Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.
Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.
Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Setelah bertarung mati-matian selama kurang lebih tiga puluh menit, Leo akhirnya bisa menarik napas lega meskipun tubuhnya penuh luka dan kelelahan. Dengan sekuat tenaga, ia berhasil menghindari semburan bola energi penghancur gabungan para Calamity, membuat serangan dahsyat itu menghantam dinding lorong.
Dentuman keras mengguncang seluruh Dungeon hitam, menciptakan getaran dahsyat yang membuat seolah-olah tempat itu akan runtuh kapan saja.
Namun, satu hal yang tak diperhitungkan oleh para Calamity adalah dampak serangan mereka sendiri. Getaran dan ledakan itu justru membangunkan Enzo dan Brock dari ilusi yang telah mengikat mereka.
"Ilusi sialaaaaaaaaaan!" teriak Enzo, bangkit sambil memegangi kepalanya dengan wajah penuh kepanikan. Dia terlihat benar-benar marah.
Di sebelahnya, Brock juga bangun dengan ekspresi serupa. "Kita kena jebakan makanan lagi, Bos! Benar-benar tidak bisa dimaafkan. Sialan memang." katanya dengan suara lantang, tinju dan sayap-sayap berhembus mengepal kuat.
Sementara itu, Leo, yang masih berjuang sendirian di depan mereka, melontarkan teriakan frustrasi. "Kalau kalian sudah sadar, cepat bantu aku mengatasi ini, woy!" serunya, hampir kehabisan tenaga.
Dia sedang menahan mulut besar salah satu Calamity dengan pedangnya. Wajahnya penuh keringat, dan tubuhnya tampak bergetar karena kelelahan.
Kurang lebih seratus tujuh puluh Calamity Round 1 lainnya sedang bersiap menyerang kembali, sisanya sudah Leo tumbangkan, energi destruktif mereka memancar semakin intens.
Melihat situasi tersebut, Enzo dan Brock langsung melesat ke medan pertarungan tanpa ragu, meninggalkan rasa bersalah di hati mereka karena telah merepotkan Leo.
Dengan satu pukulan keras, Enzo menghantam Calamity yang ditahan Leo. Tubuh monster itu seketika hancur berkeping-keping tanpa meninggalkan apa pun kecuali cairan hijau yang membanjiri lantai lorong.
Di sisi lain, Brock melompat ke depan, tangan naganya menciptakan bola-bola api besar yang menyala terang. Dengan akurasi yang sempurna, dia meluncurkan bola-bola api itu ke arah tujuh Calamity yang hendak menyerang Leo dan Enzo, membakar mereka hingga tak tersisa.
"Hancurlah kalian keparat." sorot mata Brock seakan-akan menyala-nyala, penuh kekesalan pada tempat ini.
"Sudah berapa lama kami berdua tertidur? Leo." tanya Enzo kepada Leo sambil mengeluarkan pedangnya, bersiap menghadapi sisa gerombolan monster.
Leo menghela napas panjang, suaranya terdengar lelah namun masih tegas. "Kisaran tiga puluh menit. Selama itu aku hampir mati bertarung dan melindungi kalian berdua. Sekarang tubuhku seperti mati rasa... Sisanya ku serahkan pada kalian!"
Mendengar itu, Enzo dan Brock saling bertukar pandang, sorot mata mereka menyiratkan tekad yang sama. Mereka tahu ini adalah saatnya untuk membalas perjuangan Leo dan memastikan tak ada satu pun Calamity yang tersisa di Dungeon hitam ini.
"Yeah, kau santai saja dan nikmati pertunjukan kami berdua," ujar Enzo dengan senyum penuh percaya diri sambil melirik Leo. Seolah-olah kemenangan ini sudah dipastikan, bahkan sebelum dimulai.
"Sekarang giliran kita, Bos! Wha-ha-ha! Tidak ada ampun! Mari kita tunjukkan siapa kita sebenarnya!" sambung Brock, suaranya menggema di lorong gelap itu. Dari mulutnya, semburan api panas menyala terang, memberikan aura intimidasi yang luar biasa.
Tanpa ragu, mereka berdua melancarkan serangan. Kombinasi kekuatan mereka adalah bencana bagi para Calamity. Monster-monster besar itu tak memiliki peluang sedikit pun. Tubuh mereka terpental dan terbang ke segala arah, menghantam dinding dan lantai Dungeon dengan suara menggelegar.
Teriakan raungan kematian bergema di lorong. Lorong Dungeon hitam itu seolah berubah menjadi panggung kehancuran, tempat Enzo dan Brock memamerkan kekuatan destruktif mereka. Setiap serangan yang dilepaskan seakan mengukir kematian para Calamity, tanpa ampun.
Tak sampai lima menit, semuanya selesai. Tak satu pun Calamity tersisa. Lorong itu kini dipenuhi potongan-potongan daging dan genangan cairan hijau yang menguarkan bau busuk. Pemandangan tersebut adalah peringatan mengerikan bagi siapa pun yang berani menantang mereka.
"Itulah harga yang harus kalian bayar, monster-monster sialan! Berani-beraninya kalian membuat teman ku terpojok! Wha-ha-ha!" Enzo berteriak penuh kepuasan, diiringi tawa nyaring yang menggema di sepanjang lorong.
Di sisinya, Brock menimpali dengan raungan berat, menggetarkan seluruh tempat. Suaranya menakutkan, seolah menjadi deklarasi bahwa mereka adalah kekuatan yang tidak bisa dihentikan.
"Raurhhhh"
Seakan belum usai, suara derap langkah berat mulai menggema di lorong gelap itu. Kali ini, ribuan monster jenis Calamity Round3 (Monster jenis spesies Calamity tingkat tertinggi) menjelma dari kegelapan, bergabung dengan roh-roh jahat tingkat superior bersenjata lengkap. Jumlah mereka terus bertambah, tak terbendung, memenuhi lorong seperti gelombang pasang yang datang tanpa henti.
Dungeon hitam itu seolah-olah melawan semua hukum realitas. Meski ruangannya terbatas, entah bagaimana caranya, tempat ini mampu menampung ribuan—bahkan mungkin lebih—makhluk mengerikan yang tampak seperti tercipta untuk membinasakan. Aura kematian dan kehancuran yang menyelimuti Dungeon terasa semakin pekat, membuat siapapun yang lemah hati akan terhimpit oleh ketakutan bahkan kematian.
Leo berdiri mematung, tubuhnya membeku sesaat. Mata lelahnya membulat, terperangah melihat pemandangan di hadapannya. "Ini… ini benar-benar gila," gumamnya, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dagunya ternganga, dan tangan yang memegang pedang mulai bergetar.
Namun, kegilaan dari ribuan monster yang terus berdatangan justru tak sebanding dengan kegilaan dua sosok di sisinya. Alih-alih tegang atau ketakutan, Enzo dan Brock malah menatap kerumunan monster itu dengan senyum penuh gairah. Tatapan mereka lebih menyeramkan dibanding para roh jahat dan monster itu sendiri.
Enzo melangkah maju sedikit, bahunya terangkat, dan senyum miring menghiasi wajahnya. "Ayo kita buat ini menarik, Brock. Bagaimana kalau kita bertaruh? Siapa yang bisa menghabisi paling banyak monster malam ini, dia yang menang dan akan mengambil porsi makan pagi besok. Setuju?" tanyanya dengan nada santai, namun matanya memancarkan keganasan yang sulit dijelaskan.
Brock langsung menyahut dengan tawa menggelegar yang menggema di sepanjang lorong. "Wha-ha-ha! Siapa takut? Kau pikir aku akan kalah bos? Aku akan tunjukkan bagaimana caranya membantai semua makhluk sialan ini!" katanya sambil melirik balik Enzo.
Leo hanya bisa memijat pelipisnya, napasnya terasa berat karena kelelahan, bukan hanya akibat pertarungan, tetapi juga karena tingkah dua saudara secawan nya yang tak masuk akal. "Sudahlah, aku tak tahu harus senang atau khawatir… Mereka lebih gila daripada para monster itu," gumamnya dengan nada lemah. Ia meletakkan pedangnya ke tanah, tubuhnya limbung, lalu memilih duduk di sudut.
Namun, di balik keluhannya, ada rasa lega yang tak ia ungkapkan. Enzo dan Brock, meski sering berbuat konyol, adalah dua sosok yang memiliki kekuatan di luar batas nalar. Kini, giliran mereka untuk beraksi.
Tanpa aba-aba, Enzo dan Brock menerjang ke medan pertempuran. Keduanya bergerak seperti badai yang meluluhlantakkan apa saja yang dilalui. Enzo, dengan senyumnya yang penuh percaya diri, mengayunkan pedangnya dengan presisi mematikan, menebas Calamity dan roh superior yang mendekat seperti memotong rerumputan. Setiap ayunan pedangnya menciptakan ledakan kecil yang mengguncang lorong.
Di sisi lain, Brock, dengan ekor dan sayap yang menyala-nyala, menciptakan serangan destruktif. Bola-bola api raksasa melesat dari tangannya, meledakkan kelompok monster dalam radius yang luas. Tawa kerasnya terus menggema, seolah-olah ia menikmati kehancuran yang ia sebabkan.
"Kau terlalu lambat, Bos! Aku sudah menghancurkan seratus! Bagaimana denganmu?" teriak Brock di tengah hiruk-pikuk pertempuran.
"Tunggu saja, aku akan menggandakan jumlah itu sebelum kau sempat berkedip!" balas Enzo sambil tertawa, matanya penuh semangat.
Leo sekali lagi hanya bisa menggelengkan kepala dari tempat duduknya, menonton aksi dua rekannya yang mengubah Dungeon hitam itu menjadi neraka bagi para monster.
“Kasihan sekali mereka,” Leo bergumam pelan sambil menyeka peluh di dahinya. "Monster-monster itu bahkan tak tahu bahwa mereka hanya menjadi bahan taruhan konyol di Dungeon mereka sendiri."
Nasib para monster dan roh jahat tingkat superior kini tak lagi bisa digambarkan dengan kata-kata. Mereka hanyalah ladang taruhan tak berarti, meski jumlahnya terus bertambah seolah tak mengenal akhir. Suara dentuman keras dan getaran tiada henti menggema di sepanjang lorong, seolah-olah Dungeon hitam itu sendiri sedang mengalami kehancuran total.
Enzo dan Brock mengamuk seperti binatang buas yang lepas dari kendali, tanpa pawang yang mampu menjinakkan mereka. Gerakan mereka laksana badai maut yang tak dapat dihentikan. Tubuh-tubuh para monster terlempar ke udara, menghantam dinding, dan remuk tanpa bentuk. Pemandangan ini seperti simfoni kebrutalan—diiringi jeritan kematian, suara patahan tulang, dan ledakan yang terus bergema tanpa henti.
Dungeon hitam, yang katanya paling misterius dan menakutkan di antara semua Dungeon, kini tak lebih dari panggung kehancuran di hadapan dua sosok itu. Monster yang menjadi simbol teror, Calamity Round 3, memiliki kekuatan setara dengan pahlawan platinum atau bahkan diamond, namun kini tak lebih dari mangsa mudah. Bahkan roh-roh jahat tingkat superior, yang dianggap sebagai ancaman terbesar, hancur tanpa sempat memberikan perlawanan berarti.
Setelah mengalahkan semua monster yang menghalangi jalan, mereka bertiga melanjutkan perjalanan, menyusuri lorong panjang yang semakin gelap dan sunyi. Udara di sekitarnya terasa semakin berat, menekan setiap langkah yang mereka ambil. Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang dipenuhi pilar-pilar hitam berukir, berdiri tegak seperti penjaga abadi.
Tempat itu sunyi. Tak ada suara kecuali deru napas mereka sendiri. Namun, sunyi itu justru membawa tekanan yang luar biasa, seperti sebuah ancaman yang tersembunyi di balik kegelapan.
"Apakah ini tempat bos terakhirnya?" tanya Enzo, suaranya menggema pelan di ruangan yang luas. Ia menoleh ke kanan dan kiri, matanya menyapu setiap sudut, mencari tanda-tanda keberadaan musuh. Meski berusaha tenang, batinnya tak bisa membohongi rasa waspada. Aura energi di tempat ini begitu besar, hampir tak tertahankan.
"Sepertinya begitu, Bos," jawab Brock sambil mengepalkan tinjunya. Ia juga merasakan tekanan luar biasa yang menggantung di udara. "Aku bisa merasakan energi besar yang terkonsentrasi di sini. Sesuatu... atau musuh, pasti ada di sini."
Leo, yang berjalan di belakang mereka, menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menyisir ruangan dengan penuh kewaspadaan. "Kita harus berhati-hati," katanya, suaranya penuh peringatan. "Dungeon ini berbeda. Tidak seperti yang pernah kita taklukkan sebelumnya."
Ketiganya berdiri dalam formasi, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin muncul. Aura gelap yang melingkupi tempat itu seolah hidup, merambat dan mengintimidasi mereka. Setiap detik yang berlalu terasa seperti sebuah ujian, menguji keberanian dan ketabahan mereka.