"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan yang semestinya.
Dikediaman Kiai Ahmad Sulaiman. Suami istri tengah berembuk.
"Ada apa to, Bah? Kelihatane kok sumringah." ( kelihatan bahagia) Umi Zalianty mengomentari suaminya yang terlihat bahagia setelah selesai menerima telepon.
"Itu lo Mi, karib nya Abah yang di Jakarta, putrinya sudah kembali ke tanah air, makanya itu ngadain syukuran, kalau ada kesempatan kita diminta untuk hadir."
"Putrinya Ustadz Salim yang dapat beasiswa ke Mesir? Siapa Bah namanya? Ning Risma opo Rusma?" tanya Umi Zalianty.
"Riris, Mi, orang dulu Abahe nek nyeluk ngunu." ( Dulu begitu abahnya memanggil.)
"Itu kan julukan cilik, to Bah." ( itu panggilanasa kecil). Protes Umi Zalianty yang membuat Kiai Ahmad Sulaiman terkekeh.
Tawa Abah Dinar berhenti, beliau duduk di ruang tamu, diikuti oleh istrinya.
"Salim minta kita datang, kalau bisa bawa Hassan." tutur Kiai Ahmad Sulaiman.
Umi Zalianty terdiam. Sedikit berat ketika membahas mengenai putranya yang lain. Bukan karena tidak adanya darah yang sama. Tapi Umi Zalianty tidak ingin Hassan terbebani dengan hubungan keluarga mereka.
"Menurut Umi, piye ( Bagaimana ) kalau Salim ingin mengenalkan putrinya untuk Hassan?" pertanyaan suaminya semakin membuat Umi Zalianty terdiam, sungguh beliau sedang sangat khawatir.
"Umi?" panggil Kiai Ahmad Sulaiman ketika istrinya hanya diam saja.
"Bah, apa tidak sebaiknya kita tidak perlu ikut campur mengenai urusan asmara Hassan. Umi khawatir Hassan tidak suka kita terlalu mengatur kehidupannya."
Kali ini giliran Kiai Ahmad Sulaiman yang terdiam. Jujur, sebagai Ayah angkat dia ingin melihat anak-anaknya bahagia, setidaknya Kiai Ahmad Sulaiman tidak terlalu khawatir jika nantinya Hassan sudah menikah.
Sebagai orang tua yang tahu perasaan sang anak yang tumbuh pada orang yang tak tepat, sungguh beliau merasa sangat khawatir jika nanti Hassan pada akhirnya tidak tertarik pada perempuan di luar sana. Mungkin dengan sebuah perjodohan bisa sedikit membuat Hassan melupakan perasaannya pada Dinar, dan mulai memupuk rasa pada pasangan yang halal untuknya, nanti.
"Abah kepingin anak-anak Abah bahagia, Mi. Mosok nggak boleh?"
"Boleh, Bah. Abah silahkan pilih akhwat nya. Nanti Hassan atur waktunya."
Bukan Umi Zalianty yang menjawab, melainkan Hassan sendiri.
Rupanya, Hassan mendengar obrolan Kiai Ahmad Sulaiman dan Umi Zalianty. Hassan merasa bersalah jika terus saja membangkang pada orang tua angkatnya. Soal pondok Kiai Ahmad Sulaiman sudah tak memaksakan kehendaknya, rasanya akan sangat tidak sopan jika diapun menolak kebaikan lain yang disiapkan oleh beliau.
Hassan percaya, tidak akan ada orang tua yang menjerumuskan anak nya sendiri, selain pada kebaikan.
Senyum Kiai Ahmad Sulaiman tercipta. Alhamdulillah Hassan tidak keberatan dengan keinginannya.
"Kamu setuju ikut ke Jakarta?"
Hassan tersenyum simpul.
"Tidak baik menolak undangan, Bah. Nanti Hassan siapkan biodata untuk di niatkan ta'aruf, InsyaAllah."
Tidak hanya Kiai Ahmad Sulaiman, Hassan sendiri khawatir dengan perasaannya. Saat Dinar terlihat ada masalah dengan suaminya, Hassan menahan diri agar tak membawa lari wanita itu.
Mungkin dengan adanya perkenalan ini, Hassan bisa sedikit membuat hatinya sibuk dengan pikiran yang lain.
********
Di rumah Irham dan Dinar.
Irham tidak melepaskan pelukannya pada Istrinya. Laki-laki itu menuntun istrinya untuk duduk. Dia adalah perempuan yang sama yang selama empat tahun selalu memberikan senyum hangat dan manis padanya. Empat tahun penuh cinta dan ketulusan, yang dia balas dengan satu tahun penderitaan dan cacian. Kini, hanya tersisa sesal dan rasa bersalah.
Bahkan jika ribuan kali meminta maaf, Irham merasa tidak akan pernah cukup untuk menebus kesalahan pada istrinya. Mereka duduk bersebelahan, Irham meraih tangan yang selama empat tahun selalu memeluknya.
Irham menatap dengan sendu, hatinya tersayat-sayat hingga air mata mengalir sebab mengingat dosa yang diperbuat pada putri semata wayang Kiai Ahmad Sulaiman.
"Kita ke Madiun besok saja ya, Dek?" dengan suara yang sedikit serak Irham bersuara.
Dinar tercengang dengan permintaan itu. Dia menatap lekat, memindai wajah suaminya yang mulai terangkat setelah mengucapkan permintaan tadi. Laki-laki itu tersenyum padanya. Bola matanya berkilat seperti menahan tangis.
"Kenapa besok? Mas tidak enak badan?" ada binar khawatir di sana, Irham bisa melihat dengan jelas.
Bagaimana Irham bisa jelaskan, jika yang ingin dia inginkan saat ini adalah memeluk tubuh istrinya sepuasnya.
Dinar akhirnya menemui Pak Wildan, yang sudah menunggu mereka di teras rumah. Memberi tahu jika mereka tidak jadi ke Madiun hari ini, karena suaminya tiba-tiba tidak enak badan.
Pak Wildan tidak mempermasalahkan itu, setelah mengucapkan doa untuk kesembuhan Irham, sopir keluarga Kiai Ahmad Sulaiman langsung bertolak kembali ke rumah keluarga Dinar.
"Ya, Ning. Tidak apa-apa, semoga Gus Irham lekas sembuh. Kalau begitu Bapak balik saja ngih!"
Sepeninggalan Pak Wildan, Dinar langsung masuk ke dalam rumahnya lagi.
Kakinya melangkah menuju kamar putranya. Begitu membuka pintu. Tanpa sadar senyum wanita itu merekah saat melihat Irham yang membacakan buku cerita untuk Ilyas. Anak tiga tahun itu tampak khusyuk mendengarkan cerita sang Ayah dengan tangan kecilnya yang menepuk pantatnya sendiri.
Dinar tidak ingin bergabung. Memilih pergi dari sana dan membiarkan Ayah dan anak menikmati waktu. Selama ini Irham jarang memiliki waktu untuk Ilyas, baru setelah laki-laki itu tahu fakta tentang anak semata wayangnya, Irham mulai berubah.
Dinar akui, ia sangat bahagia hidup dengan bersuamikan Irham. Hanya setelah Irham mengatakan capek dan menyesal menikah dengannya perasaan Dinar mulai berbeda.
Dinar mulai menahan dirinya agar tak terlalu manja pada Irham, banyak yang ia pelajari, termasuk mengganti tabung gas elpiji sendiri. Awalnya sulit, tapi lama-lama bisa. Dinar tidak ingin menjadi beban bagi suaminya, meskipun nantinya mereka tetap berpisah, setidaknya Dinar sudah berusaha supaya Irham tidak terlalu capek menjadi suaminya.
Saat waktu beranjak malam.
Irham menemukan Dinar yang sibuk menyusun makanan di meja makan, ia baru keluar dari kamar Ilyas setelah putranya itu tertidur.
Kebetulan di luar sedang hujan deras. Irham mendekat ingin membantu pekerjaan Dinar tapi Dinar melarang.
"Gak usah, mas. Sudah selesai kok."
Meski berucap sudah selesai, nyatanya tangan Dinar masih begitu sibuk, hingga Irham menarik tangan itu.
"Aku lapar banget, sayang " ucap laki-laki itu.
"Iya makanya, mas. Lepasin. Biar aku ambilkan nasi dan lauknya." balas Dinar cepat. Tapi tangannya tetap tak dilepaskan oleh Irham.
"Mau sajian pembuka dulu, boleh nggak sih?" tanya Irham kemudian, yang kini sudah memeluk Dinar dari belakang.
"Mas mau apa? Kayaknya di kulkas masih ada es krim." tanya balik Dinar ketika suaminya mau appetizer.
Dinar mengerjap berkali-kali ketika tubuhnya malah di angkat untuk di dudukan di atas meja makan yang belum selesai ia susun. Selama empat detik saling diam dan hanya saling tatap. Irham menangkup wajah Dinar, ia sudah tak tahan. Dia menunduk dan memagut bibir istrinya dengan lembut.
Dinar tergagap karena itu. Ini baru pertama kalinya Irham begitu berbeda, dibilang salah makan, tapi pria itu malah belum menyentuh makanan yang ia sediakan.
Irham baru melepaskan ciumannya ketika Dinar hampir kehabisan nafas dan tersengal.
"Aku mau kamu." Bisik Irham sebelum kembali membungkam bibir istrinya dengan sebuah ciuman, kali ini lebih menuntut. Hingga Dinar hampir terlena.
"Mas," Irham mengerjap ketika Dinar mendorong dadanya. Di tatapnya Dinar yang tampak tidak nyaman.
"Kenapa?" sungguh Irham sudah tidak bisa menahan keinginannya.
Dinar beringsut dan melingkarkan lengan sendiri pada perut laki-laki di hadapannya. Dia menyandarkan kepala pada dada Irham yang selama empat tahun menjadi sandaran kokohnya, laki-laki yang dengan mudah mencuri hati dan begitu Dinar cintai. Meski hubungan mereka sempat memburuk, tapi Dinar bersyukur. Selama ini Irham tidak pernah menyakitinya secara fisik.
Andai Irham tidak pernah mengatakan bahwa dia menyesal menikahi Dinar, Dinar akan mengira bahwa laki-laki ini memiliki cinta yang sama dengan apa yang dirasakan.
"Mas.." Dinar kembali memanggil.
"Iya, sayang." Irham menjawab dengan suara parau.
"Tidak bisakah kita melakukannya di kamar saja?"
Perempuan itu mendongak saat tidak mendapatkan jawaban.
Dinar mengusap lembut pipi suaminya yang tiba-tiba ikut menunduk.
Dinar menunggu jawaban.
Irham tersenyum tipis, sebelum mendekatkan wajah dan mengecup sudut bibir istrinya. Dinar tidak tahu itu jawaban iya atau tidak. Dinar membalas kecupan suaminya dengan ciuman yang lebih dalam. Irham merengkuh tubuh istrinya di angkat menuju kamar, Dinar mengaitkan kedua kakinya ke pinggang Irham. Irham tak mau berhenti lagi, mencurahkan perasaan cintanya pada perempuan yang telah empat tahun hidup dan mendampinginya.