Jesslyn tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis dalam satu malam. Demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran finansial, ia dipaksa menikahi Neo, pewaris kaya raya yang kini terbaring tak berdaya dalam kondisi koma. Pernikahan itu bukanlah perayaan cinta, melainkan sebuah kontrak dingin yang hanya menguntungkan pihak keluarga Neo.
Di sebuah rumah mewah yang sunyi, Jesslyn tinggal bersama Neo. Tanpa alat medis modern, hanya ada dirinya yang merawat tubuh kaku pria itu. Setiap hari, ia berbicara kepada Neo yang tak pernah menjawab, berharap suara dan sentuhannya mampu membangunkan jiwa yang terpenjara di dalam tubuh itu. Lambat laun, ia mulai memahami sosok Neo melalui buku harian dan kenangan yang tertinggal di rumah itu.
Namun, misteri menyelimuti alasan Neo koma. Kecelakaan itu bukan kebetulan, dan Jesslyn mulai menemukan fakta yang menakutkan tentang keluarga yang telah mengikat hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Benar-Benar Koma?
Wanita itu membuka pintu kamar dengan pelan lalu melenggang masuk ke dalam. Matanya yang dingin menatap tubuh Neo yang terbaring tanpa daya di atas ranjang, matanya tertutup, napasnya teratur namun hampa. Sebilah p!sau berkilauan di tangan kanannya, dimainkan dengan santai seolah-olah itu hanyalah mainan.
Dia berjalan mendekat, dan berhenti tepat di samping dia berbaring. "Lihatlah siapa ini," gumamnya dingin, "Seorang Tuan Muda, pewaris keluarga besar ini, pria sempurna yang selalu dipuja semua orang. Sekarang, lihat dirimu."
Wanita itu berhenti di sisi ranjang, pandangannya penuh kebencian bercampur ejekan. "Kau tahu, sejak awal aku sangat membencimu. Kau selalu terlihat lebih tinggi, lebih hebat, lebih sempurna dariku. Tapi sekarang?" Dia mengangkat pis4unya, ujungnya menyentuh pipi kanan Neo dengan lembut. "Sekarang kau tidak lebih dari bangkai hidup. Bahkan untuk menghentikan aku saja kau tidak bisa."
Dia menarik pis4unya perlahan, meninggalkan goresan panjang di pipi kanannya. Darah mulai merembes, namun Neo tetap tak bereaksi. Wanita itu tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di ruangan.
"Ah, lihat dirimu sekarang!" serunya dengan nada sinis. "Bahkan kau tidak bisa melawan. Dulu, kau selalu menatapku dengan tatapan tajam itu, seolah aku ini benalu, seolah aku tidak pantas berada di dekatmu. Apa kau lupa bagaimana kau selalu menolak keberadaanku, menghina aku di setiap kesempatan?"
Dia mendekatkan wajahnya ke Neo, nyaris berbisik di telinganya. "Sekarang... kau hanya sampah. Tidak ada yang bisa kau lakukan. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu."
Wanita itu berdiri tegak, dia merasa puas dengan perbuatannya. Pis4u di tangannya masih berkilauan dan berlumuran d4rah tipis yang kini mulai menetes ke lantai. "Selamat menikmati hidupmu yang sia-sia, Neo. Kau pantas mendapatkan ini."
Wanita itu berhenti di tengah langkahnya. Punggungnya terasa dingin, seolah hawa dari neraka baru saja merayap naik ke lehernya. Jantungnya berdegup kencang saat sebuah tangan dingin menyentuh lengannya. Perlahan, dia berbalik dan sekujur tubuhnya gemetar tak terkendali.
Mata itu—mata yang selalu tertutup, yang selama ini tak pernah bergerak—kini terbuka. Menatapnya. Tajam, dingin, penuh intimidasi, seperti binatang buas yang baru terbangun dari tidurnya yang panjang.
Wanita itu tersentak mundur, pis4unya hampir terlepas dari tangannya. "Ti... tidak mungkin. Kau..."
Neo tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan di sana. Hanya ada kekosongan dan ancaman yang mematikan. "Sejak awal, aku tidak pernah benar-benar koma." dia berkata dengan suara rendah, nada bicaranya tajam seperti pisau.
Wanita itu membeku, wajahnya memucat. "Apa maksudmu?"
Neo melanjutkan, "Aku tahu permainan kotormu. Aku tahu rencana busukmu. Aku hanya memilih diam, mengikuti sandiwara yang kau mainkan untuk melihat seberapa jauh kau akan melangkah." setiap katanya seperti racun yang merayap masuk ke dalam pikirannya.
Perlahan, Neo bangkit dari berbaringnya dan duduk depan tangan bertumpu pada pahanya. Mata dinginnya menatap wanita itu tajam, kehadirannya begitu kuat hingga wanita itu merasa dirinya kerdil. "Kau pikir aku lemah? Tak berdaya? Kau salah besar. Setiap luka yang kau berikan, setiap kata hinaanmu, aku ingat semuanya. Aku melihat semuanya."
Wanita itu tersentak mundur, kakinya terasa lemas. "Tidak. Ini tidak mungkin!"
Neo mendekatkan wajahnya, tatapannya menembus seperti pisau yang tak terlihat. "Sekarang giliranmu untuk merasa tidak berdaya. Apa kau siap menghadapi pembalasan, atau kau akan lari seperti pengecut?"
Wanita itu tidak bisa menjawab. Kata-kata Neo menggema di benaknya, menghancurkan rasa percaya dirinya. Hanya suara tawa dingin Neo yang terdengar saat dia melangkah mundur, berusaha menguasai dirinya yang hampir runtuh.
Mendengar derap langkah mendekat, Neo kembali berbaring, menutup matanya seperti sebelumnya. Wajahnya kembali tenang, tanpa ekspresi, seperti pria koma yang tak tahu apa-apa. Sementara wanita itu terlihat panik, tangannya bergetar saat memegang pisau. Dia tahu dia tidak boleh ketahuan. Jika rahasianya terbongkar, semua akan hancur. Dia tidak siap kehilangan segalanya, tidak siap miskin, tidak siap diusir.
Pintu kamar terbuka, dan Yemi masuk. Matanya langsung membulat saat melihat d4rah yang mengalir di pipi tuannya. "Astaga! Tuan Muda! Apa yang terjadi di sini?" teriaknya histeris. Yemi segera berlari keluar kamar sambil berteriak memanggil seluruh penghuni rumah.
Wanita itu, dengan cepat memanfaatkan kesempatan itu. Dia bergerak gesit dan menyelinap keluar dari pintu samping sebelum ada yang melihatnya. Wajahnya pucat, tapi dia tahu ini satu-satunya jalan untuk melarikan diri.
Tak lama kemudian, Jesslyn, Nenek Maria, dan Nyonya Veronica masuk ke kamar dengan ekspresi terkejut. Nenek Maria terlihat sangat marah, tangannya gemetar saat dia berkata, "Anton! Periksa CCTV sekarang juga. Aku ingin tahu siapa yang berani masuk ke kamar cucuku dan melukainya!"
Anton menghampiri Nyonya Maria dan mengangguk, dia segera bergegas ke ruang kontrol. Sementara itu, Jesslyn mendekati Neo, matanya dipenuhi kekhawatiran. Dia duduk di sampingnya, menatap luka di pipi suaminya yang terus mengeluarkan darah.
Yemi kembali membawa kotak P3K dan menyerahkannya kepada Jesslyn. "Nona, ini."
"Terima kasih, Yemi," jawab Jesslyn sambil membuka kotak itu. Dengan tangan gemetar, dia mulai membersihkan luka di pipi Neo dengan kapas yang telah dibasahi antiseptik. Dia berhenti sejenak, menatap wajah suaminya yang tetap terdiam. "Nek, kira-kira siapa yang melakukan ini?" tanya Jesslyn pada nenek Maria.
Wanita itu menggeleng. "Nenek, juga tidak tau sayang. Tapi kita akan segera mengetahuinya dan menemukan pelakunya,"
Saat menolah dan kembali menatap suaminya, matanya tiba-tiba tertuju pada sesuatu yang janggal. Ada bercak darah di punggung tangan Neo—darah yang seharusnya tidak ada di sana. Alisnya berkerut, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Dari mana asalnya? Apakah ini benar-benar darah yang mengalir dari luka di wajahnya?
Dia berhenti sejenak, menatap wajah tenang itu. Matanya tetap tertutup, napasnya tetap teratur, seolah tidak ada yang berubah. Entah kenapa, naluri Jesslyn mengatakan ada sesuatu yang salah.
Perlahan, dia mendekatkan tangannya ke lengan Neo. Diam-diam dan tanpa sepengetahuan siapapun, dia mencubitnya dengan cukup kuat, dia pasti merasakan sakit jika dia benar-benar sadar. Tapi tidak ada reaksi.
Jesslyn menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi rasa curiga. Tapi matanya tak bisa lepas dari wajah Neo. "Apa mungkin..." pikirnya dalam hati, tapi dia segera menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran itu.
Tapi, semakin dia memperhatikan, semakin banyak keanehan yang bisa ia lihat dari pria itu. Mata itu, meskipun tertutup rapat tapi tampak seperti sedang memantau. Rahangnya yang tegang, seperti menujukkan sesuatu yang lain. Jesslyn mulai bertanya-tanya dalam hati, "Apakah dia benar-benar koma? Atau... dia hanya berpura-pura?"
***
Bersambung