Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelas
“Oh, eh...” Laras mencoba tersenyum, tapi bibirnya terasa kaku. “Sangat... menarik, Pak.”
Tono tampak tertarik. “Aku pernah membaca bahwa Columbia memiliki salah satu program psikologi terbaik di dunia. Apalagi lokasinya strategis, di tengah-tengah Manhattan. Kamu pasti sering mengunjungi Central Park, ya? Kampusnya kan sangat dekat dengan Central Park.”
Laras tersenyum kecil, tapi matanya memancarkan kebingungan. Central Park? Manhattan? Pikiran Laras berputar mencari jawaban, tapi semakin dia berusaha, semakin dia merasa terjebak.
“Eh... iya, Pak. Tempatnya... indah,” jawab Laras ragu.
Wati yang duduk di sampingnya melirik khawatir, sementara Bambang hanya menunduk, tidak berani ikut bicara. Tono, yang tidak menyadari kegugupan Laras, melanjutkan obrolan dengan antusias.
“Laras, apa teori psikologi yang paling kamu sukai? Mungkin Freud? Atau Jung? Aku yakin kamu banyak belajar tentang teori-teori itu di Columbia. Aku pribadi sering mengaitkan teori psikologi dengan pengalaman bisnis. Misalnya, teori motivasi Maslow itu sangat relevan untuk memahami kebutuhan karyawan dan pelanggan. Bagaimana menurutmu?”
Laras merasa tubuhnya memanas. Dia sama sekali tidak tahu siapa Maslow, apalagi teorinya. Matanya melirik ke arah Sintia, berharap ada pertolongan, tapi Sintia hanya tersenyum kecil seolah tidak ada yang salah.
“Uh...” Laras menunduk, mencari kata-kata yang tepat. “Ya, teori-teori itu... sangat... inspiratif.”
Tono mengerutkan dahi, jelas merasa ada sesuatu yang janggal. “Inspiratif? Maksudmu bagaimana, Laras?” tanyanya dengan nada ingin tahu.
Laras membuka mulutnya, tapi tidak ada satu pun kata keluar. Wati dan Bambang mulai saling melirik panik. Saat itulah Sintia mengambil alih.
“Ah, Papa, aku lupa cerita sesuatu tentang Laras,” ucap Sintia tiba-tiba dengan nada ceria, memotong ketegangan yang mulai terasa di udara. “Laras ini punya pengalaman luar biasa.”
Tono memiringkan kepala, tertarik. “Pengalaman gimana, Ma?”
Sintia tersenyum manis sambil menatap Laras. “Aku pertama kali bertemu Laras di panti asuhan saat aku sedang melakukan kunjungan sosial. Dia waktu itu sedang sibuk menghibur anak-anak di sana, membacakan cerita, dan memberikan terapi emosional kepada mereka. Aku sampai terkejut ketika tahu bahwa anak-anak itu sangat menyayanginya, seperti melihat Laras sebagai kakak mereka sendiri.”
“Panti asuhan?” tanya Tono sambil mencondongkan tubuh ke depan, jelas penasaran.
“Iya, Pa,” lanjut Sintia sambil tersenyum lembut. “Laras ini, ilmu yang dia dapatkan dari kuliah benar-benar bermanfaat untuk banyak orang. Dia meluangkan waktu untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung. Dia punya cara yang luar biasa untuk membuat anak-anak di panti asuhan merasa percaya diri lagi, meskipun mereka kehilangan orang tua. Aku pikir, itulah bentuk nyata dari ilmu psikologi yang dia pelajari.”
Ramon, yang dari tadi hanya mendengarkan, berseru kagum. “Wah, hebat juga, ya. Jadi selain pintar, Kak Laras juga punya hati yang besar. Itu baru keren. Calon kakak iparku memang luar biasa, Mas Abraham sangat beruntung.”
Laras merasa wajahnya memerah. Dia menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Tapi setidaknya, Sintia berhasil mengalihkan perhatian Tono.
“Menarik,” ucap Tono, matanya berbinar. “Laras, aku suka dengan apa yang kamu lakukan. Itu menunjukkan kalau kamu bukan hanya mempelajari ilmu, tapi juga mengaplikasikannya. Anak-anak di panti asuhan itu pasti sangat beruntung mengenalmu.”
“Terima kasih, Pak...” jawab Laras pelan, meski dalam hatinya dia merasa bersalah. Dia tidak pernah melakukan apa yang Sintia ceritakan, tapi kini Tono percaya padanya.
Sebenarnya saat ini Laras masih tegang, tapi ia berusaha menampilkan senyum terbaiknya, sementara Wati dan Bambang tampak lebih santai setelah Sintia berhasil mengalihkan perhatian Tono dari topik yang membuat putri mereka kesulitan tadi.
Tono kembali memandang Laras dengan pandangan penuh kekaguman. “Laras, aku semakin yakin bahwa kamu adalah calon menantu yang tepat untuk keluarga Handoko dan mendampingi putraku Abraham,” ucapnya dengan nada tegas namun hangat. “Kamu sangat tulus. Mengurusi anak-anak di panti asuhan itu bukan hal yang mudah.”
Bambang yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, tiba-tiba ikut menimpali, “Terima kasih, Pak Tono. Tapi, jujur saja, keluarga kami ini sebenarnya sederhana sekali, tidak seperti keluarga besar Handoko yang kaya raya dan sangat berkuasa. Laras bisa kuliah di Universitas Columbia itu murni karena beasiswa. Dia bekerja keras untuk mendapatkan semua itu, dan kami bangga padanya.”
Tono terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Semakin aku mendengar cerita tentang Laras, semakin aku kagum. Anak seperti ini adalah anugerah. Dia bukan hanya cerdas, tapi juga punya karakter kuat. Itu yang paling penting.”
Wati menyentuh tangan Laras di bawah meja, memberi isyarat agar dia tetap tenang. Laras hanya tersenyum kecil, sementara dalam hatinya dia terus-menerus bersyukur atas bantuan Sintia dan ayahnya yang telah membangun citra dirinya dengan begitu baik.
Sintia, yang duduk dengan postur anggun dan elegan, menyela pembicaraan dengan senyuman lembut. “Ah, Laras, Pak Bambang, dan Bu Wati, aku minta maaf karena kita harus menunggu Abraham yang masih belum datang dan bergabung bersama kita malam ini. Seperti yang kalian tahu, dia sangat sibuk. Menjadi seorang CEO perusahaan besar memang tidak mudah, dan membagi waktu adalah tantangan besar baginya.”
“Oh, tidak apa-apa sama sekali, Bu Sintia,” jawab Wati cepat sambil melambaikan tangannya. “Kami sepenuhnya mengerti. Itu wajar saja untuk orang dengan tanggung jawab besar seperti Abraham.”
Bambang mengangguk, menambahkan, “Benar, Bu. Kami sama sekali tidak keberatan. Kami malah merasa terhormat bisa berada di sini.”
Tono tertawa kecil mendengar jawaban mereka, tampak terhibur oleh kerendahan hati calon besannya. Sintia, di depan suaminya sengaja memperlihatkan bahwa dia merasa sangat nyaman dengan sikap pengertian mereka, hingga kembali memuji. “Kalian memang calon besan yang sangat baik. Dan Laras... dia calon istri yang hebat. Sifat pengertiannya ini adalah sesuatu yang sangat penting, terutama untuk mendukung suaminya yang punya tanggung jawab besar. Aku yakin Abraham akan sangat beruntung memilikinya.”
Laras menunduk mendengar pujian itu, merasa semakin kecil di tengah segala ekspektasi tinggi yang kini ditumpukan kepadanya. Namun, dia juga merasa lega karena setidaknya untuk malam ini, semuanya berjalan lancar tanpa kecurigaan berarti dari Tuan Tono. Namun di balik senyumnya, ada ketegangan yang mulai menumpuk. Bagaimana, ya, jika Abraham datang nanti?
Otak Laras mendadak buntu, tidak tahu bagaimana harus menghadapi calon suaminya yang merupakan pria luar biasa itu.
"Gimana, Nak, kamu menghubungi Mas Abraham waktu itu untuk memintanya datang malam ini?" tanya Tono kepada putra bungsunya yang duduk di sebelahnya. Dia mulai tak sabaran, karena merasa tak enak hati dengan calon besannya yang harus menunggu lama.
Ramon mengangguk pelan. "Iya, Pa. Aku udah telefon kok kemarin. Respon Mas Abraham, ya, seperti biasa, Papa tau sendiri," katanya sengaja menutupi penolakan Abraham di hadapan calon besan. Namun, Tono tentu saja mengerti maksud putra tirinya itu.