NovelToon NovelToon
Malam Pertama Untuk Istriku

Malam Pertama Untuk Istriku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Penyesalan Suami / Menikah dengan Musuhku / Trauma masa lalu
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mamicel Cio

Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.

Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.

Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.

Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.

Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Permainan Murahan

Bimo berlari menuju mobil dengan napas memburu, tubuhnya seperti dikejar bayangan yang tidak pernah bisa dia lepas

"Itu Hendi... pengacara Mira sekaligus pria yang selalu tertarik padanya. Mau ke mana dia sekarang?" gumam Bimo, penuh kecurigaan yang terus menggerogoti pikirannya. 

Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk mengikutinya. Jari-jarinya gemetar saat menghidupkan mesin, kepalanya terasa berat mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan. 

"Pemakaman? Siapa yang meninggal?" Degup jantung Bimo berkejaran dengan suara mesin mobil. 

Ketika akhirnya ia tiba, matanya terpaku pada sesuatu yang hampir membuat tubuhnua membeku. Nama itu... jelas tertulis di nisan marmer putih yang masih baru: Miranda Sindu. 

 "Dunia macam apa ini?" napas Bimo tercekat, dada terasa penuh.

"Mira...? Tidak, ini tidak masuk akal!" Rasanya otak ini ingin menolak apa yang ada di depannya, tapi kenyataan ini menohok tanpa ampun. 

"Reyhan... dia harus tahu."

Tidak ada jalan lain. Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, ia kembali ke mobil. Kaki ini masih terasa lemas, tetapi Bimo terus memaksa diri melaju menuju kantor Reyhan. 

Rahasia ini terlalu besar untuk ditanggung seorang diri. 

---

Reyhan berdiri membatu di depan jendela besar kantornya, memandangi panorama kota dengan lampu-lampu gemerlap yang terasa kosong tanpa makna. 

Tangannya menggenggam gelas whiskey, tapi cairan di dalamnya tetap utuh, seperti dirinya yang diam tak bergerak sejak tadi. 

Bayangan Mira kembali memenuhi pikirannya, sebuah kenangan yang tidak pernah pudar meski wanita itu telah lama menghilang. 

Senyumnya, tawanya, dan tatapan penuh harapan itu selalu dia berikan padanya, bahkan saat Reyhan terus menyakitinya… semuanya selalu muncul saat dia mencoba memejamkan mata, mencengkeram hati dan menghidupkan kembali setiap luka. 

"Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup, sementara dia terus menghantui setiap detikku?" bisik Reyhan dalam hati, nadanya tenggelam oleh kekosongan ruang yang mengelilinginya. 

Sesuatu di dalam dirinya merasa hampa, seperti potongan penting hidupnya yang hilang tanpa kembali. `

Pintu kantornya terbuka keras.

"Reyhan!"

Reyhan berbalik, mendapati Bimo berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat dan napas terengah-engah.

"Ada apa?" tanya Reyhan, suaranya lebih tajam dari yang dia maksudkan.

Bimo menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku… aku menemukannya."

Gelas whiskey dalam genggaman Reyhan hampir jatuh. "Di mana dia?"

Bimo menelan ludah. "Di pemakaman."

Reyhan mengernyit. "Apa maksudmu?"

Bimo maju mendekat, suaranya bergetar. "Mira… dia… dia sudah meninggal, Rey."

Dunia Reyhan terasa berhenti berputar.

Tidak.

Tidak mungkin.

"Jangan bercanda, Bimo." Dia menatap Bimo seakan pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang paling gila yang pernah dia dengar.

"Aku tidak bercanda!" seru Bimo frustasi. "Aku melihatnya sendiri! Ada nisan dengan namanya di sana, Rey! Miranda Sindu!"

Reyhan menggeleng cepat. "Itu tidak mungkin."

"Kalau kamu tidak percaya, ikut aku sekarang! Aku akan membawamu ke sana. Kamu lihat sendiri kalau aku tidak berbohong!" Bimo mendekat dan menarik lengan sahabatnya.

Reyhan tidak bergerak. Dia tidak bisa.

Mira tidak mungkin sudah mati. Dia hanya bersembunyi. Dia sedang menghindarinya. Dia menunggunya menyerah. Itu saja.

Bukan… bukan ini.

"Reyhan, kamu dengar aku?!" suara Bimo terdengar putus asa. "Mira sudah pergi! Dan kamu bahkan tidak tahu!"

Reyhan mencengkeram kerah Bimo dan mendorongnya ke dinding. "Dia tidak mati! Dia hanya sedang bermain-main denganku! Dia ingin aku menyesal, dan kamu malah percaya permainan bodohnya!" teriaknya. 

Bimo tidak melawan. Dia hanya menatap Reyhan dengan mata merah. "Kalau begitu buktikan aku salah. Ayo kita ke kuburan itu sekarang."

Reyhan terdiam. Jantungnya berdegup begitu keras hingga terasa menyakitkan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia tidak yakin apakah dia benar-benar ingin mengetahui jawabannya.

Reyhan berdiri tegak di depan mejanya, rahangnya mengeras. Matanya menatap tajam ke arah Bimo, seolah pria itu baru saja mengucapkan kebohongan terbesar yang pernah ada.

“Permainan ini sangat murahan, kamu pikir aku akan tertipu dengan cerita konyol seperti itu?” Reyhan berkata dingin, suaranya nyaris tanpa emosi. 

Bimo menggeleng lemah, matanya masih berkaca-kaca. “Reyhan, aku serius. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Nama Mira ada di sana. Nisan itu baru. Bunga di sekitarnya masih segar.”

Reyhan mendengus sinis. “Bagus sekali. Jadi sekarang Mira bermain sejauh ini, ya? Mengarang cerita kematiannya sendiri hanya untuk mendapatkan perhatianku?” Dia tertawa pendek, tapi tidak ada humor dalam tawanya.

“Kamu ini gila, Rey.” Bimo mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi.

“Tidak, justru kmau yang gila karena mempercayai ini.” Reyhan berbalik, menuang whiskey ke gelasnya dengan gerakan santai. Seakan tidak ada hal besar yang baru saja dikatakan Bimo.

“Terserah kamu, tapi kalau kau pikir ini hanya permainan, kenapa Mira tidak pernah kembali mencarimu? Kenapa dia tidak berusaha lagi?” kata Bimo akhirnya, suaranya penuh kekecewaan. 

Reyhan menghentikan gerakannya sesaat.

“Kenapa, Rey?” Bimo mendesak. “Kamu yang bilang sendiri, Mira bukan tipe orang yang menyerah begitu saja. Lalu kalau memang dia masih hidup, di mana dia sekarang?”

Reyhan merasakan sesuatu mencengkeram dadanya, tapi dia menolaknya mentah-mentah. Dia tidak akan jatuh ke dalam perangkap ini. Tidak.

Bimo menghela napas berat. “Aku sudah bicara dengan Hendi. Dia tahu sesuatu. Dan kalau kamu tetap menolak kebenaran, aku akan mencarinya sendiri.”

Tanpa menunggu jawaban, Bimo melangkah keluar ruangan, membanting pintu di belakangnya.

Ruangan itu kembali sunyi.

Reyhan menatap gelas di tangannya, tapi untuk pertama kalinya sejak lama, dia tidak punya selera untuk meneguk minuman kerasnya.

Jari-jarinya mengetuk meja. Pikirannya berputar liar.

Tidak.

Mira tidak mati.

Dia yakin itu.

Tapi kalau memang begitu…

Ke mana dia pergi?

---

Reyhan duduk di kursi kantornya, tangannya bertumpu di sandaran sementara tatapan matanya kosong, penuh perhitungan. 

Tok! 

Tok! 

"Bos!" Suara Bimo, sahabat sekaligus asistennya, memecah keheningan.

"Pengacara Mira ingin bertemu," kata Bimo dengan nada ragu.

Reyhan mendesah pendek, tak ada emosi yang terpancar dari wajahnya. 

"Menyusahkan sekali. Suruh dia masuk," jawabnya dingin, memerintahkan tanpa menoleh sedikit pun.

Bimo mengangguk patuh dan membuka pintu untuk Hendi, yang melangkah masuk dengan wajah tegang. Tatapan Reyhan naik perlahan, memindai Hendi dari ujung kepala hingga kaki dengan ekspresi penuh superioritas. 

"Aku sudah bilang, aku tidak akan menceraikan Mira sebelum dia sendiri yang datang padaku," ucap Reyhan dengan nada dingin yang mampu membuat ruangan itu semakin membeku. 

Matanya menembus Hendi seperti pisau tajam, membuat pria di depannya mengepalkan tangan kuat-kuat di sisi tubuhnya. Hendi berdiri kaku, rahangnya mengatup erat. 

Sesuatu dalam dadanya mendidih, dorongan untuk meledakkan amarah yang ia pendam rapat.

"Kamu menyiksanya cukup lama, Reyhan. Dan sekarang kamu masih ingin menahannya?" tanya Hendi dengan suara bergetar, emosi yang ia coba kendalikan namun tetap menyeruak dalam ucapannya. 

Reyhan menyandarkan tubuhnya di kursi dengan santai, seolah omongan Hendi adalah angin lalu yang sama sekali tak menyentuhnya. 

"Aku hanya ingin dia muncul. Kamu seharusnya memberitahuku di mana dia bersembunyi," balasnya datar, tetap dengan nada superior yang mengesalkan.

"Dia tidak sembunyi," jawab Hendi cepat, suaranya penuh penekanan seakan menyiratkan bahwa kata-kata itu adalah sebuah perlawanan.

Alis Reyhan terangkat sedikit, separuh ketertarikan muncul dalam tatapannya.

"Lalu?" tanyanya pendek, tetapi dengan nada yang sarat akan provokasi. Di benaknya, ia bertanya-tanya. 

'Sejauh mana Hendi akan bertahan? Apa Mira juga terjebak dalam kebimbangan seperti ini?' Tapi semua itu hanya mengendap sebagai pikirannya sendiri, tertutupi oleh tampilan dinginnya yang nyaris tak terpecahkan.

Hendi menatap Reyhan dengan tatapan penuh emosi. Matanya berkilat tajam, seakan kata-kata yang akan keluar dari bibirnya lebih menyakitkan daripada belati mana pun. 

"Mira sudah tiada, Reyhan."

Reyhan membeku. 

Ruangan yang sebelumnya terasa biasa saja kini berubah menjadi jurang hening yang menelan seluruh suara. Bahkan napasnya sendiri terdengar begitu nyata, begitu berat. 

Ia menatap Hendi, mencari sesuatu di wajahnya, keraguan, gurauan buruk, kebohongan apa pun yang bisa menenangkan hatiku. Namun yang kutemukan hanya luka. Luka yang nyata.

"Apa?" suara Reyhan pecah, hanya sepatah kata tapi terasa bagai seorang pengecut yang terlalu takut menerima kebenaran.

"Mira meninggal, Reyhan," ulang Hendi, kali ini lebih pelan, seolah berbisik pada sesuatu yang rapuh.

Kata-katanya menusuk, langsung ke jantung. Rasanya dunia di sekitarnya berhenti.

Tidak, ini tidak mungkin. 

"TIDAK MUNGKIN!" Reyhan bangkit berdiri, nyaris tidak sadar saat tanganku menghantam meja di hadapanku.

"Itu bohong!" teriaknya. 

Suara Reyhan bergetar, tapi tidak cukup untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dadanya terasa sesak, napasku memburu seperti aku sedang mencoba bertarung melawan bayangan gelap yang menyerang dari segala arah. 

Hendi masih berdiri di sana, diam, tak bergerak. Ekspresi wajahnya membuat emosiku semakin kalut.

"Dia sudah pergi, Reyhan. Dan kamu bahkan tidak tahu." katanya, datar tapi menusuk. 

Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Reyhan terdiam, matanya nanar menatap lantai yang tiba-tiba terasa jauh. 

Kenangan berputar di kepala, seperti film yang tidak mau berhenti diputar: 'bagaimana aku mengusir Mira dengan amarah membabi buta, bagaimana aku begitu menikmati status duda yang aku labeli dengan kebanggaan palsu, bagaimana aku berpikir bahwa semua ini hanya gertakannya, hanya bagian dari drama kecil dalam kehidupan kami yang penuh pertengkaran. 

Dadanya semakin sesak. 'Tuhan, ini salah. Ini semua salah. Apakah aku penyebabnya? Jika benar, lalu bagaimana aku bisa hidup dengan ini? Apa yang telah aku lakukan?'

Tapi ini? Ini bukan gertakan.

Mira benar-benar pergi.

Selamanya.

Malam itu, Reyhan mengunci diri di kamarnya. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Hanya pikirannya yang terus berulang-ulang mengingat Mira.

Wajahnya. Suaranya. Tatapan penuh cintanya yang selalu dia abaikan.

Dan sekarang semuanya hilang.

Dia menatap foto pernikahan mereka di meja samping ranjang. Jemarinya gemetar saat menyentuh wajah Mira dalam foto itu.

Air matanya jatuh.

Untuk pertama kalinya, Reyhan menyadari sesuatu.

Dia tidak pernah benar-benar membenci Mira.

Yang dia benci adalah dirinya sendiri.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!