Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam Belas - Aku Percaya Suamiku
Sepulang dari Rumah Sakit, mereka melihat ada mobil terparkir di halaman rumah mereka. Amara langsung mencebikkan bibirnya, karena ia tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan dua orang yang selalu mengatainya mandul? Ya, Ibu Mertua dan Kakak Iparnya. Sudah pasti mereka yang datang, karena mobil di depan itu milik Kakak Iparnya
“Gak usah cemberut, tinggal kamu masuk, terus langsung masuk kamar, gak usah dengarkan ucapan Mama atau Kak Vira,” ucap Alvaro yang melihat wajah istrinya berubah malas.
“Pasti di dalam juga ada calon istrimu, Mas!”
“Ara ... please ... gak usah bicara begitu lagi. Aku harus bilang berapa kali lagi, Ara? Supaya kamu percaya kalau aku gak akan menikahi permpua lain, hanya kamu yang akan menjadi istriku,” ucap Alvaro dengan mengusap kepala Amara.
“Hmm ... aku akan coba untuk percaya!” tukas Amara.
Amara langsung turun dari dalam mobil, ia membanting pintu mobil cukup keras. Alvaro hanya menggelengkan kepalanya, dan tersenyum gemas melihat wajah Amara yang lucu saat sedang marah.
“Jangan salahkan aku, jika aku langsung eksekusi ekesekusi kamu setelah ini di atas ranjang, sampai kamu mengeluarkan teriakanmu yang seksi, Amara,” ucap Alvaro dengan membayangkan wajah Amara yang pasrah di bawah kungkungan tubuh kekarnya.
Alvaro merasakan bagian bawahnya mulai mengeras. Sensitif sekali, hanya memikirkan wajah Amara yang bergairah saja si adik kecil langsung bangun, karena butuh belaian sang pawang.
Alvaro mengejar Amara, ia meraih tangan Amara lalu menggamitnya dan berjalan bersama masuk ke dalam. Benar di dalam sana, di ruang keluarga sudah ada Vira, entah di mana ibu mertuanya, karena di ruang keluarga yang terlihat hanya kakak iparnya saja. Amara kembali mencebikkan bibirnya.
Vira melihat kedatangan mereka, melihat bagaimana Alvaro menggamit tangan Amara dengan begitu mesra.
“Kalian dari mana saja sih! Ditungguin dari tadi gak pulang-pulang! Ini sudah sore!” ucap Vira dengan menatap tajam ke arah Amara.
“Aku mau pulang jam berapa pun bebas dong, Kak? Kan aku pergi sama istri aku? Mau pergi ke mana dan pulang jam berapa bukan urusan kakak,” ucap Alvaro santai.
Vira begitu geram dengan ucapan sang adik, bisa-bisanya adiknya bicara seperti itu. Seakan membela Amara.
“Kamu pasti capek, istirahat dulu sana,” ucap Alvaro dengan mengusap kepala Amara, lalu mengecup keningnya.
“Iya, aku ke kamar, Mas,” ucap Amara pada Alvaro. Amara langsug pergi, tidak menyapa Kakak Iparnya dulu. Amara menghiraukannya, tak memandang Kakak Iparnya sedikit pun saat pamit mau ke kamar.
Alvaro menghampiri kakaknya lalu duduk di sofa, di sebelah kakaknya. Vira masih kesal pada Amara yang tidak menyapa dirinya, ditanya pun tidak menjawabnya.
“Lihat istrimu itu, seperti tidak pernah belajar tentang sopan-santun! Kamu ini suaminya, harusnya kamu ajari dia!” ucap Vira kesal.
“Kakak ke sini mau apa? Ada yang ingin kakak bicarakan atau gimana?” tanya Alvaro dengan tidak memedulikan ocehan kakaknya yang terus menyalahkan Amara.
“Apa aku tidak boleh, kalau aku main ke rumah adikku sendiri?” tanya Vira semakin kesal.
“Kak, aku capek! Kalau kakak ke sini tidak ada hal penting, dan Cuma mau main di sini saja, aku mau nyusul Amara ke kamar, ya? Kalau kakak perlu apa, tinggal bilang sama Bi Asih saja. Atau asisten lainnya,” ucap Alvaro dengan beranjak dari tempat duduknya, lalu meninggalkan Vira sendirian di ruang keluarga.
“Kamu ini sekarang berubah ya, Al! Ini semua pasti karena perempuan kampungan itu kamu jadi gini!”
“Jangan sebut istriku dengan sebutan itu, Kak! Dia itu istriku!” geram Alvaro.
“Tuh kan benar, pasti kamu berubah gini karena dia!”
Alvaro tidak peduli ocehan kakaknya, ia meninggalkan kakaknya untuk ke kamar, sedangkan Vira, dia masih sangat kesal dengan adiknya dan adik iparnya itu.
“Awas saja kamu, Ara! Aku akan memberimu pelajaran!” geram Vira dengan penuh kebencian pada Amara.
^^^
Amara berangkat ke kantor dengan semangat, apalagi suaminya dari kemarin begitu perhatian padanya. Tadi saja Alvaro ingin mengantar Amara ke kantor, akan tetapi Amara menolak, karena belum siap diantar Varo, apalagi nanti ada yang tahu kalau dirinya istri dari Alvaro Pramudya, seorang konglomerat, yang hartanya tak akan habis sampai tujuh turunan.
Amara mulai dengan pekerjaannya, dia begitu semangat hari ini, sampai ia dari tadi lupa mengabari suaminya, kalau dirinya sudah sampai.
“Selamat siang, ada yang bisa saya ban ....?” Ucapan Amara terhenti kala melihat siapa yang datang di depannya.
“Kak Vira?” ucap Amara lirih. Yang datang ke kantornya adalah Vira, sang kakak ipar yang tidak tahu diri.
“Oh kamu kerja di sini rupanya? Apa jatah bulanan dari adikku tidak cukup, Amara?” ucap Vira mengejek.
“Itu bukan urusanmu!” jawab Amara dengan ketus.
“Maaf ada yang bisa saya bantu?” ucap Dewi menengahi pembicaraan mereka yang terlihat memanas. Dewi takut nantinya akan terjadi keributan di depan resepsionis. Nanti semuanya malah akan runyam.
“Aku sudah membuat janji dengan Manager Keuangan!” ucap Vira ketus.
“Baik, saya akan cek lebih dulu,” ucap Dewi ramah.
Vira kembali menatap Amara dengan tatapan mengejek. Dia tersenyum puas, saat menemukan ide jahatnya di kepala.
“Kau tahu? Aku kemarin bertemu dengan Cindi, perempuan yang sangat Varo cintai, dan kau tahu, dia sudah memiliki anak, ternyata aku sudah punya keponakan,” ucap Vira dengan tertawa mengejek Amara.
“Syukurlah, kalau Mas Varo sudah memiliki penerus, walaupun bukan dari istrinya sendiri. Istrinya kan mandul?” ucapnya dengan merendahkan Amara.
“Sudah bicaranya?” ucap Amara santai.
“Ka—kamu!”
Vira sangat terkejut dan kaget melihat reaksi Amara yang setenang dan sesantai itu saat dirinya bicara seperti itu. Amara sama sekali tidak terganggu dengan apa yang Vira ucapkan.
“Aku tidak peduli apa pun yang Kak Vira katakan, karena aku lebih percaya pada suamiku!” ucap Amara tenang.
“Kamu akan menyesal, jika Alvaro lebih memilih Cindi dan anaknyua daripada perempuan mandul sepertimu!” ucap Vira dengan penuh kemurkaan dan wajah merah padam.
Amara mengepalkan tanganny, ingin sekali dia menampar wajah mulus kakak iparnya itu. Namun, tangan Dewi memegang tangan Amara di balik meja, supaya Amara dia, dan tidak membalas apa yang diucapkan Vira. Dewi tidak mau ada keributan, apalagi karena masalah keluarga.
“Bu, mari saya antar ke ruangan Pak Yadi,” ucap Dewi.
Benar firasat Dewi, pasti akan ramai d depan ruang kerjanya, pasalnya semua orang yang di sana menatap ke arah mereka, membuat Dewi resah, karena takut kena dampaknya nanti.
Amara menjatuhkan tubuhnya di tempat duduknya. Hatinya begitu sakit mendengar ucapan kakak iparnya itu. Hatinya ingin sekali percaya pada suaminya, akan tetapi logikanya mengatakan lain.
“Apa benar anak kecil itu yang bernama Alea sebetulnya anak Mas Varo? Ah jangan mikirin ke situ dulu, Ra! Kamu harus percaya pada suamimu!” batin Amara bergelut, antara percaya dengan kakak iparnya atau suaminya.