"Aku dimana?"
Dia Azalea. Ntah bagaimana bisa ia terbagun di tubuh gadis asing. Dan yang lebih tidak masuk akal Adalah bagaimana bisa ia berada di dunia novel? Sebuah novel yang baru saja ia baca.
Tokoh-tokoh yang menyebalkan, perebutan hak waris dan tahta, penuh kontraversi. Itulah yang dihadapai Azalea. Belum lagi tokoh yang dimasukinya adalah seorang gadis yang dikenal antagonis oleh keluarganya.
"Kesialan macam apa ini?!"
Mampukah Azalea melangsungkan kehidupannya? Terlebih ia terjebak pernikahan kontrak dengan seorang tokoh yang namanya jarang disebut di dalam novel. Dimana ternyata tokoh itu adalah uncle sang protagonis pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queen_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMB! (19)
Selamat Membaca
*****
Auris dengan santai membuat segelas teh untuknya. Dikarenakan hari ini Aldrick ada urusan, ia akan pergi ke kantor setelah makan siang.
Auris melirik sekilas saat Sofia datang dan berdiri di sebelahnya. Seringaian tipis muncul di wajahnya. "Tante, bagaimana kabar Caramel?"
Sofia terkekeh sinis, "Putriku sudah bahagia," Sofia menatap Auris, "Dia menang Auris, Caramel menang."
Auris tertawa pelan di tempatnya, "Menang dalam hal apa tante?" tanya Auris menaikkan sebelah alisnya, "Menang karena merebut sampahku?" Auris tersenyum, "Kalau begitu aku berterimakasih pada putrimu karena sudah merebut sampahku. Karena sampah memang harus di buang ke tempat sampah bukan?"
"Sialan kau Auris!" Sofia menatap tajam Auris.
"Mau mendengar cerita tante?"
Sofia hanya diam.
Auris berjalan mengelilingi Sofia, "Pada suatu hari, ada seorang kakak dan adik yang ternyata mereka bukanlah saudara kandung." Auris mendekatkan mulutnya ke telinga Sofia. "Mereka berkhianat di belakang istri kakaknya sampai menghasilkan seorang anak yang sangat di sayangi semua orang. Lalu ketika anak itu besar, dia selalu membuat si anak kandung yang seharusnya mendapat kasih sayang ayahnya menjadi di benci oleh semua orang." Auris berdiri di hadapan Sofia sambil menyilangkan tangannya di dada. "Kenapa diam saja? Tante tidak suka ceritaku?"
"Menurut tante, bagaimana jika ternyata cerita ini adalah kisah nyata?"
"Bukankah kedua orang yang berkhianat itu pantas untuk dihukum? Atau mungkin dibunuh saja sekalian?" Nada bicara Auris berubah menjadi tajam. "Tante tahu?"
Sofia menatap Auris bingung, "Ta-tahu apa?"
"Jika aku menjadi anak yang dibenci itu, aku akan membalas dendam. Aku akan membuat ibu dan anak yang tidak tahu diri mati di tanganku!"
"K-kau?!" Sofia menatap nyalang Auris.
"Kenapa tante?" Auris bertanya dengan wajah penasarannya, "Kenapa tante seolah takut seperti itu? Tante tahu cerita itu?"
"Diam sialan!"
Auris maju mendekati Sofia membuat wanita itu perlahan mundur, "Bukankah sangat menyenangkan jika publik mengetahui hubungan mereka tante? Selain mendapat hukuman dariku, mereka juga akan dikecam dan menjadi bulan-bulanan masyarakat. Atau-."
"Sedang apa kalian?"
Sofia dan Auris menoleh bersamaan pada sumber suara. Itu Alex. Dia mendekati Auris dan Sofia. "Apa yang kalian lakukan di sini."
"Kakak, kami sedang-,"
"Aku sedang menceritakan sebuah kisah pada tante Sofia, papa mau dengar?"
Kening Alex berkerut bingung melihat Auris yang tampak tersenyum manis padanya, "Kisah? Kisah apa?"
"Kisah seorang kakak dan adik yang berkhianat di belakang istri kakaknya."
Alex terdiam mendengar ucapan Auris. Senyum yang ditunjukkan Auris menyiratkan maksud tertentu yang Alex sendiri tidak tahu apa itu.
"Bukankah mereka sangat jahat papa? Aku sangat benci dengan mereka, sangat benci papa."
"Tapi mungkin saja ada alasan kenapa mereka melakukan itu Auris, bagaimana jika-"
"Jika apa papa? Alasan?" Auris tertawa. "Apa yang menjadi alasan mereka untuk berkhianat seperti itu? Terlebih sampai menghasilkan seorang anak tanpa diketahui siapapun. Alasan apa papa?"
Auris terus saja menatap Alex membuat pria itu terlihat tidak nyaman. "Kenapa papa tegang sekali?" Auris tertawa terbahak-bahak. "Rileks papa, ini hanya cerita kok."
Auris menatap Alex dan Sofia bergantian, "Tapi ntah kenapa aku merasa cerita ini adalah kisah nyata."
*****
"Caramel!"
"Caramel."
"Caramel, bangunlah."
Suara yang terdengar samar-samar membuat Caramel terpaksa membuka matanya. Ia mengerjap pelan menyesuaikan penglihatannya.
"Mama?" Caramel merubah posisinya menjadi duduk dan bersandar di headboard kasur. "Ada apa mama?"
Ariana tersenyum singkat. "Ini sudah jam berapa Caramel? Sudah jam 9 pagi."
"Lihat? Bahkan Reynold sudah pergi ke kantor. Seharusnya kamu bangun lebih pagi Car."
"Tapi ma, aku kan lagi hamil. Jadi-,"
Ariana duduk di pinggir kasur, "Justru itu, karena kamu lagi hamil seharusnya kamu banyak beraktivitas. Jangan bermalas-malasan."
Caramel menghela napas pelan. "Pagi yang buruk. Kenapa mama jadi seperti ini? Padahal dia terlihat sangat baik sebelum aku menikah dengan Reynold."
"Cepatlah bersiap, setelah ini bantu mama membuat beberapa cemilan dan makanan untuk makan siang Reynold."
"Kita harus memasak?"
Ariana mengangguk, "Tentu saja. Kamu bisa memasak kan?" tanya Ariana memicing. Pasalnya dia ingat Caramel pernah membawakan makanan yang katanya hasil dari masakannya sendiri.
Caramel mengangguk samar, "Tapi.. Hari ini bisakah kita delivery makanan saja ma? Aku merasa sedikit lelah."
"Tidak! Tidak ada delivery makanan Caramel. Kamu harus terbiasa memasak makanan sendiri untuk suamimu bukan memesan makanan." Ariana berdiri dan menyilangkan tangannya di depan dada, "Cepatlah bersiap, mama tunggu di bawah."
Caramel mengangguk pelan. Setelah kepergian Ariana dari kamarnya, Caramel melemparkan bantal di sampingnya ke sembarang arah melampiaskan rasa kesalnya.
"Mertua sialan! Huwaaa mamaaa! Aku tidak ingin tinggal disini!"
*****
"Semuanya sudah siap?"
Marshall mengangguk tegas menatap Aldrick. "Sudah tuan. Kita tinggal menjemput nona Auris di kediamannya."
Aldrick mengangguk, "Saya sendiri yang akan menjemput Auris, kalian kembali ke tugas masing-masing."
Marshall mengangguk dan mengarahkan anggotanya untuk pergi dai sana. Aldrick sendiri segera masuk ke mobilnya dan menuju ke kediaman Dirgantara untuk menjemput Auris.
Tidak butuh waktu lama, Aldrick pun sampai di kediaman Dirgantara. Dirinya di sambut oleh Sofia yang ternyata sedang berada di teras rumah. Wanita itu menghampiri Aldrick sambil tersenyum manis membuat Aldrick berdecih sinis.
"Aldrick? Ada perlu apa berkunjung ke sini?"
"Auris."
Wajah Sofia berubah datar ketika mendengar nama Auris. "Dia ada di kamarnya. Dia se-."
Aldrick melengos pergi begitu saja masuk ke dalam. Tidak peduli ketika Sofia meneriaki namanya beberapa kali. Ia tetap berjalan santai menuju kamar Auris. Di tangga, tanpa sengaja ia berpaspasan dengan Alex. Aldrick melempar senyum miring.
"Mau apa kau kemari?"
Aldrick tersenyum, "Menjemput calon istriku." Aldrick menepuk pelan pundak Alex, "Aku ingin meminta izin membawanya ke paris selama beberapa hari."
"Tidak." Alex melempar tatapan tajam pada pria di hadapannya, "Kau tidak bisa membawa putriku seenaknya."
Aldrick tertawa keras, "Lalu? Apa peduliku?"
Aldrick berlalu bergi begitu saja meninggalkan Alex dengan tangan yang terkepal erat. Ia berjalan santai dan memasuki kamar Auris. Ia tersenyum tipis melihat Auris yang tidak sadar akan kehadirannya.
"Semenarik apa handphone mu itu Melonika?"
Spontan Auris menoleh mendapati sosok Aldrick yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Auris merubah posisinya menjadi duduk dan menatap bingung Aldrick.
"Bersiaplah. Kita akan berangkat ke Paris."
Auris terbelalak. "Ke Paris?! Sekarang?"
Aldrick mengangguk.
Auris beranjak dari kasurnya menghampiri Aldrick. "Mas serius? Kenapa kita ke Paris? Kamu ada temu klien di sana? Kenapa tidak memberitahu ku? Kenapa mendadak sekali? Bagaimana aku menyiapkan berkasnya? Kenapa-,"
Cup
Auris melotot garang ketika Aldrick mengecup bibirnya. "Kenapa mencium ku?!"
"Kamu cerewet sekali sayang." Aldrick menangkup pipi Auris, "Sekarang cepat bersiap oke?"
"Tapi-."
"Apa mas perlu membantumu sayang?"
*****
Terimakasih sudah membaca 😗
biar gak mikir berat... 😉😉
/Plusone//Coffee/