Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK16
"Max, ada paket buat lo. Tapi ... nggak ada nama pengirimnya." Ethan menenteng bingkisan paket ke ruangan kerja Max.
Alis mata Max memicing, "paket? —Gue lagi nggak pesan apa-apa."
Ethan mengedikkan bahunya. Ia meletakkan paket itu ke atas meja Max, kemudian duduk di kursinya. Jari-jarinya mulai sibuk di atas keyboard.
Max mengambil sarung tangan lateksnya, rasa curiga selalu membuatnya harus tetap waspada. Gegas ia membuka lapisan lakban yang melilit kardus. Begitu paket terbuka, mata Max menyipit ketika melihat kemeja merah muda yang separuhnya sudah hangus.
"Apa itu, Max?" Clara yang sedari tadi memperhatikan, mulai penasaran.
"Kemeja yang tampak ... familiar," jawab Max. Dia masih membongkar isi kardus. Alisnya kini terangkat satu. "Dan sebuah ... flashdisk?"
"Flashdisk?" Ethan menoleh, pria itu lekas berdiri dan menghampiri tim nya.
"Lihat kancing kemeja itu, Max. Bukannya sama persis dengan barang bukti yang ditemukan disekitar penemuan jasad Anna?!" seru Clara.
Max meneliti dengan hati-hati. "Kamu benar, Clara."
"Milik siapa itu?" gumam Ethan dengan kening berkerut, seakan-akan isi otaknya diputar sampai mentok.
"Mungkin ada saksi yang nggak berani muncul, jadi hanya berani membantu kita dengan cara seperti ini. —Ayo cepat periksa flashdisk itu, Max!" seru Clara.
Max mengangguk, ia segera memasang flashdisk tersebut dan membuka satu file berupa video. Tak ingin membuang waktu, Max lekas meng-klik video tersebut. Video yang membuat ketiga orang itu terdiam dan saling memandang.
"Jessie?!" seru mereka bertiga.
---
Setelah mendapat surat perintah menggeledah, Max dan tim-nya menuju ke alamat Liam. Selama menempuh perjalanan, mereka hanya terdiam. Bibir mereka terkatup rapat, tetapi, benak mereka amat berisik.
'Jessie ... benarkah kamu pelakunya? Ini ... terasa benar-benar mustahil ...,' gumam Clara di dalam hati. Ia masih tak percaya.
Setibanya mereka di kediaman Liam, mereka menekan bel berkali-kali. Namun, suasana di dalam rumah terlalu sunyi.
Max mengernyit, seolah menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Dia memandang ke arah Clara yang juga tengah menatapnya, lalu memberi kode untuk memeriksa keadaan di sekeliling rumah.
Clara mengangguk, lalu melangkah tanpa meninggalkan jejak suara. Ia mengitari ke sekeliling dengan pistol yang siaga di depan dada. Langkahnya mengendap-endap, matanya fokus mengawasi. Sampai akhirnya, langkah kaki wanita cantik itu berhenti di ambang pintu yang terbuka. Pintu bagian belakang rumah Liam.
Clara menunduk, memperhatikan lantai dengan tetesan noda merah. "Darah?"
---
"Liam ... Liam?! —Hey, sadarlah! Jangan sampai kau kehilangan kesadaran mu!" Max menutup luka di perut Liam dengan sapu tangan miliknya.
Liam berkedip perlahan, seolah nyawanya sudah di ujung tanduk. "Je-ssie, Max," ucapnya terbata-bata.
Max mengangguk. "Tenanglah, kami sedang mencarinya."
Liam di bawa ke rumah sakit terdekat begitu ambulans tiba. Sementara Max dan Clara, menggeledah kediaman Liam. Sedangkan anggota nya yang lain berjaga di luar, dan beberapa lagi melakukan pengejaran.
Di dalam tas Liam, Max menemukan obat dengan nama Jessie tertera di botol bewarna putih susu itu. Max lekas mengamankan obat tersebut.
"Ada yang kamu temukan, Clara?" Tanya Max saat melihat Clara menghampirinya.
Clara mengangguk. "Aku menemukan pena milik Andi Pratama."
"Pena yang hilang itu?" Max memastikan.
"Benar." Clara menyimpan pena yang sudah terbungkus plastik, ke dalam tas nya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Max dan Clara memutuskan untuk tidak pulang malam ini. Keduanya memilih berjaga di ruangan kerja, sambil menunggu laporan dari tim lainnya yang melakukan pengejaran.
"Max, aku sudah mengumpulkan beberapa artikel pembunuhan berantai yang berhasil di tangani dalam dua tahun terakhir."
Suara Clara memecahkan keheningan malam, membuat Max menoleh padanya. Max merebahkan kepalanya di sandaran kursi.
"Lalu?"
"Di negara Indonesia, seorang detektif muda berhasil memecahkan kasus pembunuhan berantai yang selama masa-nya nggak pernah bisa terjamah oleh hukum. Namanya Bella Kimberly. Kasus yang ia tangani sangat besar, bukan sembarangan orang yang terlibat. Coba lihat." Clara menunjukkan salinan artikel yang sudah ia susun se-rapih mungkin. Kemudian menjelaskannya pada Max.
Max meliriknya, mendengar penjelasan Clara dengan baik.
"Indonesia ya? Bukannya negara itu terlalu jauh? —Memangnya dia mau datang ke negara kita jauh-jauh hanya untuk membantu kasus ini?"
Clara tersenyum, dan senyuman itu penuh arti. "Kita beruntung, detektif itu sedang berada di negara kita, Max. Setelah ku selidiki, detektif itu kini sudah tak lagi bekerja di kepolisian."
Max manggut-manggut, tampak memikirkan penjelasan Clara. "Coba kamu cari cara untuk menghubungi detektif itu."
Sekali lagi, Clara tersenyum. "Aku sudah menghubungi nya, Max. Dan ... dia bersedia membantu kita."
"Benarkah?" mata Max berbinar. "Kapan pastinya dia akan membantu kita?"
---
24 jam setelah menjalani operasi, Liam akhirnya siuman. Dua detektif yang berjaga, lekas menghubungi Max.
Tak butuh waktu lama, Max pun tiba di rumah sakit. Liam diinterogasi setelah mendapatkan izin dari pihak rumah sakit.
"Jadi maksudmu, Jessie memang pelakunya?—Apa kau punya bukti?" sinis Max.
"Bukankah, kau yang harus mencari bukti, Max?" Liam mengulas senyuman yang sangat menyebalkan. "Seseorang dengan nomor tak dikenal, mengirimkan aku sebuah video."
"Video apa?" Max menatap tajam.
"Video saat Anna dibunuh. Video saat Anna di tusuk berkali-kali, vide—"
"Apa katamu?!" Max mendekatkan wajahnya ke ranjang Liam. Menatapnya dengan kilat mata menyala.
Namun, Liam tetap tenang, seolah dia sudah tau Max akan bereaksi seperti itu. Pria itu menghela napas panjang.
"Di video tersebut, sebuah kancing terjatuh. —Awalnya aku juga nggak ngerti. Namun, setelah aku melihat video lainnya ... Jessie tampak sedang membakar sesuatu. Dan ... itu kemeja—itu kemeja ...," suara Liam mulai bergetar.
"Max, Jessie terlalu mencurigakan!" desis Liam.
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅