Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 12
Setelah mandi, Arumi solat ashar. Selepas solat Arumi menangis sesenggukan di atas sajadah. Dia mengadu pada Tuhannya. Bahu gadis itu naik turun pertanda Arumi saat ini berada di titik batas kekuatannya. Arumi tak tahan lagi untuk menahan tangisnya kali ini.
"Kenapa, Arumi harus mengalami kejadian ini, ya Allah? Apa rencana-Mu yang sebenarnya? Kalau Arumi pergi dari sini, lalu siapa yang akan mengurus pakde. Karena pakde tidak mau pergi meninggalkan rumah peninggalan nenek ini. Berikan Arumi petunjuk, Ya Allah," lirih Arumi dengan kedua tangan yang menengadah di depan wajahnya.
Ternyata, Max mengintip di depan pintu kamar yang tidak tertutup rapat itu. Max, bahkan memegangi dadanya yang bergetar. Perasaan aneh yang sering di rasakannya acapkali melihat Arumi bersedih. Biasanya, perasaan Max sama sekali tidak tersentuh dengan apapun. Max, adalah seorang mafia yang dingin tanpa cinta dan perasaan.
"Arumi." Max terpaksa masuk. Dia tak tahan mendengar tangis Arumi yang pilu. Arumi terkejut karena kehadiran, Max yang tiba-tiba. Dia langsung menghapus air matanya. Max, pura-pura tidak tau kalau dia sejak tadi mendengar tangisan Arumi yang menyayat hati.
"Ada apa? Mas, mau solat juga?" tanya Arumi tanpa menoleh ke arah suaminya.
"Tidak. Aku mau pinjam ponselmu," tegas Max. Dia harus menghubungi Dave secepatnya.
Di sebuah bangunan mewah yang bisa di katakan sebuah mansion.
Sepasang pria dan wanita sedang ribut dan saling menyalahkan. Ketika, mereka mendapati bahwa sudah dua malam ketua mereka tidak pulang ke markas maupun mansion. Bahkan, sama sekali tak ada jejak yang dapat di lacak oleh alat milik Dave.
"Lihat saja bagaimana cara kau bekerja Dave! Kalau sudah begini, siapa yang tidak pusing! Ketua hilang tanpa kabar dan jejak. Musuh pasti tertawa!" hardik Anne, pada Dave yang menatapnya kesal.
"Lancar sekali kau bicara, Anne! Beraninya kau limpahkan kesalahan ini padaku. Kau itu sahabat dekatnya! Kau pun tidak bisa berbuat apa-apa!" kilahnya, tak terima saat Anne, menyalahkannya terus.
"Kau! Memang salah, Dave! Cepat kerahkan anak buahmu lebih banyak!" titah Anne. Membuat Dave menggemeretakkan giginya, geram.
"Kau, jangan seenaknya memerintahku!" sentak Dave, semakin naik pitam ketika Anne terus meneriakinya.
"Hah! Apa kau bilang? Aku memerintah? Aku hanya memberi saran padamu!" elak Anne.
"Kau itu jangan seenaknya melepaskan masalah ini kepadaku saja! Sebaiknya kau juga turun tangan!" sarkas Dave. Dia dan Anne memang tidak pernah akur.
"Tentu saja Dave! Aku ini kan sahabatnya. Aku sudah mengirimkan drone untuk melacaknya!" Anne makin kesal saja. Kalau Dave bukan orang kepercayaan, Max, mungkin pria itu sudah dia lempar ke dalam kolam buaya. Anne sontak berdiri dari duduknya, pertanda wanita itu benar-benar marah.
"Terserah kau!" Dave mengambil ponsel di sakunya yang bergetar. Alisnya mengernyit karena yang menghubunginya adalah nomer asing. Lama Dave mengabaikan panggilan itu. Hingga akhirnya, dia mendapatkan sebuah pesan. ( Ini aku, Dave! )
Dave langsung menghubungi balik, karena dia tau siapa itu.
"Halo, Ketua," sapa Dave.
Anne yang sudah berada di pintu sontak menoleh ke belakang. "Max?" Anne berbalik dan memutuskan untuk menghampiri Dave.
"Dave, aku baik-baik saja dan saat ini berada di sebuah kampung. Aku akan mengirimkan peta lokasinya. Besok pagi-pagi sekali datanglah kesini. Bawa orang-orangmu tapi berpencar jangan terlalu mencolok. Paham!" titah Max tegas. Dave langsung mengangguk paham..
"Baik, Ketua. Saya senang anda baik-baik saja. Saya pikir anda--"
"Aku tidak selemah itu, Dave!" potong Max, dengan penuh penekanan dari setiap kata-katanya. Setelah itu, Max memutuskan panggilan dan mulai mengirimkan lokasi pada Dave.
Dave, memerhatikan lokasi yang di kirimkan oleh ketua mafia Black Hawk itu. Anne mendekatinya. "Apa itu, Max? Dia baik-baik saja? Dimana dia sekarang?" cecar Anne.
Dave langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan sinis. "Cerewet!" sindirnya singkat dan kembali menatap layar gadget pintarnya lagi.
"Lokasi ini, cukup jauh dari dermaga. Bisa-bisanya ketua nyasar kekampung padat penduduk begini. Tapi, ini adalah cara yang jenius. Para polisi itu maupun musuh takkan menduganya," gumam Dave, yang terdengar di telinga Anne.
"Aku tau, ketua pasti bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Dia memang hebat," ucap Anne dengan segala kekagumannya pada, Max. Dia bahkan tersenyum.
"Ck. Simpan kekagumanmu. Kau kan tau kalau ketua kita tidak punya waktu untuk bercinta. Sebaiknya, kau kubur dalam-dalam impianmu itu, sebelum kau mati karenanya!" sinis Dave. Dia tau kalau Anne selama ini memendam perasaan terhadap ketua mereka.
Anne merenggut mendengar cibiran Dave padanya. "Itu urusanku, bukan urusanmu!" sinisnya seraya berlalu. Dave menanggapinya dengan berdecih.
Sesampainya di luar, Anne kembali tersenyum. Dia senang karena kekhawatirannya terhadap Max tidak terjadi. Pria itu akan kembali di sisinya lagi. Apapun akan dia lakukan untuk mencairkan hati seorang Max yang beku.
*
*
Max, mengembalikan ponsel Android keluaran lama milik, Arumi.
"Sudah?"
"Hemm." Max hanya menjawab singkat. Pikirannya sedang merencanakan sesuatu. Dia berharap kepergiannya besok tidak mengalami hambatan. Max percaya Dave dan orang-orangnya pasti bisa mensterilkan lokasi.
Untuk saat ini, Arumi tidak perlu tau siapa dirinya. Max, juga harus bisa menyembunyikan statusnya dan juga sosok Arumi. Atau para musuhnya nanti akan menjadikan Arumi sebagai senjata untuk menjatuhkan kedudukan serta posisinya sebagai ketua mafia terkuat.
Arumi, terdiam. Pria yang merupakan suaminya ini memang penuh rahasia. Arumi memutuskan untuk sabar dan berserah saja pada kehendak yang kuasa. Arumi tidak berkeinginan untuk menelisik paksa mengenai asal-usul dari, Max dan juga masalah yang menyertai pria itu.
Arumi menghampiri sang paman yang saat ini beristirahat di dalam kamarnya. Pria itu terlihat melamun menatap langit-langit kamarnya yang sebagian bolong itu. Arumi duduk bersimpuh di bawah ranjang Mustafa.
Mustafa menatap wajah teduh di hadapannya kemudian mengusap lembut pucuk kepala Arumi yang masih tertutup kerudung.
"Allah, tidak akan memberikan ujian yang mana kita tidak sanggup menghadapinya. Allah memberikan kamu masalah ini karena ada hal baik yang menyertainya nanti. Rencana Allah itu misteri dan rahasia, Nduk. Terima dan jalani saja segala ketentuannya. Kamu ikutlah kemanapun suamimu pergi. Biar pakde di sini tak apa," kata Mustafa panjang lebar menasihati keponakan satu-satunya itu.
"Pakde. Nanti siapa yang akan mengurusmu. Memasak dan mencuci pakaianmu," lirih Arumi, menahan sesak yang berkumpul di dalam dadanya. Susah payah Arumi menahan rasa itu agar tidak meledak saat ini.
"Arumi!" panggil Max yang tau-tau sudah berada di ambang pintu kamar Mustafa.
"Kemarilah, Nak!" panggil Mustafa seraya melambaikan tangannya agar, Max menghampirinya.
"Jaga Arumi. Bawalah dia kemanapun kau pergi karena, Arumi sekarang adalah istrimu yang merupakan tanggung jawabmu. Pakde, sudah tidak berhak lagi," kata Mustafa pelan dan terasa berat.
"Pakde ...,"
"Aku, memang akan membawanya besok pagi. Akan ada orang yang menjemput kami. Sejak saat itu, kalian tidak akan bisa bertemu lagi," tegas Max.
"Apa maksudmu!" Arumi sontak berdiri dan menatap, Max dengan tatapan penuh tanya.