--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 16
Lima batang emas dan dua helai selendang sutra dari Utara, langsung membuat pasang mata Amber berbintang terang sampai dia lupa pipinya terluka gores karena situasi yang dihadapinya.
Itu cara Xavier memancing keterbukaan lebih melebar wanita dayang itu. Karena dari awal, penjelasannya terus dipotong-potong seperti dalam saringan.
Jadi itulah cara efektif.
Orang-orang seperti Amber hanya butuh uang, dan Xavier menawarkan itu berikut kematian yang mengerikan.
Seperti merogoh berlian di dalam mulut buaya, Amber tetap tak punya opsi.
Fakta sebenarnya yang didapat Xavier dari dayang itu setelah dicambuk ancaman ketat adalah;
Ketidakwarasan Ashiana ternyata bukan disebabkan karena trauma kematian orang tua dan kehilangan saudara kandung, melainkan pemberian pil ramuan yang didapat Jennefit entah dari mana, secara berkala, yang dimana ramuan itu berfungsi untuk merusak dan mengacaukan saraf otak seseorang hingga menjadi gila.
Kesimpulannya, Ashiana sengaja dibuat gila. Penjelasan Amber di bab sebelumnya diacak-acak.
Keterkejutan Xavier bertambah kadar, bahkan sudah melampaui batas.
Amber masih menyambung penjelasannya, “Pil ramuan itu bekerja lambat, jadi siapa pun tidak akan curiga jika Putri dicekoki selama itu.”
“Berapa lama?” Xavier bertanya.
“Ya?" Amber melengak karena pertanyaan itu terdengar ambigu.
“Berapa lama batas waktu sampai kondisi terparah?” tekan Xavier.
Amber mendesah panjang, lalu menjawab, “Kurang lebih enam tahun, Tuan.”
DEG!
Xavier terpukul perasaannya, dan itu lumayan terasa sakit.
Enam tahun?
“Dari umur lima belas tahun, Putri dicekoki ramuan itu, untuk memperparah keterpurukannya karena kehilangan yang berlarut. Dan usianya sekarang menanjak angka 21 tahun. Artinya ... sudah hampir enam tahun, Tuan. Menurut perhitungan, saat ini mungkin Putri dalam kondisi terburuk.”
Xavier tercenung dengan degupan jantung bertabuh cepat.
“Lalu apa penawarnya?!” tanyanya dengan nada yang berat.
Amber menelan ludah, membeku sesaat lalu menggeleng kaku.
“Apa maksudnya dengan gelenganmu itu?!”
Penjelasan Amber, “Jika pil ramuan itu sudah berhasil merusakkan saraf tujuan, maka tidak akan bisa disembuhkan dengan obat atau sihir apa pun, malah kondisinya akan bertambah parah. Mendekati kematian fungsi seluruh tubuh, lumpuh, dan puncak terburuknya ... kematian.”
Lebih dari sekedar mengkhawatirkan.
Bayangan di kepala Xavier terputar pada kejadian dimana dia melihat Ashiana dalam keadaan menggigil, berkeringat dan ketakutan saat tertidur.
“Itu mungkin salah satu efek." Satu petikan jelas.
“Sudah hampir enam tahun! Kewarasannya sudah hampir sepenuhnya hilang.”
Amber melengak ke wajah Xavier yang tiba-tiba diam, lalu lahir perasaan iba di saat sama.
Sudah hidup dengan kutukan, menikahi putri yang gila, lalu akan juga ditinggal mati.
Dari ingatannya, Amber merangkum semua perlakuan Xavier pada Ashiana yang selembut itu dan bercicit, “Bagaimana bisa ada pria yang setulus ini mengasihi istri yang sama sekali tidak berguna?!”
Mungkin hanya Xavier.
Amber jadi merasa aneh sendiri. Dia termasuk salah satu tangan kanan Ratu Jennefit yang berperan penting dalam banyak hal terkait Ashiana. Itu agak riskan urusan keselamatannya. Setelah ini Xavier mungkin akan menebas kepalanya dengan pedang, seperti yang dilakukannya pada Hugo si singa nahas yang mati dalam hitungan detik.
“Lanjutkan!"
Amber melengak lagi.
Suara Xavier kaku dan berat, menahan geram dari amarah yang bertumpuk dalam dadanya.
Sesaat Amber meraup napas, lalu mengembuskan dengan cukup kasar. Kali ini dia berani mendongak, menatap ke dalam mata lelaki bermata merah itu dengan kekuatan.
“Batas hidup Putri mungkin tak akan lama lagi, Tuan. Karena itu, Kaisar dan Ratu menjadikannya hadiah pernikahan sebagai persembahan akhir sebelum kematian Putri yang mereka sangat yakin ....” Amber diam, merasa ragu, namun ditandaskannya kemudian, “Hanya menghitung bulan.”
Jeda sesaat.
“Batas kerja pil itu hingga kematian sejumlah enam tahun. Saya rasa, Putri sudah tidak akan bisa bertahan lama. Jadi ....” Amber kembali merunduk. “Maafkan saya.”
Tidak akan jawaban untuk pernyataan akhir, Xavier masih merasakan hati yang kebas.
Oh, Ashiana ....
Putri malang yang ... kenapa tak mati saja sedari awal?
Satu mulut Amber menghasilkan banyak informasi mengejutkan, tapi Xavier belum tahu harus memperlakukannya seperti apa sekarang.
Namun alih-alih berpikir dalam di air keruh, Amber mengacaukan itu semua. Ekspresi penyesalan dayang ini beberapa saat lalu tiba-tiba berubah seperti ditempa seulas harapan baru.
“Tapi, Tuan!”
Xavier melengak pada wanita itu. Keningnya mengernyit menyikapi kelakuannya.
Terlihat Amber menarik beberapa pautan napas sebelum kemudian melontarkan yang ada dalam kepala.
“Tapi jika Tuan Putri sungguh benar-benar hamil sebelum kematiannya dan berhasil melahirkan seorang anak, maka ... keturunan Kaisar Eugen tidak akan terputus. Itu malah akan menjadi ancaman lain bagi Ratu dan Kaisar Bjorn. Anda bisa mengentaskan kebobrokan mereka dengan membawa sosok keturunan yang kuat.”
Itu mengejutkan. Ya sangat mengejutkan sampai Xavier hampir terlonjak.
Membuat Ashiana hamil ....
Itu tidak ada dalam daftar rencananya.
Dan apakah kondisi Ashiana memungkinkan untuk mengandung?
Jikapun bisa, apakah bayinya tidak akan terdampak?
Banyak pertanyaan kritis mencuat ke kepala Xavier dalam sesaat.
Tapi dibanding itu ....
PATS!
Amber melotot lebar. Tatapan Xavier menusuk matanya sampai terasa menembus semua lapisan.
“Kenapa kau tiba-tiba bersemangat memberiku cara?”
GLEK!
Kini dayang itu menelan ludah. “I-itu, itu ....” Gegas dia merunduk. “I-itu karena ... karena saya merasa banyak bersalah pada Putri. Saya terlibat dan menyaksikan banyak bagaimana Putri diperlakukan. Jadi walaupun Anda akan membunuh saya sekarang, saya akan lenyap dengan tenang karena sudah menceritakan semua pada Anda. Saya tidak akan mati dalam keadaan jahat dan tidak juga membawa sesal.”
...----------...
Keputusan sementaranya adalah Amber dikurung di penjara mansion oleh Satoru atas perintah Xavier tentu saja.
Xavier masih harus berhati-hati dan sedikit banyak, Amber masih akan sangat dibutuhkan.
Lewat tengah malam. Sekarang dia berjalan menuju pintu kamar Ashiana, membuka dan menyibaknya lebar-lebar.
Selalu dalam keadaan segelap ini. Hanya cahaya dari lampu serambi.
Daphne terlihat lelap di ranjang kecilnya, di pojok ruang. Langkah kaki Xavier terayun pelan menuju tempat tidur istrinya.
Kuat keinginan untuk membelai rambut atau setidaknya mengecup kening, tapi dia cemas akan membangunkan wanita itu. Alhasil seperti biasa, hanya berdiri diam memandangi dari sisian ranjang.
“Aku tidak tahu bagaimana perasaanku terkait denganmu. Mungkin hanya perasaan iba dan tekanan tanggung sebagai seorang suami, tapi di balik itu ... aku sungguh tidak ingin melihatmu mati dalam keadaan seperti ini. Setidaknya kau harus bahagia, Ashiana, dan ... lahirkanlah seorang anak.”
Ng?
Memikirkan kalimat akhir, wajah Xavier jadi terasa panas. Sebelum beranjak jauh pada pemikiran konyol lainnya, “Aku harus pergi dari sini.” Gegas dia berlalu, meninggalkan ruangan sebelum kewarasannya juga dipertanyakan. “Aku masih harus memikirkannya baik-baik.”
Esok hari, mengikuti kata hati.
Kedua kalinya, seorang wanita dokter didatangkan ke mansion Xavier.
Seperti tujuan awal, meskipun pemaparan Amber tentang pil ramuan itu cukup mencuatkan rasa putus asa, tapi Xavier tetap ingin setidaknya berusaha walau dalam lingkaran kemustahilan.
Demi kemudahan pemeriksaan, terpaksa Ashiana dikekang dengan tali ikatan di atas ranjang.
Beberapa kali wanita itu berontak, tapi Daphne dan satu rekan pelayannya sigap menjaga.
Pemeriksaan usai dalam waktu kurang lebih setengah jam saja.
Ashiana dilepas setelah itu dan dibiarkan dalam penjagaan para pelayan.
Sedang untuk melaporkan hasil, dokter wanita bernama Merlia Laws itu menemui Xavier yang sudah menunggu di sebuah ruangan luas yang di mana terdapat selingkar sofa yang cukup mewah.
“Bagaimana hasilnya, Dokter Laws?" tanya Xavier, sedikit tak sabar, tentu saja setelah Merlia duduk di sofa yang diperuntukkan.
“Karena darahnya baru saya ambil hari ini, mungkin setelah beberapa hari hasilnya baru bisa saya bawakan. Untuk kondisi fisiknya saat ini ....” Dokter ini mengerut kening, ada kebingungan yang tersirat dan keraguan yang mencambuki.
“Ada apa, Dokter?" tanya Xavier. Eskpresi itu cukup membuatnya cemas.
“Untuk kondisi fisiknya ....”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞