"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 22
"Lepaskan aku! Kau pem bu nuh!"
"Diam, brengsek!"
"Apa yang akan kau lakukan padaku? Apakah kau juga akan membunuhku? Lepaskan aku!" teriak Ariella sambil tersengal-sengal kelelahan, masih mencoba melawan meski tubuhnya nyaris lumpuh.
Carlton tidak mengindahkan teriakannya.
Dengan langkah cepat dan tegap, pria itu membawa Ariella menuju mobil hitam besar yang menunggu di ujung jalan.
Beberapa anak buah Carlton berdiri di dekat mobil dengan wajah tegang, memperhatikan sekitar untuk memastikan tidak ada ancaman lanjutan.
Ketika Carlton membuka pintu mobil, Ariella meronta sekuat tenaga, memukul dada Carlton, mencoba melarikan diri.
"Aku tidak mau ikut denganmu! Aku lebih baik mati!"
Carlton menggeram, memaksa Ariella masuk ke dalam mobil.
"Diam! Kau akan mati jika tetap di sini. Kau pikir mereka tidak akan kembali mencarimu?"
Air mata Ariella mengalir deras. Luka di leher dan dadanya sangat perih.
"Aku tidak peduli! Aku tidak butuh bantuanmu!
Kau tidak berbeda dari mereka! Kau hanya ingin menggunakan aku!"
Carlton menarik napas panjang, berusaha menahan amarah.
Wajahnya yang biasanya tenang dan dingin, kini dipenuhi oleh kegelapan.
Ia menatap Ariella dengan tatapan yang sulit diartikan, antara marah dan frustrasi. "Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Kau akan ikut denganku, suka atau tidak suka!"
**
Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil dipenuhi keheningan yang mencekam.
Ariella duduk di sudut kursi belakang, tubuhnya meringkuk seperti anak kecil yang ketakutan.
Rambutnya kusut, wajahnya pucat pasih, ia bahkan tidak peduli pada luka yang ada lehernya meskipun masih meneteskan darah.
Sesekali, dia mencuri pandang ke arah Carlton yang duduk di sampingnya, menatap keluar jendela
dengan tatapan tajam ke jalanan gelap. Cahaya lampu jalan yang redup menyinari wajah Carlton, menonjolkan rahangnya yang tegas dan sorot matanya yang dingin.
Ariella tidak bisa menahan rasa takutnya.
Meski Carlton telah menyelamatkannya, pria itu adalah sosok yang sama sekali tidak bisa ia percayai.
Ia tahu Carlton adalah pria kejam yang terkenal di dunia gelap. Desas-desus tentang kekejamannya sudah banyak Ariella dengar dari Maria, dan malam ini ia melihatnya sendiri.
Bagaimana Carlton melubangi kepala orang lain semudah ia melubangi papan kayu.
Entah kenapa, pria itu selalu muncul saat dirinya berada dalam bahaya. Niatnya masih menjadi misteri.
"Tuan Rutherford," Ariella akhirnya memberanikan diri berbicara, suaranya bergetar.
"Apa yang kau inginkan dariku?"
"Berhenti menanyakan hal itu," katanya dengan suara dingin dan beratnya.
**
Setelah perjalanan yang terasa seperti seabad, mobil berhenti di sebuah rumah besar yang terletak di sudut kota Vegas, di sebuah daerah elit.
Oh, itu bukan rumah karena jelas terlalu besar.
Itu bisa disebut sebagai mansion.
Mansion itu bergaya klasik, seperti
rumah-rumah era Romawi kuno yang sangat megah dan dengan ciri khasnya dicat warna putih, dengan pagar tembok tinggi yang melindungi setiap sudutnya.
Carlton keluar dari mobil, berdiri di luar sementara sopir membukakan pintu untuk Ariella.
"Keluar," katanya dengan nada datar.
Ariella ragu-ragu. Dia menatap Carlton dengan penuh kebencian dan ketakutan.
"Aku tidak akan pergi ke sana."
Carlton mengangkat alis, jelas tidak terkesan dengan pembangkangan Ariella.
"Kau tidak punya pilihan. Jika kau tetap di sini, orang-orang itu akan mencarimu lagi dan kau akan diperkosa bergilir oleh anggota kelompok itu. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka
mendapatkan apa yang mereka inginkan darimu."
"Bagaimana denganmu? Apakah kau akan berhenti?"
Klaim
Mata hijau Carlton berkilat-kilat.
"Tidak."
"Aku tidak akan pergi kesana. Lepaskan aku, biarkan aku pergi!"
Orang-orang Carlton memegangi Ariella.
Membawanya masuk, nyaris seperti menyeretnya ke dalam.
"Panggil dokter, gadis itu terluka."
Begitu masuk, Ariella langsung disambut oleh suasana yang hangat dan nyaman, sangat sesuai dengan ekspektasi.
Mansion itu dipenuhi furnitur mewah, dengan lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Namun, suasana hangat itu tidak bisa menghapus rasa sakit yang dirasakan Ariella dari luka di tubuhnya, atau dari ketakutan yang ditorehkan Carlton pada kepalanya.
Darah orang-orang itu menempel di tubuh Ariella, di rambut, di dada, di wajahnya. Ariella mual dan ingin muntah.
Mustahil ia melawan. Karena untuk berdiri saja ia merasa sudah tidak sanggup lagi.