakan terdengar—tulang Kris patah.
Dan Selene?
Dia hanya tersenyum puas.
***