Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6 Sumi pingsan
Pulang dari sekolah, Airilia mampir ke toko kue untuk membeli donat pesanan Sumi.
Setibanya di rumah, ia langsung mencari ibunya, tetapi tak menemukan Sumi di mana pun.
"Bu... Ibu..." panggilnya sambil mengelilingi rumah.
Airilia memeriksa kamar Sumi, dapur, hingga halaman belakang, tetapi tetap tidak menemukan keberadaannya.
Saat hendak mencari ke luar rumah, terdengar suara ketukan di pintu depan.
"Apakah itu Ibu?" batinnya penuh harap.
Namun, saat membuka pintu, ia justru dikejutkan oleh sosok yang berdiri di sana.
"Bibi Asih?"
Airilia terperanjat. Yang datang bukan ibunya, melainkan Bibi Asih.
"Saya mau memberi tahu, tadi ibumu pingsan dan sudah dibawa ke klinik dokter Mala," ujar Asih dengan wajah cemas.
Mendengar itu, Airilia langsung mengunci pintu rumah dan bergegas pergi ke klinik, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bibi Asih.
---
Di Klinik Dokter Mala
Dengan napas terengah, Airilia masuk ke dalam klinik dan segera mencari keberadaan ibunya.
Di salah satu ruangan, ia melihat Sumi tengah terbaring di tempat tidur dengan infus terpasang di tangan kirinya.
"Bu, kenapa bisa pingsan?" serunya cemas, lalu segera memeluk Sumi erat.
"Ibu baik-baik saja, Nak. Hanya kecapekan," ujar Sumi sambil mengusap punggung Airilia, berusaha menenangkannya.
Saat itu, Dokter Mala masuk ke ruangan sambil membawa sepiring sup ayam dan segelas air putih.
"Ibu kamu hanya kurang istirahat, tidak perlu terlalu khawatir," ujarnya dengan senyum lembut.
"Lia, sudah ya, jangan menangis terus. Malu sama Ibu Dokter," ujar Sumi lembut.
Airilia akhirnya menghapus air matanya dan menatap Dokter Mala.
"Bu Dokter, ibu saya kenapa bisa sampai pingsan?" tanyanya lagi, memastikan keadaan ibunya.
Dokter Mala tersenyum sabar. "Seperti yang saya bilang tadi, ibu kamu hanya butuh banyak istirahat."
"Bu, dengarkan kata Ibu Dokter, ya. Aku sudah bilang, jangan terlalu banyak menerima cucian. Aku enggak mau Ibu sakit..." ucap Airilia dengan suara lirih.
Sumi tersenyum menenangkan. "Ibu tidak apa-apa, Besok juga sudah boleh pulang, ya kan, Bu Dokter?"
"Iya, betul. Besok Ibu Sumi sudah boleh pulang. Tapi untuk sekarang, beliau harus beristirahat dan mengisi tenaga dulu. Saya sudah bawakan sup ayam dan air putih," ujar Dokter Mala sebelum meninggalkan ruangan, terharu melihat kasih sayang antara ibu dan anak itu.
"Bu, sekarang makan, ya. Biar aku suapi," ujar Airilia, mengambil piring sup ayam dan mulai menyuapi ibunya dengan penuh kasih sayang.
Sumi menatap putrinya lembut. "Lia sudah makan?"
"Aku sudah makan tadi di warung Pak Kumis," jawab Airilia.
Namun, belum sempat melanjutkan ucapannya, tiba-tiba suara perutnya berbunyi.
Sumi terkekeh melihat wajah malu-malu putrinya. "Kalau sudah makan, kenapa perutnya bunyi?" godanya.
Airilia cengar-cengir, tertangkap basah telah berbohong.
"Ya sudah, Lia makan juga, ya. Lagipula, sepiring ini ibu tidak akan habis sendiri. Kita makan bersama," bujuk Sumi.
Airilia mengangguk dan ikut menyantap sup ayam bersama ibunya.
Sumi tersenyum, tetapi di balik senyumnya, pikirannya kembali mengingat kejadian beberapa waktu lalu...
---
(Flashback – 30 Menit Sebelumnya)
Sumi baru saja sadar dari pingsannya. Ia terkejut saat melihat tangannya diinfus.
"Saya di mana?" tanyanya bingung.
Seorang dokter muda berusia sekitar 25 tahun menghampirinya.
"Anda sedang berada di klinik saya. Tadi, tetangga Anda mengantarkan Anda ke sini," jelasnya ramah.
Sumi berusaha bangun. "Terima kasih, Dokter. Tapi saya harus pulang, takutnya Airilia mencari saya."
Namun, saat hendak melepas infus, Dokter Mala dengan sigap menahannya.
"Maaf, kondisi Anda masih belum stabil. Untuk sementara, sebaiknya tetap di sini. Saya akan mengutus seseorang untuk memberitahu putri Anda bahwa Anda dirawat di sini," ujarnya lembut.
Sumi akhirnya mengangguk dan berterima kasih.
"Perkenalkan, nama saya Dokter Mala. Kalau boleh tahu, apa yang Anda rasakan selama ini?"
Sumi terdiam sejenak sebelum menjawab. "Akhir-akhir ini saya sering mimisan, pusing, dan demam, Dok."
"Apakah Anda sering kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun?" tanya Dokter Mala lagi.
Sumi mengangguk pelan, membenarkan dugaan sang dokter.
Dokter Mala menghela napas, lalu menatap Sumi dengan penuh empati. "Maaf, berdasarkan analisa awal saya, sepertinya Anda mengalami kanker darah. Saya sarankan untuk segera memeriksakan diri ke rumah sakit agar mendapat diagnosis yang lebih akurat, karena di klinik ini alatnya masih terbatas."
Darah Sumi seakan membeku. "Kanker darah?" bisiknya lirih.
"Saya tidak mau ke rumah sakit, Dok," lanjutnya cepat, menggeleng dengan ketakutan.
Dokter Mala menghela napas panjang. Ia sudah sering menghadapi pasien yang menolak menerima kenyataan.
"Kenapa tidak mau, Bu Sumi? Siapa tahu analisa saya salah? Apa Anda memiliki BPJS?"
Sumi mengangguk, tetapi ia menatap dokter dengan mata berkaca-kaca. "Dokter, saya mohon... Jangan bilang kepada putri saya. Saya tidak mau Airilia sedih..." Suaranya bergetar menahan tangis.
Dokter Mala terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Kenapa harus dirahasiakan? Bukankah support keluarga adalah obat terbaik?"
Sumi menggeleng pelan. "Saya tidak punya siapa-siapa selain Airilia... Dia bukan anak kandung saya, Dok. Dia anak dari suami saya dengan istri pertamanya. Suami saya meninggal saat Airilia baru berusia seminggu..."
Air mata mulai mengalir di pipinya.
"Tapi, saya sangat menyayanginya... Bahkan melebihi anak kandung saya sendiri. Anak saya, Aluna, sudah tiga tahun kuliah di Banjar, tapi tidak pernah pulang, padahal jaraknya hanya tiga jam dari kampung ini..."
Dokter Mala menatapnya dengan penuh simpati.
"Saya banyak menyusahkan Airilia, Dok... Dia yang bekerja untuk membantu saya. Uang hasil cucian saya tidak cukup untuk hidup kami, jadi Airilia harus bekerja paruh waktu. Bahkan, uang hasil kerjanya pun dia berikan kepada saya untuk mengirimi kakaknya, Aluna. Dia tidak pernah meminta apa pun, bahkan untuk peralatan sekolah saja, dia harus bekerja lebih keras..."
Air mata Sumi semakin deras mengalir.
"Kalau Airilia tahu saya sakit, dia pasti akan mengorbankan segalanya demi saya. Saya tidak mau penyakit ini menjadi beban baginya atau menghalangi masa depannya..."
Dokter Mala ikut meneteskan air mata mendengar kisah Sumi. Dengan lembut, ia menghapus air mata di pipinya.
"Baik, Bu Sumi... Saya akan merahasiakan ini dari putri Anda," ujarnya pelan.
Sumi tersenyum lega.
Bersambung...