Lunar Paramitha Yudhistia yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi harus menerima kenyataan pahit bahwa ayahnya menikah lagi dengan rekan kerjanya. Ia tak terima akan hal tersebut namun tak bisa berbuat apa-apa.
Tak disangka-sangka, wanita yang menjadi istri muda sang Ayah menaruh dendam padanya. ia melakukan banyak hal untuk membuat Lunar menderita, hingga puncaknya ia berhasil membuat gadis itu diusir oleh ayahnya.
Hal itu membuatnya terpukul, ia berjalan tanpa arah dan tujuan di tengah derasnya hujan hingga seorang pria dengan sebuah payung hitam besar menghampirinya.
Kemudian pria itu memutuskan untuk membawa Lunar bersamanya.
Apa yang akan terjadi dengan mereka selanjutnya? Yuk, buruan baca!
Ig: @.reddisna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda Dwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16: Met My Old Friend
Pagi menjelang, sinar mentari mulai merekah membawa kehidupan untuk segala makhluk yang ada di bumi. Kicauan burung yang menari-nari di atas dedaunan menginterupsi indera pendengaranku. Aku menggeliat di atas ranjang dan membuka mataku perlahan, manik hazelku mengamati sekeliling ruangan dengan tenang.
Aku segera bangun dari ranjang dan mengambil ponsel yang tergeletak di meja, ada notifikasi missing alarm sebanyak sepuluh kali di sana. Aku mengusap wajahku dengan kasar, bisa-bisanya aku tak mendengar suara sekeras itu. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, mataku terbelalak. "Astaga! Aku bisa terlambat kalau begini," mataku yang semula mengantuk akhirnya terbuka lebar.
Langkahku tergesa, meninggalkan ponselku begitu saja di atas meja. Bergegas membersihkan diri, berusaha secepat mungkin. Aku hanya membutuhkan waktu sepuluh menit membersihkan diri dan mulai bersiap-siap. Memilih pakaian kasual yang terlihat sopan dengan riasan natural.
"Sempurna!" ucapku sembari menyisir rambutku yang bergelombang. Aku membiarkannya sorai panjang itu tergerai dengan hiasan jepit rambut. Aku menatap diriku yang tengah berdiri di depan kaca, tampak lebih segar dari biasanya.
"Bagaimana, apa kau sudah siap?" intip Kak Hana dari luar pintu kamarku.
Aku tersenyum dan mengambil tas selempang yang tergeletak di nakas. "Ayo!" aku menarik tangan Kak Hana, menuruni tangga dengan antusias.
"Kau bersemangat sekali ya ..."
"Tentu saja! Aku sudah lama tidak bertemu dengannya," potongku dengan antusias.
Kak Hana hanya menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum tipis. Mengikuti derap langkahku yang begitu cepat, antusiasme dalam diri ini tak bisa dibendung lagi.
Aku dan Kak Hana sepakat memesan taksi untuk membawa kami ke tempat tujuan yang jaraknya kurang lebih lima belas menit dari rumah. Kami menikmati perjalanan yang singkat itu dan membicarakan banyak hal tentang kehidupanku semasa duduk di bangku SMA. Rasa rindu membuncah di dada setelahnya, sekarang bagaimana ya keadaan mereka?
Setelah memberikan uang tip, kami berdua turun di sebuah cafe bergaya minimalis yang terletak dipusat kota. Ramai orang berlalu-lalang dengan segala aktivitasnya. Pusat kota memang selalu sibuk.
"Wow, cafe yang cukup modis!" ucap Kak Hana saat kami berdua memasuki cafe itu.
Aku tak menanggapi, manik hazelku fokus mengamati. Mencari seseorang yang sudah tak kutemui selama beberapa bulan ini. "I got you," aku melihatnya di meja nomor tujuh, duduk sendirian dengan segelas kopi yang belum tersentuh.
Aku melangkahkan kakiku dengan mantap, berjalan ke arahnya dengan senyum yang merekah. "Hai, Sayang! Apa kau merindukanku?" aku menutup kedua matanya dengan tanganku.
Rinai yang merasa familiar dengan suara itu tersenyum, menampakkan deretan giginya yang rapi. Ia menyingkirkan tanganku dan beranjak dari tempat duduknya. "Astagaa! Kemana saja kau selama ini, aku terus mencarimu tahu!" tubuh jangkung itu memelukku dengan erat, menyesakkan namun aku tak bisa menolak. Ku balas pelukan hangat itu dengan riang gembira.
Kami bertiga pun duduk, aku memperkenalkan Kak Hana kepadanya. "Perkenalkan, ini adalah Kak Hana. Dia adalah teman, keluarga, sekaligus rekan kerjaku."
Aku sempat menyinggungnya saat kami berbicara lewat Messenger, Rinai sudah tak asing dengannya. "Oh, Hai! Aku Rinai, akhirnya aku bisa bertemu langsung denganmu ... Lunar dan aku sempat membicarakan dirimu lewat telepon," ucapnya memperkenalkan diri.
Kami bertiga memesan beberapa kudapan dan kopi untuk menemani percakapan yang akan berlangsung lama ini. Kak Hana memesan croissant dan secangkir coffe latte, begitupun dengan aku. Sementara sahabatku memesan tiramisu cake.
"Jadi, apa yang kau lakukan hingga menghilang berbulan-bulan?" Rinai mengawali percakapan.
"Apa kau bermasalah lagi dengan Ayahmu? Huh, jika iya aku akan menghajarnya!" ia mengepal tangannya.
Aku bergidik ngeri, Rinai adalah atlet tinju dengan stamina dan kekuatan yang tidak perlu diragukan lagi. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ia benar-benar menghajar Ayahku.
"Yah, begitulah. Aku bahkan sempat bertengkar dengannya setelah pergi meninggalkan rumah," aku menopang dagu dengan kedua tanganku.
"Kau tahu? Dia menangis semalam suntuk karena hal itu!" timpal Kak Hana, ia memasukkan sepotong croissant ke mulutnya.
Mata gadis jangkung itu terbelalak, tak percaya. "Seorang Lunar menangis?" ia mengenal diriku sebagai gadis yang kuat dan tidak mudah goyah.
"Mungkin aku sudah terlalu lelah untuk menahan semuanya, kau tahu? Sebenarnya aku ingin sekali menangis setiap kali Ayah menyiksaku karena wanita itu, tapi aku selalu berusaha menahannya. Aku hanya berpura-pura acuh akan semua yang terjadi. Jiwa ini sebenarnya rapuh namun selalu berusaha untuk tetap terlihat kuat," satu tegukan kopi berhasil masuk ke tenggorokan setelah aku menyelesaikan ucapanku.
"Astaga sayangku ..." Kak Hana langsung memelukku dan mengusap-usap pucuk kepalaku, kemudian beralih untuk menciumi wajahku.
Aku menatapnya dengan tatapan geli, apa sih yang dia lakukan? Aku berusaha melepaskan pelukannya yang sangat erat. "Apasih, kau ini berlebihan!" aku mendorongnya.
Sementara Kak Hana malah tertawa geli, ternyata dia benar-benar sengaja menggodaku, bermaksud mencairkan suasana mungkin.
"Memangnya kenapa sih? Aku kan cuma ingin menghiburku, kau terlihat sedih," ia menarik-narik pipiku gemas.
Rinai melihat interaksi kami berdua dengan simpul di wajahnya. "Aku senang kau bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa menghargaimu."
"Aku benar-benar khawatir saat kau tiba-tiba menghilang beberapa waktu lalu, tapi sekarang aku senang karena kau baik-baik saja," imbuhnya.
"Maaf, aku tak menghubungimu saat itu," aku menundukkan kepalaku. "Aku meninggalkan ponselku di rumah, dan hanya membawa buku favoritku," aku berusaha menjelaskan, rasa bersalah membuncah di dadaku.
Gadis jangkung itu menyibak rambut keritingnya. "Tidak apa-apa, Sayang. Itu bukan salahmu," ucapnya berusaha menenangkan.
"Sudah-sudah! Jangan membuat suasana menjadi semakin kacau, lebih baik kita bermain ini ..." Kak Hana mengeluarkan kartu uno dari dalam tas mungilnya. Memang ya, dia selalu punya banyak hal yang bisa membuatku tertawa.
Aku dan Rinai mengangguk kompak. Ia meletakkan kartu itu di meja dan mulai mengacak kartu itu, kemudian membagikannya kepadaku dan Rinai.
"Aku sering memainkan permainan ini ketika merasa bosan," tuturnya.
"Aku juga! Menyenangkan sekali memang," balas Rinai sembari meletakkan kartunya di meja.
Aku yang tak terlalu mengerti tentang permainan hanya mengikuti alur keduanya, membiarkan keduanya bertarung dengan sengit sementara aku hanyalah pelengkap. Namun ini terasa menyenangkan. Berkumpul bersama mereka memulihkan energiku berkali-kali lipat.
Kami membicarakan banyak hal selama permainan ini berlangsung, Kak Hana menceritakan pekerjaannya kepada Rinai begitupun sebaliknya, kurang lebih satu jam kami memainkan permainan ini dengan tiga ronde. Semuanya dimenangkan oleh Rinai, dia memang pemain ulung.
"Ah sial, bisa-bisanya aku kalah!" gerutu Kak Hana.
"Jangan harap kau bisa menang jika aku ada dalam permainan itu," sombong Rinai.
"Menyebalkan!" Kak Hana mengacak-acak rambutnya frustasi. Aku dan Rinai tak bisa membendung tawa melihatnya.
Senda tawa terdengar begitu riuh memenuhi ruangan dengan gaya minimalis itu. Terasa begitu hangat. Rasanya aku tak ingin beralih, pergi dari kenyataan yang ternyata perih. Kuharap semua ini bertahan lama, tetaplah hidup kalian berdua.
Mampir juga di karyaku ya ka
semangat terus