"Aku akan selalu di sisimu"
Benjamin Paul, seorang remaja berusia 17 tahun yang memilih untuk kembali ke kota kecil di Alaska tempat ia lahir. 5 tahun lalu ayah dan ibunya bercerai, lalu ia tinggal di Chicago bersama ibu dan ayah sambungnya. Di usia 17 tahunnya itu, ia memilih kembali ke Sitka, kota kecil di Alaska.
Sesaat ia kembali, tidak ada hal aneh. Sampai ketika ia bertemu sebuah keluarga misterius, ayahnya yang kecelakaan, Joseph dan Damian teman kecil Benjamin bukan manusia, dan seorang gadis cantik bernama Marella.
Bagaimana kisah Benjamin? Simak kisah si tokoh utama ini agar kalian tidak ketinggalan‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Greatest
"Ini sudah larut malam, darah apa yang diminum Sharon sampai ia betah berada di luar berlama-lama?" gumam Veronica terheran.
"Benar juga, dia bilang padamu mau ke mana tadi?" tanya Marella baru sadar. "Dia bilang hanya ingin keluar sebentar" jawab Veronica.
"Aneh, Sharon orang yang tidak suka berlama-lama menghadapi orang-orang. Ini situasi langka" gumam Marella terkekeh.
Di sisi lain Sharon, "Sangat mengejutkan. Kemampuan yang kalian sungguh di luar kuasa manusia," ujar Joseph setelah mengetahui apa saja kemampuan mereka.
"Kau bisa menebak bukan siapa yang terkuat?" tanya Sharon terkekeh. "Pantas saja Esmeralda sangat sombong, ternyata dia hampir tidak bisa dikalahkan" jawab Joseph terkekeh. "Titik lemahnya juga sulit ditembus, tapi jika berhasil diserang, dia langsung mati" ujar Sharon tertawa kecil.
"Aku penasaran kemampuan apa yang dimilikinya" gumam Joseph beralih memperhatikan Benjamin. Sharon bangkit berdiri. "Ini sudah larut malam sekali, akan sangat aneh jika aku berlama-lama di luar" Sharon akhirnya bangkit berdiri hendak pulang.
Namun ia segera menghentikan langkahnya. "Ada apa?" tanya Joseph bangkit berdiri. "Vampir" gumam Sharon menunjukkan mata merah menyalanya.
"Dia ada di mana?" tanya Joseph mulai waspada. "Dia datang" ujar Sharon ketika menerima aroma dari pintu. Setelahnya, "Damian?" gumam Joseph terheran. Sharon justru tambah waspada.
"Maaf membuatmu menunggu lama" ujar Damian terkekeh seraya menggaruk kepalanya pelan. Joseph yang terheran dengan ekspresi Sharon, diam-diam mengirim pesan pada Damian.
"Sharon, kau di sini ternyata?" gumam Damian terkejut. Ia mendekati mereka. Sharon justru mundur dan menghalau Damian yang mendekat.
"Hey, ada apa? Kenapa kalian bertingkah aneh?" tanya Damian terheran. "Bisakah kau menyebutkan nama lengkapnya?" tanya Sharon menunjuk Joseph.
Damian memiringkan kepalanya. Matanya berubah menjadi merah, dan ia mulai menyeringai. "Merepotkan sekali" dan Damian tiba-tiba saja mendekati mereka. Sharon mendorongnya segera.
"Dia pasti dihipnotis" ujar Sharon menunjukkan mata merahnya. "Apa?!" gumam Joseph terkejut. "Pantas saja aromanya sangat aneh" Sharon menahan pintu itu dengan tenaganya.
Namun, "Shar!!" Sharon tercampak hingga menabrak lemari di ruangan itu. Suara berisik di dalam ruangan berhasil membangunkan Benjamin. "Astaga, kenapa ribut sekali?" tanya Benjamin terheran. Ia memucat kaku ketika Damian tiba-tiba sudah berada di atasnya.
"Damian, apa yang-" Benjamin yang belum selesai berbicara mendengar Sharon bersiul. Joseph yang berubah wujud dalam sekejap, berhasil menghempas Damian keluar jendela.
"JOSH, DAMI!!" teriak Benjamin terkejut. "Aduh" gumam Benjamin merasakan perih di tangannya ketika infunya dibuka. "Dia akan mengulur waktu" ujar Sharon segera memapah Benjamin.
Di sisi lain, Joseph bingung cara menghalau temannya itu. Ia tidak sanggup jika harus merobek leher sahabatnya.
"Hey, anjing"
"Tidak bisakah kau memanggilku dengan namaku saja?"
"Aku tidak peduli. Bisakah kau menggonggong ketika sesuatu yang mendesak terjadi?"
"Sejak kapan kau peduli?"
"Veron bilang malam ini ada situasi buruk"
Joseph yang teringat percakapannya dengan Esmeralda, akhirnya menggonggong. Sementara di rumah keluarga Gerald, "Suara anjing?" gumam Jessi terkejut, ketika ia sedang menjahit.
"Espe, kau mau ke mana?" tanya Patrick ketika melihat Esmeralda meraih jaketnya. "Berburu" jawab Esmeralda dan ia menghilang seketika.
"Perasaanku tidak enak" gumam Marella khawatir. "Mereka akan baik-baik saja" jawab Jessi segera.
Di sisi lain, Joseph yang sudah kembali dalam wujud manusia menahan Damian yang berperilaku brutal. "Sadarlah, Damian!!" gumam Joseph menahan sahabatnya untuk tidak menggigitnya.
Lalu, "Untung saja kau lebih dulu menghampiriku dan nanti aku bisa membunuh anak itu, karena aku tidak sendiri," ucapan itu membuat Joseph melotot terkejut mendengarnya.
Sementara Sharon, "Sayang sekali," suara seorang wanita terdengar di ruangan itu. Wanita itu akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. "Anak kecil itu sangat mudah aku hipnotis. Apakah kau juga sama?" gumam wanita itu menunjukkan mata merahnya. Sharon tampak tenang.
"Tutup matamu, Ben" saran Sharon menunjukkan mata merahnya. Benjamin memejamkan matanya. Wanita itu menatap Sharon serius, namun anehnya Sharon tetap terlihat tenang.
"Apa yang terjadi?!" gumam wanita itu terheran. "Kau bingung nona?" tanya Sharon tersenyum tenang. "Sialan" gumam wanita itu segera berbalik badan. Namun, "Kau salah menghadapi orang," ujar Sharon berhasil membuat wanita itu mematung.
Di hadapan wanita itu, ia melihat sekelompok orang berjubah hitam dengan tudung mereka mengelilingi dirinya. Wanita itu mulai gugup dan panik, ketika melihat lambang pada tudung jubah mereka.
"Kau terlalu naif, kau tidak pantas disebut vampir. Sepertinya kau harus kusingkirkan" ujar salah satu orang berjubah itu. "Tidak, tuan ampuni aku. Aku akan melakukannya lebih baik lagi kumohon" jawab wanita itu berlutut.
"Bunuh.."
"Bakar tubuhnya!!"
"Kembalilah ke neraka"
"Penggal lehernya!!"
Wanita itu menutup telinganya. "TIDAK!!" teriaknya. Ia tersadar lalu, "Selamat kembali ke neraka" Esmeralda tiba di sana dan memutus dengan santai kepala wanita itu dari tubuhnya.
Benjamin yang melihat pemandangan itu terkejut. "Di mana si anjing?" tanya Esmeralda segera. Benjamin yang terdiam sejenak segera sadar. "Dia di luar. Damian terhipnotis"
Lalu, "Sial sekali," gumam Joseph memegangi lengannya yang berdarah. "Sebenarnya darah milikmu sangat menguji nafsuku, tapi jujur saja aku sangat membenci seekor anjing. Mereka hanyalah binatang malang yang mengemis makanan. Mereka juga punya bau tidak sedap" Damian yang masih terhipnotis tertawa melihat pemandangan itu.
Joseph yang mendengar ucapan itu tersulut emosi. Kini beralih dia mencekik leher Damian. "MATILAH KAU IBLIS!!" teriak Joseph hendak memutus kepala Damian. Lalu, "Apa yang-" ucapan itu terputus ketika Esmeralda segera menarik mundur Joseph.
Sharon segera menunjukkan mata merahnya pada Damian. Dalam sekejap, tatapan Damian yang tadinya terlihat sangat kejam berubah seketika. "Lelah sekali" gumam Damian akhirnya terjatuh dan tidak sadarkan diri.
"Dami!!" gumam Benjamin menahan rasa sakit lalu menghampiri Damian. "Kau hampir membunuhnya" ujar Esmeralda berhasil menahan Joseph.
"Aku.. aku tidak ingat... dia dihipnotis" gumam Joseph kini merasa bersalah. Esmeralda melepas Joseph, lalu mereka menghampiri Benjamin.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Benjamin terheran. Ia bangun ketika mendengar suara berisik di ruangannya, dan Sharon langsung memapahnya untuk menjauhi ruangannya.
"Tunggu, apa Charlie baik-baik saja? Dia yang seharusnya menjagamu malam ini" ujar Joseph teringat Charlie. "Dia baik-baik saja. Bisa jadi Damian berjumpa dengan wanita itu di perjalanan menuju kemari" jawab Sharon memegang kening Damian untuk mengecek kembali.
"Lalu apa yang kau lakukan padanya tadi?" tanya Benjamin penasaran. "Aku mengembalikan kesadarannya. Dia dihipnotis untuk membunuh manusia. Aku mencurigainya sejak pertama kali masuk ke ruanganmu tadi, karena aroma tubuhnya terlalu kuat" jelas Sharon dengan santai.
"Lalu kenapa Esme bisa sampai ke sini?" tanya Benjamin lagi. "Suara anjing" jawab Esmeralda tanpa dosa. "Aku sangat malas berdebat saat ini" gumam Joseph menatap gadis itu lelah.
"Aduh" gumam Benjamin memegangi kepalanya. "Apa yang terjadi?" tanya Joseph khawatir.
"Ben.."
"Ben, apa yang terjadi?!"
"Ben!!"
...****************...
"Kepalaku" gumam Benjamin baru saja sadar, seraya memegangi kepalanya. Ia melihat Joseph masih tertidur di sofa begitu nyenyak.
"Aku banyak merepotkanmu, sobat" gumam Benjamin terkekeh. "Pagi, nak" sapa Bernandez memasuki ruangannya pagi itu.
"Joseph saja yang menjagamu?" tanya Bernandez terkejut. "Ayah tidak tahu?" tanya Benjamin terheran. "Joseph memang mengatakan padaku akan menjagamu tadi malam. Aku mengira Charlie juga menjagamu sampai pagi" jawab Bernandez meletakkan sarapan yang dibuatnya.
"Begitu ternyata" gumam Benjamin mengangguk-angguk kecil. "Bagaimana tidurmu? Apa nyenyak?" tanya Bernandez penasaran.
"Tadi malam aku terbangun, ada insiden kecil. Kepalaku juga sempat sakit" jawab Benjamin terkekeh. "Kau ceroboh, nak" gumam Bernandez ikut tertawa mendengarnya.
"Mungkin Robert akan datang lagi pagi atau siang nanti, banyaklah berbincang dengannya" pesan Bernandez pada putranya. "Ayah, tidakkah lebih baik ayah yang banyak berbincang dengannya? Maksudku, aku tidak membencinya, tapi ayah baru bertemu dengannya tidak lama bukan?" tanya Benjamin pada Bernandez.
Pria tua itu terkekeh. "Dia sekarang adalah ayahmu, nak" jawab Bernandez tertawa kecil. "Lalu ayah? Kau bukan ayahku? Begitu?" tanya Benjamin lagi.
"Nak, 5 tahun lalu saat aku bercerai dengan ibumu.. hak asuh jatuh padanya. Artinya Robert, sudah resmi menjadi ayahmu" jawab Bernandez menjelaskan dengan tenang. Menghadapi pertanyaan anak muda, harus dengan kepala dingin.
"Lalu menurut ayah, sekarang ayahku hanya daddy Robert? Itu maksud ayah?" Bernandez terdiam. "Ben.." gumam Bernandez bingung ingin memberikan jawaban apalagi.
"Walaupun hak asuh berada di tangan ibu, apa itu juga menandakan kau juga bukan ayahku lagi? Daddy Robert adalah ayahku, dan kau juga ayahku. Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Karena pada dasarnya aku adalah darah dagingmu, ayah" ujar Benjamin berhasil membuat ayahnya tertegun.
"Ayah tidak menganggapku sebagai anak?"
"Tidak, kau putraku. Selamanya kau tetap putraku"
"Dan itu juga sama denganku. Walaupun kau dan ibu tidak lagi bersama, kau tetap ayahku. Daddy Robert juga ayahku"
Bernandez menatap putranya dengan tenang. "Apa yang membuat ayah berkata begitu?" tanya Benjamin terheran. "Aku.. aku hanya merasa tidak layak, karena aku mengabaikan keluargaku seolah aku menelantarkan kalian" jawab Bernandez ragu.
"Aku seperti-..." Bernandez tidak bisa melanjutkan penjelasannya ketika ia mendapati Benjamin menatapnya dengan tenang.
"Ayah seperti apa? Ayah ingin mengatakan hal buruk apa?" tanya Benjamin dengan tenang. Bernandez menatap putranya tertegun. Benjamin yang saat masih kecil, sudah berbeda dengan yang sekarang. "Esmeralda benar, manusia tidak pernah puas. Aku bangga menjadi putramu, jadi aku mohon, tidak perlu merasa dirimu buruk, ayah" gumam Benjamin dengan tenang.
Bernandez tersenyum mendengarnya. "Maafkan aku, nak" ujar Bernandez terkekeh. "Ayah mabuk? Tidak seharusnya orang tua meminta maaf kepada anak. Pada dasarnya ayah tetap orang tua, derajatnya di atas anak-anak" ledek Benjamin. Tawa hangat itu terdengar.
Namun tanpa diketahui mereka, Robert di luar mendengarkan semua itu. Ia sedari tadi bersandar di dinding samping pintu masuk. Ada sebuah senyuman simpul yanh terukir di bibirnya.
"Selamanya, dia tetap putramu.. Bernandez" gumamnya tertawa kecil.
......................
"Tidurmu tampak sangat nyenyak, Josh" ujar Benjamin ketika Joseph sudah bangun pagi itu. Joseph menggerakkan tubuhnya sejenak. "Peristiwa tadi malam membuatku benar-benar kelelahan" jawab Joseph bangkit berdiri.
Ia mulai mencuci wajah dan mulutnya. "Damian di mana? Aku tidak melihatnya" tanya Benjamin penasaran. Joseph menghentikan kegiatannya. Keningnya berkerut, dan ia tampak serius.
"Aku ragu menghubunginya" gumam Joseph pelan. "Karena kau hampir membunuhnya?" tanya Benjamin bisa mendengar ucapan itu. Joseph tidak menjawab, ia menunduk menghadap westafel itu.
"Aku hampir membunuhnya, apa aku masih pantas disebut sebagai seorang sahabat?" tanya Joseph menoleh pada Benjamin. "Malam itu juga dia terhipnotis. Kalian berdua tidak ada yang salah" jawab Benjamin mulai membuka kotak bekal yang dibawakan Bernandez tadi.
"Tapi aku hendak membunuhnya dalam keadaan sadar, Ben" ujar Joseph terus kepikiran. "Dia juga mengatakan hal buruk tentangmu bukan? Dan karena itulah kau tersulut emosi" Joseph terdiam mendengarnya. Tapi tetap saja, itu tidak mengubah apapun pada rasa bersalah Joseph.
"Jadi dia sekarang di mana?" tanya Benjamin lagi. "Espe dan Sharon mengantarnya pulang tadi malam" jawab Joseph kembali duduk.
"Kau tidak mau sarapan?" tawar Benjamin seraya menikmati sandwich buatan Bernandez. Joseph mendekat dan mengambil satu potong.
"Damian saja bisa tertidur. Apa dia juga makan?" gumam Benjamin penasaran. "Darah serigala masih mengalir di dirinya. Tapi nafsu makannya tidak berubah. Damian seorang vegetarian" jawab Joseph seraya menikmati sandwich itu.
"Dia dulunya serigala apa? Kau salju bukan?" tanya Benjamin lagi. Ia mengalihkan topik agar pikiran Joseph bisa tenang.
"Bulan purnama. Jenis serigala tergantung ia lahir" jawab Joseph menatap keluar jendela.
"Astaga, aku baru ingat kami merusak kaca jendela ruangan ini" gumam Joseph menghampiri jendela. Kaca jendela itu pecah akibat perlawanannya dengan Damian tadi malam.
"Aku terkejut Esmeralda dan Sharon tiba-tiba di rumah sakit tadi malam. Jika aku sudah sembuh, ceritakan peristiwa tadi malam padaku" ujar Benjamin meminta janji. Joseph kembali duduk.
"Hey, Josh. Kau jujur saja. Kau menyukai Esme bukan?" tanya Benjamin tiba-tiba. "Sepertinya kau kembali koma" jawab Joseph terheran.
"Jangan mengalihkan topik yang satu ini, sobat. Jujur saja dari lubuk hatimu paling dalam" saran Benjamin tidak menyerah mengorek informasi.
"Ada banyak alasan yang bisa menegaskan kami tidak saling menyukai" jawab Joseph malas. "Jelaskan padaku" perintah Benjamin.
"Pertama, kepribadiannya denganku sangat bertolak belakang. Dia perempuan paling dingin yang pernah aku temui" Joseph mulai menjelaskan.
"Kedua?" tanya Benjamin. "Dia sangat kejam dalam memilih kalimat. Bahkan aku dipanggilnya dengan sebutan anjing" jawab Joseph lagi.
"Lalu?" tanya Benjamin lagi. "Dia tidak pernah tersenyum. Bayangkan saja, dia vampir, ditambah dia jarang tersenyum. Itu saja alasanku" jawab Joseph dengan tegas.
"Kau melewatkan satu alasan lagi, Josh" ujar Benjamin tersenyum simpul. Joseph tertegun segera. "Apa alasan terakhirmu?" tanya Benjamin penasaran. Sejenak Joseph terdiam.
"Kami berbeda, Ben. Dia vampir dan harus patuh pada bangsawan, aku anak kepala suku. Bagaimanapun takdir kami, itu tidak mungkin. Karena kami tidak sama" jawab Joseph terkekeh.
Benjamin tersenyum usil. "Seorang anjing sedang jatuh cinta" ledek Benjamin. "Sungguh, kau jadi sama kejamnya dengan gadis itu" gumam Joseph dengan ekspresi malas.
Benjamin tertawa puas. Di luar ruangan itu, Marella tersenyum senang mendengarnya. Artinya, dugaan Marella tepat. Joseph mencintai saudaranya, Prislly.