Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Keduanya
Sinar mentari pagi menyinari wajah Gladys yang masih terlelap. Namun, Rendra sudah tak berada lagi di sisinya. Pria itu kini tengah bersiap-siap untuk berangkat ke perusahaan.
"Sayang, aku tinggal sarapan dulu. Setelah itu berangkat ke kantor." Rendra mengecup kening Gladys yang kini telah terusik tidurnya.
"Mas sudah mau berangkat? Aku masih ngantuk." Ujar Gladys dengan suara serak bangun tidur.
"Iya, kamu tidur saja lagi. Aku hanya berpamitan supaya kamu tak mencari ku saat kamu bangun nanti. Aku usahakan hari ini akan cepat pulang." Rendra mengelus-elus lembut pipi mulus sang istri.
"Ya mas aku mau lanjut tidur lagi, masih ngantuk. Mas hati-hati ya."
Rendra mengangguk kemudian menyambar tasnya dan pergi meninggalkan Gladys di kamarnya.
Namun saat Gladys akan memejamkan matanya, getaran ponselnya menyadarkannya kembali. Dengan malas ia meraih ponselnya dan melihat pesan masuk. Senyum tipis terukir di bibirnya kala melihat nama Argani yang tertera pada layar ponselnya. Rasa malas dan mengantuk yang dirasanya seketika menghilang entah kemana.
'Selamat pagi. Bagaimana kabarmu, nona Gladys? Semoga kamu baik-baik saja bersama suamimu. Aku hanya ingin tahu kabarmu,' begitu bunyi pesan Arga.
'Aku baik-baik saja, pak Arga. Terima kasih atas perhatiannya,' balas Gladys singkat. Kemudian mereka terus-menerus saling berbalas pesan entah sampai berapa lama.
**
Rendra yang telah siap dengan pakaian formal nya, sedang duduk di teras luas rumahnya dengan ditemani secangkir kopi dan roti sandwich sebagai sarapannya. Ia memeriksa berkas-berkas dan dokumen yang akan dibawa oleh Romi ke luar kota nanti.
Seharusnya hari ini Rendra ada jadwal untuk peninjauan perusahaan yang baru saja di dirikannya. Akan tetapi karena Gladys baru saja pulang dan ia hanya mengambil cuti sebentar, maka Rendra memutuskan untuk tidak pergi dan mengandalkan sang asisten untuk menghandle pekerjaan nya di luar kota.
Saat Rendra menyeruput kopi hitamnya, pandangannya tak sengaja menangkap seorang wanita muda cantik nan mungil, berseragam pelayan panjang berhijab. Wanita muda yang tak lain adalah Arania terlihat sedang membantu mang Udin menyapu di sisi lain halaman luas itu. Lagi-lagi hatinya langsung mencelos melihat sang istri siri yang selalu bekerja keras di rumahnya sendiri. Walaupun Rendra telah menyiapkan mentalnya untuk situasi ini, namun tetap saja ada rasa miris dan kasihan yang seketika muncul di hatinya dan tak bisa ia hindari.
'Arania... Sayangku...' Panggil Rendra dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca. Seketika ia bangkit dari duduknya dan hendak menghampiri Arania untuk menyuruhnya menyudahi pekerjaan itu.
'Apa istri mungilku sudah sarapan hari ini?'
Satu pertanyaan tiba-tiba muncul di benaknya. Ia akan segera menyuruhnya sarapan dulu kemudian beristirahat di kamar atas.
Langkah panjangnya sangat tergesa menghampiri Arania yang berada jauh dari tempatnya saat ini. Namun bersamaan dengan itu mobil sang asisten telah memasuki halaman rumah itu. Rendra seketika menghentikan langkahnya seraya menghela nafas kasarnya karena Romi datang di waktu yang tidak tepat.
Pria tampan berusia 27 tahun itu, keluar dari dalam mobil. "Selamat pagi, Pak Rendra?" Sapa Romi yang telah berbalut pakaian formal semakin menambah ketampanan dalam kerapihannya.
"Ck, kenapa sepagi ini kau datang." Ujar Rendra datar. Romi seketika melihat arloji yang melingkar di lengannya. Pria muda itu mengerutkan dahinya.
"Saya kira ini sudah tepat waktu, pak." Jelas Romi.
"Alasan!" ucap Rendra dingin.
Romi semakin bingung pada bosnya itu. Ia berpikir bosnya terasa aneh saat ini. Tidak biasanya bosnya itu mengkomplain ketepatan waktunya. Yang ada, selama ini bosnya selalu komplain mengenai keterlambatan kerja saja. Namun kali ini bosnya terasa berbeda dan agak lain dari biasanya.
"Baiklah, saya akan kembali saja." Ujar Romi yang kemudian hendak pergi lagi.
"Hey.. kenapa kembali? Ambil dan periksalah berkas dan dokumen yang akan kau bawa di meja teras. Saya ada urusan sebentar." Ujar Rendra.
"Siap, Pak!" Ujar Tomi kemudian ia berjalan ke arah teras rumah itu. Namun sebelum ia sampai di teras pria itu berbalik lagi untuk mengatakan sesuatu pada sang bos. Akan tetapi dirinya lagi-lagi tak mengerti akan tingkah laku bosnya yang saat ini terlihat sedang berbicara pada seorang pelayan wanita muda dan cantik. Mereka terlihat sedang terlibat pembicaraan penting.
Romi mengurungkan niatnya kemudian kembali berjalan menuju teras.
"Sayang, sudahlah, tinggalkan pekerjaan ini. Kamu masuklah ke dalam, sarapan dulu. Biar pekerjaan ini mang Udin saja yang menyelesaikan." Ujar Rendra dengan Raut wajah merajuk pada wanitanya.
"Stt... mas. Kenapa ke sini? Nanti ketahuan mang Udin. Abaikan aku saja mas." Balas Arania lirih dengan wajah yang berkeringat dan kotor. Ada daun kering yang menempel di hijabnya pula. Rendra tanpa ragu mengambil daun kering itu, kemudian hati nya ingin sekali menyeret Arania dan mengurungnya di dalam kamar mereka.
"Mas, jangan seperti ini. Nanti ada yang melihat." Ucap Arania.
"Sedikit saja, masa tidak boleh?" Ucap Rendra kesal.
"Mas Rendra, suamiku yang tampan. Jangan seperti itu, ih. Nanti tampannya hilang loh." Ujar Arania disertai tawanya karena melihat sikap Rendra yang kekanakan.
Namun belum apa-apa mang Udin telah berada di dekat mereka. "Tuan, apakah neng Ara melakukan kesalahan?" Tanya mang Udin.
"Benar mang, sepertinya ia melupakan tugasnya yang khusus membersihkan area lantai 3 saja. Tapi ternyata gadis ini malah berada di sini." Ujar Rendra terdapat maksud lain. Arania hanya menunduk mendengar ocehan suaminya pada mang Udin.
"Maafkan neng Ara, tuan. Ini memang kemauannya untuk membantu saya saja. Neng Ara bukan gadis pemalas sehingga dia enggan menganggur. Sepertinya Neng Ara sudah selesai melakukan pekerjaannya di lantai 3. Iya kan, neng?" Bela mang Udin.
"I-iya, tuan. Saya sudah membersihan area lantai 3, tapi memang belum semuanya." Ujar Arania lirih seolah benar-benar mendapatkan teguran dari sang majikan.
"Lalu, untuk apa kamu mengerjakan pekerjaan yang bukan bagian mu?"
"Maafkan saya, tuan. Saya hanya_"
"Sudahlah lekas kembali ke atas dan selesaikan pekerjaanmu!" Ucap Rendra dingin.
"Ba-baiklah, tuan." Arania hanya bisa pasrah dengan perasaan yang bercampur aduk meninggalkan halaman itu.
"Maafkan neng Ara, tuan. Dia tidak bermaksud mengabaikan pekerjaannya. Dia hanya ingin membantu saya saja tadi." Ucap mang Udin merasa bersalah.
"Lain kali saya tak mau tau. Kalian kerjakanlah tugas kalian masing-masing. Mengerti?!" Tegas Rendra seraya mengibaskan jasnya kemudian meninggalkan tempat itu.
"Selamet-selamet. Untung neng Ara tiadak dihukum oleh tuan." Gumam mang Udin lega.
Rendra berjalan dengan cepat ke arah teras menemui sang asisten.
"Pak, ini berkasnya masih ada yang kurang." Ujar Romi pada Rendra yang telah berada di dekatnya. Rendra memang sengaja meninggalkan salah satu berkas penting di ruang kerjanya di lantai 3. Ia menyembunyikan maksud tersembunyi dibaliknya.
"Baik sebentar saya ambilkan." Tanpa kecurigaan Romi, Rendra bergegas menuju lantai 3, lebih tepatnya ke kamarnya dan Arania.
Ceklekk...
Rendra melihat Arania sedang berdiri mematung di depan jendela kamar, menatap taman serta kolam renang. Pria itu melangkah masuk dengan tergesa menuju Arania.
"Sayang..."
Rendra langsung menyambar dan melumat bibir semerah cherry milik Arania. Hingga beberapa saat hingga mereka mulai kekurangan oksigen, barulah Rendra melepaskan tautan bibir mereka.
"Jangan marah ya? Mas cuma tidak mau istri mas ini bekerja keras di rumah sendiri. Biarkan Art saja yang melakukan semua pekerjaan mereka." Ujarnya Rendra seraya membelai lembut rambut panjang Arania yang tidak di tutupi kain.
"Aku tidak marah, mas. Mas tidak usah khawatir." Ujar Arania dengan senyum yang dipaksakan.
"Tapi kamu terlihat murung? Kenapa, hmm?"
"Aku hanya ingin ganti suasana. Di sini terus serasa di penjara, mas. Aku hanya ingin menikmati pemandangan dan udara pagi di taman depan. Tapi mas malah melarangnya." Gerutu Arania.
"Bukannya mas melarang kamu, sayang. Mas hanya tidak mau kamu kecape'an. Mas takut nanti kamu sakit, Arania."
"Mas, itu pekerjaan sangat mudah buatku. Aku sudah sering melakukannya di kampung. Itung-itung olahraga. Jadi mas jangan khawatirkan aku."
"Tapi, Ara_"
"Mas?" Ujar Arania seraya mengedip-ngedipkan mata genitnya yang lentik.
"Ya sudah, terserah kamu saja. Tapi mas harap setelah melakukan kegiatanmu kamu beristirahatlah di kamar ini. Anggaplah kamu sedang melakukan pekerjaan mu." Ujar Rendra seraya memeluk erat tubuh mungil istri sirinya itu.
"Baiklah mas," jawab Arania.
"Arania... Tidak bersama mu satu malam saja, kenapa rasanya kangen sekali."
"Gombal!" Arania tersenyum tipis serata memukul bahu Rendra yang tak terasa berarti bagi pria kokoh itu.
"Mas serius. Kamu percaya atau tidak, memang itu yang mas rasakan."
"Kan sudah ada Nyonya Gladys di sisi mu, mas."
"Memang sih, tapi entahlah seperti ada yang kurang. Mas ingin ada kalian berdua di ranjang ku."
"Mana mungkin, mas. Mas ini serakah sekali rupanya. Satu-satu dong mas. Kalau ada Nyonya berarti tiada aku, begitupun sebaliknya." Terang Arania.
"Tapi kalau suatu saat mas ingin kalian berdua sekaligus, bagaimana?" Goda Rendra.
'Pasti aku akan cemburu melihat kalian bercumbu, mas' batin Arania.
'Apa cemburu? Tidak tidak, pasti ada yang salah.' Arania menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran itu.
"Ada apa, sayang?" Ujar Rendra.
"Tidak ada apa-apa, sebaiknya mas segera pergi dari kamar ini. Ingat ada nyonya Gladys saat ini."
"Baiklah. Tapi nanti balas pesan-pesan ku ya. Sekarang, mas tinggal dulu. Jaga diri baik-baik di rumah ya. Mas menyayangi mu, Arania."
Arania segera meng'iya'kan permintaan sang suami. Rendrapun berbalik badan dan akan meninggalkan Arania. Akan tetapi ia kembali menghadap Arania dan mengecup serta melumat singkat bibir merah alami milik Arania.
"Ini bekal ku," ujar Rendra seraya tersenyum. Arania meraih tangan Rendra serta mencium punggung tangannya dengan takzim.
"Hati-hati di jalan, mas."
Rendra menganggukkan kepalanya sebelum pergi meninggalkan istri mungilnya itu.
***