Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ke-2
Hari ke dua
Alarm berbunyi nyaring, dengan malas ku matikan. Mataku menyipit, kenapa terang? Bukannya gorden kamar masih tertutup? Jangan-jangan,--
Tidak! Sudah jam 8. Kenapa aku bisa kesiangan? padahal aku langsung tidur selepas isya.
Sudah tak ada waktu lagi untuk mandi. Segera ku sambar seragam kantor, dan memakainya buru-buru. Secepat kilat ku ambil kunci mobil, lalu berlalu pergi dengan kecepatan tinggi.
"Tumben telat, Pak? Biasanya rajin banget datang pagi, hehe." Satpam membukakan gerbang, sepertinya semua karyawan sudah datang, kecuali aku.
"Iya, Pak. Sudah dulu ya!" Tak ku hiraukan sindirannya, langsung ku parkirkan mobil di halaman kantor.
Aku berlari menuju ruangan, dan … terlambat. Pak Ansor sudah berkacak pinggang di depan ruanganku.
"aduh aduh... Darimana saja, Pak Ridwan? Lupa ya hari ini anda harus membawa laporan keuangan ke ruangan saya?" Raut wajahnya benar-benar tak bersahabat. Ingin berbohong jalanan macet, namun rasanya hal itu terlalu lumrah untuk dikatakan. Ia termasuk pimpinan yang disiplin dengan waktu. Aku tak mungkin mencari banyak alasan.
"Hahaha... Wan kamu ke kantor ileran gitu. Belum mandi, ya?" Anto cengar-cengir di belakang pak Ansor.
"Iya nih, tuh juga kotoran di mata masih nempel." Seseorang yang melewati kami saling menimpali dan menertawakan ku.
"Maaf, Pak. Saya masuk ruangan dulu. Nanti saya antarkan laporannya ke ruangan Bapak." Aku buru-buru masuk ruangan. Ku tutup telinga dari cemoohan teman-teman yang lain.
Kuambil cermin kecil di laci, kotoran mata masih bergelayut di sana, rambutku acak acakan, mataku memerah, dan iler nampak jelas di pipiku, kelihatan sekali belum mandi. Pantas saja bila orang-orang menertawakan ku.
Aku segera masuk ke kamar mandi untuk cuci muka. Setidaknya wajahku terlihat segar, pastinya orang lain tak akan menertawakan ku lagi.
"Ini gara-gara Limah. Untuk apa dia pindah rumah segala? Berantakan semua urusanku di kantor jadinya," gerutuku pelan.
***
"Ini Pak, laporannya. Maaf saya terlambat." Setelah menyodorkan map yang berisi laporan, aku pamit untuk beranjak pergi ke ruangan. Ku jatuhkan bobotku di kursi. Tak ada satupun chat masuk. Apa orang-orang sudah tidak peduli lagi denganku?
'Aa rindu, May,' batinku, sambil melihat profil instagramnya. Kecantikannya selalu mendapat pujian dari puluhan laki-laki, dengan bangga aku menepuk dada. 'Mereka hanya bisa mengagumimu, namun sebentar lagi aku yang memilikimu, May.'
Tak mau dapat teguran kedua kalinya, ku lanjutkan pekerjaan kantor hingga waktu istirahat tiba.
"Makan gak?" Kepala Anto muncul tiba-tiba dari balik pintu.
"Ish ... Ish... bocah. Ketuk pintu dulu napa? Maen nongol aja,” gerutuku kesal. Hampir saja beberapa lembar kertas yang sedang kupegang terlempar ke arahnya.
"Wkwk lagian dari tadi ngelamun terus. Dah kayak ayam kena penyakit ayan, tahu?" tawanya renyah terdengar, namun begitu memuakkan di telingaku.
"Diam kau! Aku lagi kesel hari ini."
"Kenapa?" tanyanya penasaran sembari memasuki ruangan dan duduk di sofa.
"Si Limah, pindah dari rumah," cetus ku kesal. Aku masih tidak habis pikir dengan jalan pikirnya yang aneh.
"Hah serius?" Anto mendekat ke arahku, aku hanya mengangguk lemah.
"Kenapa?" sambungnya terlihat penasaran.
"Karena mau ku ceraikan," jawabku enteng, namun ia terlihat terkejut dengan penuturan ku.
"buset kalau ngomong. Ngapain cerai segala, si? Punya bini cakep bukannya bersyukur malah dicerai,” gerutunya. Tangannya gatal memukul-mukul mejaku pelan.
"Aku gak cinta. Masa ia harus ku habiskan sisa umurku sama orang yang gak dicintai," sahutku. Memang itu alasannya. ‘Anto pasti akan mendukungku,’ pikirku.
"Hah? Cinta? Emang apa si definisi cinta menurut kau?" Dia bertanya.
"gimana, ya? Ya kaya ada perasaan berdebar ketika kita berada didekatnya, hati berbunga-bunga setiap saat, ya pokonya gitu lah." Aku senyum-senyum sendiri membayangkan wajah May.
"Dada berdebar dada berdebar pala mu, Wan! Noh yang ada perutmu bergetar karena lapar,"
ledeknya lagi. Benar-benar tak seperti yang kubayangkan.
"Aku serius, To!" jawabku ketus. Keinginanku untuk berkeluh kesah kepadanya sirna seketika. Jawaban Anto malah membuatku semakin kesal.
"Yaudah cerai aja. Cari perempuan yang membuat perutmu bergetar lapar! Biar Limah aku nikahi. Dasar laki-laki gak bersyukur,” cemooh nya.
"Kalau aku jadi kau ni yah, ada perempuan yang tulus sayang sama kita, ngurusin, ngerawat anak di rumah, mendidik anak dengan baik, menjaga harta dan martabat suami, dah aku bersyukur banget. Gak usah muluk-muluk cinta cintaan," imbuhnya terlihat kesal.
"Jelaslah kau bilang gitu. Kau kan jomblo abadi," timpal ku pedas. Pantas memang ia berkata begitu. Anto enggak pernah tahu pentingnya kenyamanan hati dalam rumah tangga.
"Gak bakal jomblo lagi, bentar lagi aku punya istri sekaligus dua anak yang lucu,” kilahnya cepat.
"Istri mana yang kau maksud, ha?" ungkap ku marah.
"Istri kau lah yang mau dicerai itu." Dia beranjak pergi meninggalkanku. Dadaku serasa mendidih mendengar penuturannya. Teman macam apa dia? Bukannya mendukung malah merebut istriku.
***
"Hay Limah, Assalamu'alaikum," sapaku ketika melihat Limah sedang berada di depan rumahnya.
"Eh, Mas yang kemaren belum kenalan, ya? Waalaikumsalam. Siapa Mas namanya?" Pandangannya tak lepas dari bunga-bunga yang sedang ia siram.
"Udah gak usah mulai deh. Aku kangen sama Jingga. Mana dia?" tanyaku sembari mengedarkan pandangan ke semua penjuru rumah.
"Jingga lagi ngaji di Mushala sama temen-temennya," jawabnya cepat.
"Oh gitu." Kami sama-sama terdiam.
"Jalan-jalan yuk!" sambung ku.
"Kemana?" Limah mendongak menatapku.
"Keliling komplek aja. Gimana?" Dia melirikku malas. "Mau nggak? Sekalian kita kenalan deh. Ntar aku traktir es krim." Aku menaik turunkan alis merayu.
"Yaudah aku kunci pintu dulu ya." Dia beranjak mengunci pintu, lalu bergegas ke arahku.
Limah memakai gamis berwarna hijau army dengan kerudung berwarna senada. Tanpa polesan pun ia sudah tampak cantik.
"Mas!" Limah melambaikan tangan ke arah wajahku.
"Eh iya, gimana?" Aku tak sadar sedang memandangi wajahnya sedari tadi.
"Ayo jalan! Ngapain ngelamun ileran gitu?" ketusnya.
"Ah enggak. Ayo jalan." Aku menutupi grogi ku. Ish kenapa si aku ini malah ngeliatin terus?
Berjalan berdampingan dengannya serasa kembali pacaran. Apa mungkin karena kami jarang pernah berjalan berdua? Entahlah.
"Tuh dah nyampe taman. Duduk di situ, yuk!" Baru saja aku mau memegang telapak tangannya, dia langsung berjalan cepat menuju kursi putih panjang di sekitar taman.
"Bagus ya, Mas taman di komplek ini. Banyak bunga-bunganya." Limah menghirup nafas dalam, kelihatannya sangat senang dengan kondisi yang cukup sejuk dikarenakan taman yang rindang oleh pepohonan.
"Perkenalkan, namaku Ridwan Al ghifari, umur 28 tahun, tempat tanggal lahir, Cirebon, 7 Maret 1993, hobi main futsal, apa lagi? Ada yang mau ditanyakan, Nona Limah?" Aku berdiri di depannya seperti sedang persentasi.
"Haha... Terima kasih perkenalannya, Tuan Ridwan. Ternyata Tuan sudah tua, ya." Dia terkekeh menutup mulut.
"ahaha... Ayo perkenalkan dirimu, Nona!" tukas ku. Limah berdiri namun tidak menghadap ke arahku. Tatapannya lurus ke depan.
"Perkenalkan namaku, Halimah. Aku adalah istri yang disia-siakan suaminya." Senyumnya getir. Perkataan singkatnya membuatku terdiam seketika.
“Tuan abis kena hipnotis apa gimana, ha? Dari tadi ngelamun terus perasaan," sindirnya.
"Ah enggak. Salam kenal ya Nona Halimah." Aku berniat mencium tangannya, namun baru saja tangan itu ku genggam dan kepalaku menunduk, tangannya sudah lincah dengan berbagai tangkisan.
"aduh … ampun Limah ampun!" Dia memukuli kepalaku dengan tangannya.
"Maen cium aja. Dasar laki-laki gak sopan!" ketusnya. Ia cemberut menggemaskan sekali.
"Kamu ini istriku, aku lakukan lebih pun tak dosa." Aku mengedipkan mata merayunya.
"Dih jauh-jauh sana!" Dia langsung menggeser duduknya menjauh dariku.
"Mang ice cream!" Limah memanggil penjual ice cream yang sedang kebingungan mencari pembeli.
"Aku mau tiga ya, dibungkus dua!" ucapnya sambil sibuk memilih ice cream. Dalam hitungan detik ice cream sudah berpindah ke tangannya.
“Tuan silakan bayar!” titahnya kepadaku sembari berkacak pinggang. Aku tersenyum geli mendengar penuturannya.
“Jangan senyam-senyum begitu, Tuan! Tukang ice cream hanya butuh uangmu, bukan senyummu,” ketusnya.
“Hehe, baiklah Nona. Aku akan membayarnya. Cukup segitu saja ice cream nya?” tanyaku.
“Segini dulu,” sahutnya. Lalu kembali memakan ice cream nya. “Mang jangan kemana-mana dulu, ya!” ujarnya dengan mulut penuh dengan ice cream.
"Pelan-pelan makan ice cream nya! Nanti tersedak, lo." Aku berniat menghapus bekas ice cream di bibirnya, namun tangannya selalu sigap menghadang tanganku untuk menyentuhnya.
"Biarin! Mumpung ditraktir." Tatapnya nyalang, seperti takut akan ku ambil lagi es krim di tangannya.
“Tukang ice cream nya juga masih di situ, Nona. Tidak perlu kamu terburu-buru,” ledekku. Bapak penjual ice cream tertawa mendengarkan celotehan kami.
"Mang satu lagi, deh!" Baru saja aku mau membuka bungkus es krim, dia sudah habis 2.
Aku hanya tertawa memandanginya, Limah, entah kenapa akhir-akhir ini kamu selalu membuatku gemas!