Sembilan tahun yang lalu mas Alfan membawa pulang seorang gadis kecil, kata suamiku Dia anak sahabatnya yang baru meninggal karena kecelakaan tunggal.Raya yang sebatang kara tidak punya sanak keluarga.
Karena itulah mas Alfan berniat mengasuhnya. Tentu saja aku menyambutnya dengan gembira. selain aku memang penyayang ank kecil, aku juga belum di takdirkan mempunyai anak.
Hanya Ibu mertuaku yang menentang keras keputusan kami itu. tapi seiring waktu ibu bisa menerima Raya.
Selama itu pula kehidupan kami adem ayem dan bahagia bersama Raya di tengah-tengah kami
Mas Alfan sangat menyayangi nya seperti anak kandungnya. begitupun aku.
Tapi di usia pernikahan kami yang ke lima belas, badai itu datang dan menerjang rumah tanggaku. berawal dari sebuah pesan aneh di ponsel mas Alfan membuat ku curiga.
Dan pada akhirnya semua misteri terbongkar. Ternyata suami dan anak ku menusukku dari belakang.
Aku terpuruk dan hancur.
Masih adakah titik terang dalam kemelut rumah tang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Pemilik langkah berat itu pergi setelah memaksaku memakan sesuatu. Dia juga meminum air putih. Tapi anehnya dia tidak bersuara walaupun aku berteriak memakinya.
Angin dingin menerpa kulit menembus pori -pori, aku menggigil. Tidak habis pikir kenapa ada orang yang menculik ku? Seingat ku, aku tidak punya musuh. mencoba mengingat siapa kira-kira yang pantas di curigai.
Mas Alfan kah? memang terakhir dia menelpon dan mengajak ku kabur dari kota ini. tentu saja aku marah dan menolaknya.
Tapi setelah tutup telponnya, tiba-tiba dia muncul dari jendela kamarku.
Panik dan bingung. Aku mendorongnya agar keluar. Aku tidak mau Viola mengetahui kehadirannya. Kami sempat saling tarik-menarik. Dengan suara tertahan aku berhasil menyuruhnya pergi.
Setelah memastikan dia benar-benar pergi dan mengunci pintu jendela, aku kembali merebahkan tubuhku.
Mungkinkah karena itu dia marah dan melakukan ini semua. Tapi kalau memang dia pelakunya, kenapa dia harus menyiksaku seperti ini?
Dan tempat terkutuk apa ini? Sangat sepi dan menyeramkan. Perkiraanku tempat ini sangat terpencil karena tidak terdengar aktifitas apapun.
Tapi setelah beberapa menit orang misterius itu pergi. Terdengar suara samar-samar di kejauhan. Seperti orang yang sedang mengobrol. harapanku bangkit lagi. Semoga suara itu adalah orang yang bisa menolongku. tapi bagaimana caranya agar mereka tau keadaanku, kali ini mulutku tidak lagi di ikat kain. Tapi malah di lakban.
***
Sehari sudah berlalu, namun tidak ada titik terang tentang keberadaan Mentari. Fajar merasa putus asa. Hatinya semakin pilu menyaksikan pelaminan yang masih utuh.
Seharusnya, hari ini menjadi hati paling indah bagi mereka. Ia membayangkan duduk bersama Mentari di pelaminan itu.
Fajar ingin memberi Mentari semua kebahagiaan di dunia ini
"Mentari... di mana kau berada..?" ia terduduk dan mengeluh pelan.
Ponselnya tiba-tiba menyala.
Ternyata dari petugas kepolisian.
Fajar langsung menemui petugas yang menghubunginya.
"Apa anda mengenal benda ini? Ini kami temukan di kantong jaketnya Alfan."
Sejenak mengamati beda itu.
"Ini kan, cincin Mentari?" serunya kaget. Ia ingat cincin itu selalu melingkar di jari Mentari.
"Anda yakin?"
"Benar, pak. saya sangat yakin."
"Berarti ada kemungkinan menghilangnya ibu Mentari ada hubungannya dengan saudara Alfan."
"Bukan kemungkinan lagi, tapi pasti dia pelakunya. Dia sakit hati karena kami mau menikah." jelas Fajar dengan sedih.
"kami sangat paham perasaan anda. Tapi hukum tidak bisa menuduh tanpa bukti. tunggulah sebentar lagi kami akan segera bertindak."
Fajar meninggalkan kantor polisi dengan hati gundah. Di tengah jalan dia berpikir akan kerumah sakit untuk melihat Alfan. Siapa tau Alfan sudah sadar dan bisa menjelaskan apa yang terjadi.
Sampai disana dia kecewa karena Alfan belum sadar. hanya ada Bu Karsih yang setia menemaninya.
Walau pandangan Bu Karsih kurang bersahabat, Fajar berusaha menyapanya.
"Bagaimana kondisi Alfan saat ini?"
"Seperti yang kau lihat. Dia masih terbaring tak berdaya. kau puas kan melihat dia seperti ini."
Fajar hanya menarik nafas panjang. Percuma berdebat dengan orang tua itu.
"Raya kemana!" pertanyaan itu terlontar begitu saja.
Sebenarnya Fajar sangat antipati pada gadis itu. Tentu saja karena perbuatannya yang menyakiti Mentari. tapi ia merasa aneh juga kenapa gadis itu tidak ada untuk menjaga suaminya.
"Entah dimana dia sekarang. Sama anaknya saja tidak perduli apalagi pada Alfan."
Wanita itu terlihat putus asa. Fajar baru tau kalau Raya seperti itu.
"Memangnya kenapa? hubungan mereka baik-baik saja, kan?"
"Iya, mulanya. Tapi Raya merasa Alfan mengejar Mentari lagi, mereka mulai renggang dan sering bertengkar. Raya merasa di tipu."
"Iya, sih. Wajar kalau Raya marah. Alfan sendiri yang sudah membuang istri yang sebaik Mentari. Tapi kenapa sekarang mau mengejarnya lagi."
Komentar Fajar membuat wanita itu tidak senang.
"Kalau keberadaan mu di sini hanya untuk menyalahkan Alfan, silahkan pergi saja...!'
Baiklah, tapi bukan itu maksudku. Aku hanya ingin mengetahui keadaannya. Bagaimanapun dia adalah sahabatku juga."
Fajar meninggalkan ruangan itu.
Saat tiba di parkiran ponselnya berbunyi. ia berharap ada keajaiban. Mentari lah yang menelponnya saat ini. Betapa leganya jika itu yang terjadi.
"Abah..? Tumben sekali. Untuk apa dia menelpon ku.'
Fajar merasa bimbang. Disini kabar Mentari belum di ketahui. Sementara Abah, ayah angkatnya yang sudah membesarkannya menyuruhnya pulang segera.
Abahnya bilang sangat mendesak hingga dia tidak bisa di tunda.
Dia sudah menceritakan keadaannya dan tentang Mentari yang hilang. Tapi orang tuanya tidak menerima.
Dengan terpaksa Fajar Meninggalkan Mentari. Sebelumnya dia minta pada polisi agar memaksimalkan pencarian dan selalu mengabarinya. Begitu juga dengan Viola. Dia minta maaf karena harus pergi di saat Mentari sangat membutuhkan bantuannya.
"Aku janji, setelah urusan Abah selesai, aku segera balik. Tolong kabari tentang apapun yang menyangkut Mentari." pesannya kepada Viola.
Viola mengerti, perasaan Fajar pada Mentari begitu besar. Tapi dia juga harus berbakti pada Abah, orang yang sudah membesarkan dan memberinya pendidikan hingga dia menjadi seperti sekarang.
***
"Abah tau musibah yang sedang menimpamu. Tapi kami juga tidak punya pilihan lain.
Fajar duduk tertunduk di hadapan orang tua angkatnya.
Di sampingnya juga duduk adik angkatnya Wanda dengan wajah tertekuk.
Sepenggal ceritanya sudah ia ketahui.
Tunangan Wanda meninggal tiga Minggu yang lalu. Wanda terus menangisinya sepanjang waktu sampai tidak mau makan. alhasil dia pingsan dan di larikan ke dokter.
Abah dan Emak begitu kaget mengetahui kalau Wanda sedang hamil.
Mungkin karena itulah Wanda tidak bisa menerima kepergian tuangannya.
Stres, panik dan malu tentu saja di alami Abah. Tapi apa hubungan dengan dirinya Fajar masih belum paham.
"Ini sangat berat buat Abah, tapi tidak ada pilihan lain. Untuk menutupi aib keluarga, tolong menikahlah dengan Wanda.."
Fajar hampir pingsan mendengar kata-kata itu. Dia meraba dadanya.
Luka karena kehilangan Mentari masih basah. Tapi Abahnya sudah menambah beban yang begitu berat untuk nya.
"Kami tidak pernah meminta apapun selama ini. Kali ini tolonglah selamatkan keluarga kita." Emaknya ikut bicara dengan linangan air mata.
Wanda hanya diam membisu menatap ruang kosong.
Fajar terjebak dalam dilema antara memenuhi janjinya kepada Mentari atau membalas budi kepada orang yang berjasa dalam hidupnya.
"Ibu rela menyentuh kakimu, asal kau setuju menikahi Wanda. Kasian dia, setiap hari hanya termenung di depan pintu mengharap tunangannya akan datang menjemputnya." tangisan wanita itu membuat Fajar bimbang.
Tiba-tiba Abahnya memegangi dadanya sambil terbatuk. nafasnya memburu.
Fajar dan Emak menolongnya
"Kita bawa kerumah sakit..!" ujar Fajar panik.
Namun tangan Abahnya menolak.
"Kau cukup menyetujuinya, Abah akan baik-baik saja." ucapnya dengan susah payah.
Tanpa pikir panjang Fajar mengangguk.
"Iya, Bah. Aku janji akan menikahi Wanda. Akan menjaganya Abah jangan khawatir."
Ucapnya sambil memegang tangan Abahnya.
Galau dan bingung bercampur. Fajar tidak bisa berpikir jernih. Saat berucap setuju pun Itu spontan saja.
Tapi Abah dan Emak sudah terlanjur senang.
"Abah sudah lega. Sekarang kau istirahatlah ini sudah malam. Besok kita bahas lagi rencana selanjutnya."
Dengan langkah gontai Fajar menuju bilik yang di sediakan untuknya.
💞Bersambung..!
.